Hallo Teman-teman Semua Apa Kabarnya? Kunjungi terus dan Tinggalkan Komentar membangun yia di Blog Aku! :) :)

TIGA MAKALAH TERBAIK KONTES INVATOR MUDA (KIM) 6 SIAP BERTANDING DI JAKARTA




Melalui ajang Kontes Inovator Muda (KIM) 6 yang dilaksanakan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) - LIPI, maka kembali muncul inovator - inovator muda baru yang inovatif, kreatif dan persuasif. Dapat diinformasikan bahwa 92 makalah yang memiliki 15 propinsi yang mengirimkan makalah penelitian dan/atau studi pustaka yang bertemakan "Model Pelestarian Terumbu Karang dari Kacamata Generasi Muda" ke pusat, telah dipilih tiga finalis terbaik yang melaju ke babak final di Jakarta.

Dengan proses seleksi yang cukup rumit diantara tim juri seleksi, yang terdiri dari : Dr. Deny Hidayati (Ahli Penelitian), Dr. Linda Christanty (Ahli Kreativitas dan Inovasi), M. Abrar, M. Si (ahli Kelautan), Yuni Ikawati (Ahli Media), Estradivari (Ahli Lingkungan Hidup) yang dilakukan di gedung COREMAP - LIPI pusat pada 16/11 sore tadi.

Akhirnya terpilih tiga makalah terbaik, yaitu :
  • SMA Negeri 1 Kendari mewakili propinsi Sulawesi Tenggara dengan judul makalah "Permainan Interaktif sebagai Media Pendidikan Pelestarian Terumbu Karang Sejak Dini di Pulau Bungkutoko, Kota Kendari" (Study di SD Negeri 03 Abeli)
  • SMA Tarsisius 1 Jakarta mewakili propinsi DKI Jakarta dengan judul makalah "Penyelamatan Terumbu Karang dengan Kartu Terumbu Karang (KTK)"
  • SMA Negeri 1 Jakarta mewakili propinsi DKI Jakarta dengan judul makalah "Mengurangi Tekanan Terhadap Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Melalui Program Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMA Negeri 1 Jakarta"

Ketiga Finalis tersebut, merupakan tim dengan poin tertinggi dari seluruh makalah penelitian dan/atau studi pustaka yang masuk ke meja panitia pusat dan siap bersaing pada tanggal 26 November 2011, bertempat di Hall Pameran, Lantai LG Tamini Square Mall, Jakarta, untuk memperebutkan posisi juara 1,2 dan 3. Dengan menghadirkan panelis-panelis yang handal & terkenal seperti : Artika Sari Devi (Putri Indonesia 2004), Jamaluddin Jompa (Ahli Terumbu Karang), Nurul Dhewani (Ahli Kelautan) dan Mikael Prastowo (Perwakilan LSM Terumbu Karang).

LELAKI PAGI DAN SARAPAN PAGI KAMI TADI PAGI




"Selalu saja seperti itu, bicara soal warna sambil bercumbu, pikirku sambil menikmati nafasnya dan memperhatikan detak jantungku sendiri" 


"Selayaknya ini bukan puisi," katamu saat mendorong secarik kertas itu kehadapanku. kertas itu berhenti dengan rapi dalam jarak yang tepat sekian senti dari cangkir kopiku yang mengepulkan asap dan aroma pagi yang kita kenal baik.

"Aku hanya ingin mengibaskan mendung yang menggantung di langitmu. bukankah sudah terlalu lama dia mengganggu karena enggan menjadi hujan?" Katamu lagi.
Aroma pagimu selalu saja lebih segar daripada milikku. Wajah cerahmu yang tercukur licin memantulkan sinar matahari yang begitu muda mengecup langkah pagi yang ringan membuka pintu hari. Sementara aku, selalu saja merasa diriku ini masih terus-terusan betah duduk dalam waktu seperempat malam, menarik selimut subuh dan bersikeras gelap masih menyertaiku. Ah, kamu kira semua itu mendung? Padahal bagiku semua itu adalah selimut yang nyaman. Aman. Menentramkan. Terbebas dari tanggungjawab. Boleh bermain dalam mimpi. Ah, bagimu semua itu mendung?

"Bacalah." Katamu, dan matamu, yang tenang setenang ombak saat riak angin lembut membantunya menggempur pantai membuatku tak tega membiarkan kertas itu terdiam di sana. Matamu itu nyaris tosca bagiku. Nyaris begitu dekat dengan langit yang pernah kubiarkan menyentuh bumiku. Sekilas aku tersenyum mengingatnya dekatku pada suatu sarapan pagi yang rasanya sudah berabadabad silam terjadinya, saat itu aku Cleopatra dan dia, Marc Anthony.

"Aku suka ungumu," Kata Laki-laki Langit Toscaku, berbisik di telingaku sambil menciumi batang leherku dan menurunkan kerah kemeja unguku. Tangannya hangat bermain-main pada kancing bajuku, seakan-akan jari-jemarinya sedang berdialog, kancing yang mana yang akan mereka buka lebih dahulu.
Selalu saja seperti itu, bicara soal warna sambil bercumbu, pikirku sambil menikmati nafasnya dan memperhatikan detak jantungku sendiri. Kami sedang berada di antara sepiring puisi sepasang pengantin baru dalam bulan madu yang serupa deras ombak mengalir seirama angin dan hujan saat musim monsoon tiba.

Puisi-puisi puting beliung dalam belitan gemuruh dan desakan keinginan paling mendasar yang kami santap pagi itu. Lalu kami teguk segelas besar kupu-kupu tosca dalam gelembumg soda sehingga dalam perut kami berdua ada ribuan kupu-kupu menarikan tarian mereka, bergelombang-gelombang sensasi yang aku rasakan dari setiap teguk, memenuhi degup hingga penuh dan aku mabuk dirinya seperti dirinya mabuk diriku.

Hanya saja.
Tak ada pesta yang tak usai. Tak ada tarian yang tak selesai.
Ternyata, kupu-kupu tidak hidup sampai selama-lamanya. Mereka rebah satu demi satu. Tertidur, pingsan, mati? Entah. Mereka hanyut dan hilang dari dalam sistem, eforia itu perlahan menepi. Lalu, senyap datar beringsut-ingsut datang mengisi celahnya, hidup menjadi sebuah kebiasaan, bercinta menjadi semacam kewajiban, bahkan kadang merupakan sebuah kematian yang monoton, entah dia yang mati atau aku yang mati, atau dua-duanya mati sebelum pertempuran. Lalu, suatu pagi, aku bangun dan dia pergi. Sepucuk surat, menjadi penegasan bahwa yang namanya cinta itu stempelnya bukan sampai maut memisahkan kami, melainkan sampai tak ada lagi kupu-kupu dalam gelembung-gelembung soda itu.
"Hei, bangun cantik, jangan mimpi lagi." Kau menjentikkan jarimu di depan wajahku. membangunkan aku dari mimpi tentang kemarin-kemarin yang merupakan detik-detik usang. Aku memandangmu dengan rasa terima kasih, yang sengaja kubiarkan menetap lama, jatuh tepat di anak matamu. Kita beradu pandang, sekian detik berlalu menghentak menuju menit, kubiarkan tatapanku berlabuh padamu, menepikan sampan-sampanku dan mencoba menemukan sesuatu tanpa perlu merasa sangat ingin. Bagiku, sejauh ini, adalah soal eksplorasi belaka, kemungkinan selalu menyenangkan untuk ditelusuri. Siapa tahu, mungkin saja memang di sana ada pengganti harta karunku? Entahlah. dan manik matamu bergerak, mengerjap, sebuah isyarat yang kukenal baik dari sekian banyak pertemuan, matamu perlahan berusaha mengalihkan pandangan ke lain tempat.

Aha!, di dalam relung hatiku aku bersorak, selalu saja seperti itu rasanya ketika menang adu tatap. Ah Lelaki Pagi berdasi kuning kecoklatan berselempangkan garis-garis abu-abu di atas kemeja abu-abu mudamu yang licin dan cermat (selalu saja aku ingin bertanya, siapa yang menyetrikakannya untukmu?), kau jengah saat kupandang sedemikian rupa. Lelaki pagi. Ya, ya, itu dirimu, Lelaki pagi, sepagi matahari muda yang mengecup wajah bumi dengan sekecup ringan dan harum nafasmu sesegar bau mulut setelah berkumur dan sikat gigi. benarbenar segar. Dan sekarang kau jengah, saat mata milik malam ini menghujanimu dengan kecupan dari dalam jiwa. Sekilas pipimu merona sebelum kau memberitahuku bahwa kau sudah memanggil seseorang masuk dalam lingkaran ajaib milik kita. Ah. Mengapa harus begitu?
"Tidak keberatan kan?" Tanyamu dengan suara rendah dan lembut seraya tanganmu menyeberangi ruang antara kita lalu menyentuh ringan tepi jemariku. "Tanpa ijinmu, aku mengajak Maya makan pagi bersama, sebab kita harus membicarakan proyek buku kita bersama-sama. Maya adalah ilustrator paling keren yang aku kenal. Aku mempercayainya. Dan satu hal lagi. Aku sudah secara lancang, mengirimkan draft tulisan itu kepadanya. Disela lunch, kemarin, kami sudah bertemu dan menakjubkan sekali hasil interpretasinya, karena itu aku berani mengajaknya pagi ini untuk bertemu denganmu. Ini sebuah kejutan." Kau mengangkat jemarimu dari atas jemariku dan tersenyum lebar seperti bocah kecil yang bangga karena berhasil membaca satu kalimat penuh tanpa terbata-bata. Mengapa kau angkat jemarimu dari tepi-tepi jemariku? Aku masih ingin persentuhan itu berjalan sedikit lebih lama.

Aku tersenyum tipis, memikirkan seandainya saja kamu bisa membaca pikiranku saat ini. Lelaki pagi berdasi kuning kecoklatan dihiasi garis miring abuabu, bolehkah aku mengecupmu? Tanya mataku. Kau sepertinya mencoba setengah mati untuk menjadi kekasihku setiap kita sarapan pagi. Kini kau sudah melangkah jauh ke dalam hidupku. Hei, kau bahkan bisa kulamar menjadi suamiku suatu saat nanti kalau keadaan kita tetap seperti ini.

Tapi, tunggu dulu.
"Maya? Aku ingat nama itu pernah dihubungkan dengan namamu, kan? Hmm... apakah dia ini Maya yang sama dengan Maya mantan kekasihmu?" Tanyaku, berusaha mengatakannya seenteng tisu yang baru saja kukeluarkan satu lembar dari bungkus mininya. Dan kamu, Laki-laki Pagi, nampak salah tingkah.
"Hanya rumours," katamu singkat seraya sedikit mengernyitkan keningmu, lalu berkonsentrasi pada sepiring nasi goreng yang pagi ini menjadi pilihanmu, sementara aku masih meniup permukaan sup krim panasku di dalam mangkuk lebar yang nyari menelan wajahku, sambil mengulang ucapanmu, "hanya rumours?", dan kamu mengangkat bahumu sedikit, ujung bibirmu sebelah kananmu terangkat sedikit juga, sambil menjawab ringan, "rumours yang sama sekali tidak penting."

Sialan kau! Mengapa gerakan facial kecil itu begitu menarik kelihatannya? Tiba-tiba saja aku menyadari bahwa ada sebuah sensasi yang berbeda. Nampaknya aku, perempuan teman sarapan pagimu ini sedang dilanda gelombang yang berbeda. Sedang menjadi buih-buih di atas ombak-ombak dari sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Diam-diam aku mencuri pandang ke arahmu dan terpesona sendiri dengan sesuatu di dalam diriku. Keinginan untuk memagari waktu-waktu kita tanpa interupsi, apapun bentuknya, atau lebih tepatnya siapapun bentuknya. Aku mendadak jengah dengan apa yang aku rasakan.
Tepat di saat itu Maya melambai cantik, bagai dua tetes madu manis yang menetes tanpa sengaja di antara kita, "Selamat pagi," katanya berdenting dalam sebuah notasi nyaris sempurna, perempuan yang dibalut busana kasual itu masuk dalam orkestrasi pagi hari ini, menyatu sempurna dengan pagi milik Lakilaki Pagi itu, seakan dialah yang telah menyetrikakan bajumu dan mengenakan dasi itu ke sekeliling kerah lehermu.
Dan kamu Lelaki Pagi, kamu tersenyum lebar, berdiri menyambutnya, mengecup pipinya kiri dan kanan sebelum menyeretkan kursi untuknya dan mempersilahkannya duduk. Kusadari bahwa kita kini bertiga. Tiga, sebuah angka yang ganjil kan? Ufh! Sarapan pagiku mendadak beku. Aku tersenyum ke arahnya dengan berkilo topeng memberati seluruh syaraf wajahku. Ingin rasanya aku pergi saja dan menyerahkan segala keputusan ke tanganmu, bukankah kamu sudah lebih dahulu memutuskan segala-galanya, jadi, silahkan, teruskan saja! ingin juga rasanya kutuangkan kopi ke atas kepalamu. Dasar lakilaki!

Tapi, tunggu dulu.
Mendadak aku berhenti dan merasa ingin menendang bokongku sendiri. Luarbiasa konyol! Ya, aku yang konyol. Jelas-jelas, amat sangat konyol! Bukankah baru lima menit yang lalu semua ini kuanggapa sebagai sebuah perhatian yang mendebarkan dan menghangatkan hati? Arrrggghhh... ingin kubenamkan wajahku ke dalam mangkuk sup, di saat itu kulihat asapasap tipis naik kembali dari permukaan sup. Aku jadi kepingin sekali tertawa, menertawakan kebodohan itu. Ayolah SN, tak ada alasan untuk cemburu, aku membujuk diri sendiri. Mendadak pula aku ingat kertas yang tadi kamu berikan kepadaku, belum juga sempat kubaca. "Selayaknya ini bukan puisi," katamu tadi. Kalau begitu, apa kirakira? Kulipat kertas itu lalu saat kuselipkan ke dalam tas tanganku, aku menangkap matamu memandangiku dengan sinar mata yang tak mampu kutebak sementara suara Maya mengisi udara disekitar kita, menceritakan tentang kemacetan yang harus ditembusnya sepanjang jalan menuju ke tempat pertemuan ini. Ah, pagi selalu berselingkuh erat dengan kemacetan di Kota Besar ini.

Baiklah, kututup sesi tanya-jawab dengan diri sendiri lalu bergabung dengan kalian. Maya menyalakan laptopnya, meletakkannya pada posisi yang paling tepat sehingga ia dapat mempertontonkan gambargambar yang telah dibuatnya untukku, untuk kita, sekaligus menjelaskan detil-detil yang perlu. Harus kuakui aku terpesona, dia bisa menangkap persis seperti yang kuinginkan. Hanya satu saja kekurangannya, mengapa musti Maya? Di saat itu, kurasakan tanganmu memijat lembut tengkukku, baru kusadari bahwa kamu telah berdiri tepat dibelakangku. Ah, aroma aftershavemu membuat aku memutuskan untuk mengecup bibirmu. Aku berjanji akan melakukannya. Nanti malam, dalam mimpiku.
Bio singkat pengarang: Ge Siahaya, domisili di Jakarta, aktif menulis di blog Kampung Fiksi: http://kampungfiksi.com/, sudah menerbitkan antologi cerpen. 


ALAM SEMESTA MEREDUP



Alam semesta sekarang lebih gelap dibandingkan dulu. Hal ini dikarenakan alam semesta menghasilkan bintang lebih sedikit akibat galaksi mulai kehabisan gas. Demikian penelitian oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO).

Robert Braun dari CSIRO meneliti beberapa galaksi jauh dan membandingkannya dengan galaksi-galaksi terdekat. Peneliti menemukan galaksi saat masa pembentukan dulu memiliki molekul hidrogen lebih banyak dibandingkan dengan galaksi masa kini. Karena bintang terbentuk dari hidrogen, jika semakin sedikit hidrogen yang ada, maka semakin sedikit bintang yang terbentuk. "Penelitian ini memberikan kita informasi mengapa alam semesta mulai redup dan kehilangan cahayanya," ungkap Braun.

Masalah utamanya adalah bagaimana galaksi dapat mendapat gas dari luar. "Gas masuk ke galaksi melalui ruang antargalaksi. dua pertiganya masih ditemukan di ruang tersebut, hanya sepertiga yang membentuk galaksi," ungkap astronom. Dua per tiga gas yang ada di ruang antargalaksi menciptakan planet, planet kerdil, dan bintang neutron.

Tersendatnya gas di dalam ruang antargalaksi tercipta saat Energi Gelap (Dark Energy) mulai menjajah alam semesta. "Kecepatan Energi Gelap itu akan membuat galaksi semakin sulit menciptakan bintang," papar Braun. "Jadi, molekul gas yang digunakan mengalami penurunan yang cukup cepat. Selama interval waktu yang kami pelajari, penurunan itu semakin cepat," tambahnya.

PELUK AKU - KAU AKAN TENANG

Siang begitu panas ..

Teriknya mentari mengucurkan keringat … deras!

Pandanganku kembali tertuju pada wajahmu ..

Kian murung seakan memendam sedih itu ..


Sesaat kau balas pandangan itu dengan senyuman ..

Kau berusaha membuatku tenang, padahal dirimu sedang gundah ..

Dalam hati aku berbisik (” … jangan paksakan sayang, kalau memang kau butuh menangis, menangislah … Peluk Aku - Kau Akan Tenang …”)


Siang itu semakin panas …

Terik mentari semakin mengucurkan keringat … deras!

Kau kembali menatap aku … kemudian menatap kedepan dengan tatapan kosong ..

Dalam hati aku kembali berbisik (” … jangan paksakan sayang, kalau memang kau butuh menangis, menangislah … Peluk Aku - Kau Akan Tenang …”)


Siang panas itu … Kini mengandung hujan!

Terik matahari siang itu mengucurkan tetesan buliran air hujan … deras!

Kau kembali menatap aku … pada matamu kutahu itu bukan air hujan

Kau telah menangis …


“Sayang … menangislah! Biarkan airmatamu keluar!

PELUK AKU - KAU AKAN TENANG”

Kau memeluk aku, aku rasakan gundahmu kian dalam

Tapi aku yakin kini, kau merasa tenang

Sayang, setelah kau tenang … Jangan menangis lagi!

Namun jika kau butuh menangis, menangislah Lalu

PELUK AKU - KAU AKAN TENANG


(Putri Bariel - Untuk kekasihku yang sedang merasakan kegundahan!)

AKU BUKAN PENULIS, PENARI dan PELUKIS


Sayang, …

Aku bukan penulis, tapi aku ingin jadi penulis

Karena dengan profesi itu, aku bisa menuliskan setiap langkah setiamu yang penuh kasih sayang

Aku bisa menuliskan setiap gerak perhatianmu yang penuh cinta

Sayang, …

Aku bukan penari, tapi aku ingin jadi penari

Karena dengan profesi itu, aku bisa memancarkan keindahan gerak tubuhku

Aku bisa menebarkan pesona lentik jari jemariku

Sayang, …

Aku bukan pelukis, tapi aku ingin menjadi pelukis

Karena dengan profesi itu, aku bisa melukiskan wajah beningmu di kanvasku

Aku bisa melukiskan kesempurnaan sosokmu yang indah

Sayang, …

Kenyataannya!! …

Aku bukan penulis, penari atau pelukis

Aku tak mampu menuliskan setia dan perhatianmu

Aku tak bisa menarikan keindahan dan pesona tubuhku

Bahkan aku pun tak mampu melukiskan kesempurnaanmu di tiap kanvas-kanvas kosong


(putri bariel - untuk ke apa adaanya aku!)

TETAP DISINI PAPA - MAMA


Tetaplah disini PAPA …

RumahMU disini, di istana hatiku, putriMU …

KediamanMU hanya disini, di ruangan kalbuku, putriMU …

PAPA adalah raja di istana hati ini … PAPA adalah penghuni relung kalbu ini!

Tetaplah disini MAMA …

Rumahmu juga disini, di istana hatiku, putrimu …

Kediamanmu juga hanya disini, di ruangan kalbuku, putrimu …

MAMA adalah ratu di istana hati ini … MAMA adalah penghuni relung kalbu ini!

PAPA! … MAMA!…

Hingga saat ada seorang pria menghampiriku dan mendapat ruang khusus dihatiku

PAPA tetap disini, MAMA tetap disini!!

Ruang yang akan PAPA-MAMA huni selamanya, takkan ada penghuni pengganti

PAPA! … MAMA!…

Hingga saat pria itu memimpinku dan mendapat keutamaan dikalbuku

PAPA harus tetap disini, MAMA juga harus tetap disini!!

Karena Hati ini, Kalbu ini

Adalah Ruang yang akan PAPA-MAMA huni selamanya, takkan ada penghuni pengganti


(Putri Bariel - Untuk Papa dan Mama yang selalu dihatiku)

LORONG CITA


Ruang itu semakin sempit, gelap bahkan menghitam ...

Lewat lorongnya aku paksakan walau tertatih terus melangkah ...

Langkah pertama ...

Langkah kedua ...

Ketiga ...

Keempat ...

Hingga seterusnya ...

Didepan mata seolah tampak secercah cahaya harapan ...

Langkahku semakin cepat, menggapai cahaya kuharap bertuah ...

Cahaya itu semakin terang ...

Terang ...

Jelas ...

Ruang sempit, terasa luas ...

Lorong kelam penuh cahaya benderang ...

Letih hilang seketika, seakan cahaya itulah cita ...

Ternyata cahaya ini hangat ...

Hangatnya memberikan nafas baru untuk kehidupanku ...

(putri bariel - untuk semangat yang kembali bangkit :) )

PETA BUMI DATAR


Sebuah peta langka yang menggambarkan Bumi datar akan didonasikan kepada Library of Congress di Washington DC, Amerika Serikat. Peta yang berumur 120 tahun itu mendukung teori Bumi yang datar, bukan berbentuk bola.

Peta yang dibuat oleh Orlando Ferguson dari Hot Springs, South Dakota, AS, itu saat ini dimiliki oleh Don Homuth yang tinggal di Salem, Oregon. Menurut keterangannya, peta itu merupakan pemberian guru bahasa Inggrisnya di kelas delapan yang bernama John Hildreth.

Homuth berniat untuk mendonasikan peta itu pada akhir Juni setelah selama bertahun-tahun menyimpannya dalam keadaan terlipat. "Sangat mengejutkan saat mengetahui ini mungkin satu-satunya peta yang menggambarkan bumi datar yang ada," kata Homuth seperti dikutip Daily Mail.

Menurut Robert Morris, spesialis informasi teknis senior pada Geography and Map Division di Library of Congress, mereka telah berupaya mencari di antara 75 hingga 100 peta yang berkaitan sebelum memastikan bahwa mereka belum memiliki peta serupa dalam koleksinya. Saat ini, Library of Congress mempunyai lima juta peta dalam koleksinya. Namun tak satupun yang serupa dengan peta yang dimiliki Homuth.

Morris pun mengatakan, mungkin peta tersebut hanya dicetak beberapa lembar. "Dari jumlah itu, lebih sedikit lagi yang kondisinya masih utuh," katanya. Peta serupa lainnya diketahui ada di Pioneer Museum of Hot Springs di rumah Ferguson, sang pembuatnya. Namun bagian bawah peta di museum itu hilang sehingga peta yang kini di tangan Homuth lah yang kondisinya masih utuh.

Sumber : National Geographic Indonesia

MENUJU JALAN PULANG


Teriakanku semakin kencang, karena tiba-tiba bunyi guntur menggelegar, dan di sela suara tak berirama itu aku mendengar suara lain memanggil namaku ...

Perjalanan jauh dengan misi yang tak pasti memang jauh dari kesan menyenangkan. Buruk, tak punya gambaran yang jelas tentang apa yang akan terjadi. Sehingga tak ada sedikitpun kesempatan berkhayal tentang kemungkinan yang tak pasti sekali pun. Dengan sangat terpaksa harus diam, mulut tak bergerak dan pikiran dibiarkan mati. Proses kreatif yang menstimulus ekspresi air muka juga tak tercipta. Kaku. Badan bergerak tapi bukan karena perintah otak, hanya mengikuti gerak kapal yang berusaha bergerak konstan melawan hantaman gelombang Desember.

“Dari tadi tadi aku perhatiin, pandangannya koq kosong bang,” datang suara dari meja di sampingku. Aku di bar kapal. Sejenak menoleh ke arah datang suara, lalu kembali melihat kosong sambil bergumam, “Iya, lagi pingin sendiri.” Usai bergumam, aku sadar bahwa baru saja bercerita dan tidak menjawab pertanyaan. Lalu tidak ada suara lagi yang aku dengar. Aku mati suri, mungkin. Atau bahkan sudah mati duduk. Aku belum pernah mati. Tapi pengalaman seperti saat ini juga belum pernah kualami, sehingga aku berpikir mungkin sudah mati.

Tak sadar, aku sudah di geladak kapal. Menghadap ke lautan yang tidak biru tapi hitam. Sekarang malam. Angin malam menerpa keras dan kasar. Sweater hitam yang kupakai sepertinya memang tidak cocok menahan angin sekuat ini, sehingga dingin tetap menembus kulit meski tak sampai ke tulang. “Hai….”

Entah darimana datangnya, gadis yang tadi tahu pandangan kosongku di bar kapal, kini ada tepat di sampingku di geladak. Kami hanya berdua, tapi dia tampaknya lebih siap berada di sini daripada aku. Jaket kain ala Eropa dengan krah bulu angsa, membungkus tubuhnya sampai ke betis, sehingga sulit untukku menebak rampingkah dia? Atau montok?

Entahlah, mungkin dia gemuk sehingga memilih menutup kegemukannya dengan jaket besar dan panjang. Saya bisa memaklumi itu, soalnya dia sepertinya tipe gadis modern yang ingin tampil ramping tapi tak cukup kuat menjaga keseimbangan metabolisme tubuh. Namun yang pasti, dia tidak lebih tinggi dari aku. Ujung tertinggi topi dingin yang bertengger angkuh di kepala sejajar dengan telingaku saat kami sama berdiri tegak.

Gadis itu memang lebih siap ada di geladak daripada aku. Buktinya, dia pake topi dingin sedang aku hanya berharap pada rambut keritingku yang kubiarkan tebal. Kribo. Sama sekali tidak siap, karena tidak ada rencana untuk bersantai di geladak pada jam setengah dua belas malam.

Penumpang lain sudah lelap, sebagian bermimpi tentang liburan nan mewah di Nusa Dua. Kapal kami baru saja meninggalkan Benoa untuk terus ke Perak Surabaya. Aku belum tidur. Gadis di sampingku juga belum. Karena kalau dia tidur, dia pasti tidak di geladak, tetapi di kamarnya. Dia pasti sewa kamar di kapal ini. Jaketnya malam itu menjelaskan kalau kondisi ekonominya tidak sama dengan yang ada di dek ekonomi.

“Hai….” “Hai juga, belum tidur?” “Belum, kamu sendiri?’ Gadis ini, sekarang dia berani ber-kamu, padahal seingatku di sewaktu di bar tadi dia ber-abang. Mungkin dia sudah bisa menebak kalau usiaku tak jauh beda dengannya sehingga tidak perlu bersantun-ria. Atau dia ingin membangun suasana yang akrab. Kami di geladak kapal. “Sama,” jawabku sambil terus cerita jujur. “Akhir-akhir ini aku emang nggak bisa tidur. Sudah lebih seminggu” “Koq bisa,…. Kamu insomnia ya?” “Nggak, aku cuma takut gelap. Tiap aku coba terpejam, rasanya seperti dalam peti mati. Selalu ada mimpi buruk dalam tidurku” “Gimana rasanya?” “Dalam peti mati?” “Bukan,…” ia tersenyum. Mungkin pertanyaanku baginya terdengar lucu atau atau agak naif. Lalu menyambung, “Kamu kan sudah seminggu lebih nggak bisa tidur. Gimana rasanya tidak tidur selama itu?” “Can’t be explain. Tapi sepertinya aku harus tidur sekarang. Mudah-mudahan bisa. Selamat malam,” kataku sambil melangkah menjauh meninggalkannya di geladak. Aku mulai merasa kurang nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan gadis itu. Aku kurang siap menjawab. Karena menjawab berarti harus bercerita tentang persoalan yang sedang aku bawa. Padahal aku belum siap bercerita. Apalagi sekarang kantuk mulai menyerang. “Hei…!” kudengar ia setengah berteriak. “Kita kan belum sempat kenalan.” “Aku Silver. Silver Yohanes,” sahutku tetap melangkah. “Aku Helena. Helena Puji Astuti. Tapi panggil aku Helen,” sahutnya seolah pasti kalau kami akan ketemu lagi.

Kami berpisah di tempat itu, di geladak kapal. Jam setengah dua belas lebih tujuh belas menit. Aku ke dek tiga. Kulihat tempatku belum terisi. Aku tidur. Samping kiriku seorang Ibu muda tidur memeluk putri kecilnya. Keduanya lelap, terdengar dengkuran halus sekali, semakin halus, sampai aku tak mendengar apa-apa lagi. Aneh, aku bisa tidur dan baru terbangun saat terdengar pengumuman kapal akan segera sandar di Pelabuhan Perak. Hampir jam empat pagi. Luar biasa! Bukan karena obat tidur, tapi karena karena obrolan tak sampai seperempat jam dengan gadis bernama Helen, aku bisa lelap. Tak ada mimpi buruk. Andai aku bertemu dia dua Minggu sebelumnya, mungkin mataku tak akan cekung. Banyak hal yang bisa dijelaskan tapi akal sehat tidak cukup luas untuk bisa menerimanya sebagai hal yang rasional.

Sauh sudah dibuang, kapal Dobon Solo yang membawaku dari Dermaga Pilemon Labuan Bajo kini benar-benar berhenti di Pelabuhan Perak Surabaya. Aku sendiri sudah di luar kapal, agak jauh ke darat sibuk menawar angguna untuk mengantarku ke Perumahan Wisma Tropodo di Sidoarjo. Temanku menunggu di sana, di rumah kontrakan yang akan kami tempati berdua. Aku pilih angguna, uangku tak cukup untuk taksi. Tak banyak yang terjadi sepanjang perjalanan. Sopir Angguna sekitar empat puluh tahun bahkan tidak pernah bicara.

Jam 07.00 waktu Sidoarjo Di dalam kamar sebuah rumah mungil di jalan Dokter Sutomo, kompleks perumahan Wisma Tropodo. Rumah itu kontrakan temanku. Anak Solo bernama Bontos, bertubuh tambun, teman kampusku yang sekarang kerja entah sebagai apa di kawasan Rungkut. Saat aku datang dini hari tadi rumahnya terlihat bagus. Rapi.

Tetapi sepertinya sekarang ada yang berubah. Bontos tak ada di rumahnya. Malah kini terlihat ada beberapa perempuan berpakaian putih-putih. Mereka membelakangiku, bernyanyi tanpa syair. Tapi lagu itu, lagu yang mereka nyanyikan sepertinya sangat akrab di telingaku. Aku berpikir keras. Sangat keras sampai akhirnya aku sadar kalau lagu itu adalah salah satu lagu yang kukagumi. Mereka sedang bernyayi Ave Maria karya Schubert, bukan bernyanyi tetapi bersenandung. Aku ikut bersenandung sampai mereka menoleh dan menatapku. Oh, ada Helen di antara rombongan itu. Yang lainnya adalah perempuan-perempuan di sekitar hidupku. Tapi mengapa mereka bersama Helen?

Bukankah mereka sudah mati? Wajah dan tatapan bola mata mereka memerah. Aku sadar itu bukan tatapan persahabatan. Aku mencoba tersenyum. Tak ada balasan. Aku diam, tetapi mereka tetap melihatku. Dan,… Oh Tuhan, kini mereka mendekat. Aku melangkah mundur. Ketakutan. Aku takut sekali. Bagaimana mungkin orang berpakaian putih berjalan ke arahku dengan mata merah; dan… ya ampun di tangan mereka kini ada pisau belati mengkilap oleh cahaya yang datangnya entah dari mana. Aku heran dan sempat berpikir, bukankah dalam situasi seperti itu mereka seharusnya berpakaian hitam dan bernyanyi lagu mistis? Sehingga saya tidak usah ikut bernyanyi, dan langsung menjauh?

Aku takut, lari dan kali ini berteriak. Mencoba keluar dari rumah temanku. Teriakanku semakin kencang, karena tiba-tiba bunyi guntur menggelegar, dan di sela suara tak berirama itu aku mendengar suara lain memanggil namaku. Bukan suara perempuan yang bersenandung, tapi suara pria yang setengah teriak, putus asa. Sil..…… Silver……. Oh tidak, kenapa pria itu? Siapa dia? Teman Bontoskah? Tapi kenapa jadi begini? Aku terus berlari, tetapi gelegar semakin jelas terdengar. Namaku tetap disebut, dan aneh mereka, rombongan perempuan itu tetap bersenandung Ave Maria, sedang pria itu tetap memanggil namaku. Kini giliranku yang putus asa. Pasrah, sambil berharap mudah-mudahan mereka bukan malaikat maut.

Dan… Aku terbangun. Terima kasih Tuhan, tadi itu hanya mimpi. Tapi kenapa senandung Ave Maria itu masih terdengar? Kali ini lebih jelas. Dan bunyi guntur itu…….. Kepalaku bergerak liar. Menoleh ke arah meja di kamar kecilku, lalu berpaling ke pintu, lalu tersenyum. Aku tadi bermimpi, tapi sekarang tidak. Lagu Ave Maria Schubert masih tetap terdengar, tapi itu dari telepon selulerku. Alarm-nya memang Ave Maria. Berarti sekarang jam 7 pagi. Bunyi guntur ada, tetapi itu gedoran pintu di kamarku. Lalu ada yang memanggil.

Sil….. Silver…….ada apa? Itu suara temanku. Dia rupanya membangunkan aku. “Santai Tos, aku cuma mimpi buruk. Mungkin karena lama gak sempat istirahat,” jawabku. “Aku emang biasa gitu, mimpinya pasti aneh-aneh kalau udah kelelahan. Trus, kamu gedor-gedor pintuku ada apa?” tanyaku sambil merapikan tempat tidurku. “Ada telfon. Dari temanmu, cewek. Namanya Helen.” “Helen?” “Iya, buruan udah ditunggu lama,” suruhnya dan berlalu. Dia harus kerja. Aku tersentak, terburu-buru menuju pesawat telefon di pojok ruang tamu. “Halo,…..”

Sial, Helen tak cukup bersabar. Sapaanku dibalas dengan dengungan panjang. Telepon teputus. “Tapi apa benar itu Helen?” kata hatiku. “Lalu dari mana dia tahu nomor telfon kontrakan temanku?”

Aku terus mencoba mengingat-ingat, apa pernah aku berikan alamat Bontos ke orang lain. Tetapi semakin aku keras mencoba mengingat, semakin aku yakin tak mungkin seceroboh itu. Aku tidak pernah membocorkan alamat ini ke orang lain. Misi perjalananku dari Manggarai terlalu rahasia untuk dibicarakan dengan banyak orang. Hanya aku, dan beberapa gelintir orang dekatku yang tahu. Dan aku berani pastikan, tak satupun dari mereka yang kenal Helen, Jadi kalau toh yang telfon tadi adalah Helen, maka dia pasti tahu nomor itu bukan dari mereka.

Kriiiiiiiiiiing… kriiiiiiiiiiing,…

Telepon di sudut ruang tamu berdering. Aku ke sana, mendekat tapi ragu. Kuangkatkah telfon itu? Tapi otakku terlambat mengambil keputusan, karena di saat yang sama tanganku sudah bergerak dan… “Halo selamat pagi.” “Pagi Silver, baru bangun ya…” suara renyah terdengar bersih di gagang telfonku. “Kk.. kamu Helen?” “Iya…, kaget ya?” “Lumayan.” “Kamu pasti bingung dari mana aku tahu nomor ini kan?” “Eh… ii.. iya.” “Gini, pas kita lagi di bar kapal, ada kertas kecil jatuh dari saku belakang jins kamu. Tapi kamu ternyata nggak sadar. Waktu itu aku pikir kamu sedang bingung dengan sikapku yang tiba-tiba ramah padahal kita belum kenalan. Trus, waktu aku mau balikin tu kertas, eh kamu malah ke geladak. Ya udah, aku ikutin aja kamu ke geladak. Tapinya lagi, kamu keliatan nggak betah ngomong ama aku. Nggak jadi deh aku balikin tu kertas.” “Trus…? kataku sambil mencoba mengingat-ingat apa isi kertas itu. Sayang, sampai Helen nyerocos lagi aku belum juga bisa ingat isi kertas yang membuat gadis itu tahu nomor telfon temanku Bontos. “Teruus, kertasnya aku buka aja. Eh gak taunya cuma nomor telfon dengan tulisan kecil yang membingungkan. Kamu ingat kan?” “I…iya, sekarang aku ingat,” sahutku dengan nada bergetar. “Tempatku Bersembunyi Dari Kematian” aku bergumam melafalkan kembali tulisan yang aku buat pada kertas kecil berisi nomor telfon Bontos.

Aku memang sedang dalam perjalanan tanpa misi yang jelas. Aku cuma ingin lari dari kepedihan bertubi yang menimpaku akibat kematian orang-orang dekatku. Pertama kakak perempuanku, meninggal akibat kanker payudara ganas. Tak lama berselang, giliran istri pamanku meninggal saat melahirkan, ditolong dukun beranak. Lalu satu persatu wajah-wajah terkasih pergi dan tak pernah kembali. Sampai suatu saat, kematian itu hampir menjemputku. Aku takut, takut sekali pada kematian, juga takut mengetahui dan menyaksikan orang-orang di sekitarku mati. Aku lalu menghindar. Jauh dari peristiwa menyedihkan itu, dan kini di kontrakan temanku sedang menerima telepon.

“Nah itu dia,” datang suara dari seberang telfon. “Tulisan kamu jelas bikin aku bingung. Tapi yang bikin aku penasaran adalah, karena kita sepertinya sama. Sama-sama takut mati.” “Memangnya kamu…” “Iya,… aku memang sedang berusaha menghindar dari kematian. Makanya, karena kita sepertinya senasib, kita sebaiknya ketemu kan?” “Boleh, tapi untuk apa?” tanyaku tolol. “Biar kita bisa jadi teman. Kali aja, kalau dua orang yang menghindar dari kematian itu bisa berteman, maka kematian akan takut menghampiri. Kamu mau kan, Sil? Atau jangan-jangan kamu ada acara hari ini.” “Enggak koq, kebetulan aku gak ada acara. Kalo gitu, kita ketemu di Food Center Tunjungan Plasa jam 10, OK?”

Jam 09.33 Waktu Sidoarjo Aku baru selesai dandan, ketika telfon di ruang tamu berdering. Sial, padahal aku sudah siap-siap ke Tunjungan Plasa. Bertemu Helen, sambil nikmati dunkin donuts. “Halo.” “Silv, ini Bontos!” suara dari ujung telfon. “Ada apa, Tos?” “Aku di kantor polisi sekarang. Tadi mobilku dipinjem temen kantorku. Trus, pas di sekitar Tunjungan, temenku nabrak satu perempuan yang mau nyebrang.” “Lalu?” tanyaku tolol. “Ya, aku sepertinya gak bisa pulang sekarang. Urusannya masih lama sampai mobil aku keluar. Jadi kalo laper, kamu bisa cari sendiri kan. Warung di ujung gang itu langgananku. Udah ya…” “Eit entar dulu, Tos…” “Ada apa lagi toh..?” “Kamu tau gak nasib dan nama korban,” tanyaku ragu. “Emang kenapa?” “Ngng ... Nggak apa-apa kog, tapi perasaanku agak aneh aja.” “O…, kata Polisi sih korbannya langsung meninggal di lokasi kejadian. Namanya Helena Puji Astuti. Udah ya!” Sambungan telpon terputus. Gagang telfon masih dalam genggaman. Mendadak dunia di sekitarku berputar kencang. Temaram lalu gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Saat bangun, tak ada yang berubah di sekitarku. Juga kenyataan bahwa kematian tak pernah jauh dari sisiku.

Sumber : Kompas Indonesia

ASAL USUL BAHASA INDONESIA



Bahasa Melayu diketahui sebagai akar dari lingua franca Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana, dalam bukunya Sedjarah Bahasa Indonesia, mengutarakan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara.

Menurut Alisjahbana, persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. "Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan," tulisnya. Faktor lain, bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.

Pada era pemeritahan Belanda di Hindia, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam korespondensi dengan orang lokal . Persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda pun semakin ketat. Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat.

Meski demikian, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu di Indonesia. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang saat itu Direktur Departemen Pengajaran, berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.

Akhirnya persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa Melayu. Bagaimanapun bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang. Kemudian di Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangakan sebagai bahasa dan sastra Indonesia.

Pada Kongres Pemuda II 1928, diikrarkan bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda. James Sneddon, penulis The Indonesia Language: Its History and Role in Modern Society terbitan UNSW Press, Australia mencatat pula kalau butir-butir Sumpah Pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu Tinggi. Sneddon menganalisis dari penggunakan kata 'kami', 'putera', 'puteri', serta prefiks atau awalan men-.

20 Oktober 1942, didirikan Komisi Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun tata bahasa normatif, menentukan kata-kata umum dan istilah modern. Pada 1966, selepas perpindahan kekuasaan ke tangan pemerintah Orde Baru, terbentuk Lembaga Bahasa dan Budaya di bawah naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan. Lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional pada 1969, dan sekarang berkembang dengan nama yang dikenal, Pusat Bahasa.

Tanggung jawab kerja Pusat Bahasa antara lain meningkatkan mutu bahasa, sarana, serta kepedulian masyarakat terhadap bahasa.

RAHASIA TELEPATI ANJING



Anjing diakui memiliki kemampuan telepati bawaan sejak lahir. Hal tersebut dibuktikan oleh Dr. Monique Udell bersama timnya dari Florida University.

Para pemilik anjing seringkali mengatakan bahwa hewan peliharaan mereka memiliki kemampuan luar biasa layaknya telepati untuk memahami pemiliknya yang sedang kelelahan, depresi, dan kesakitan. Anjing tetap bisa mengenali meskipun pemiliknya berusaha menyembunyikan tanda-tanda kelelahan, depresi, dan sakit.

Temuan terbaru para ahli membuktikan bahwa fenomena tersebut merupakan kemampuan yang diperoleh secara alamiah, bukan sesuatu yang didapat melalui proses pembelajaran. Mereka membuktikannya melalui sebuah eksperimen yang menggunakan dua kelompok anjing, satu kelompok anjing yang sudah dijinakkan dan satu kelompok serigala, kerabat dekat anjing yang hidup di alam secara liar.

Dr Monique Udell bersama timnya dari Florida University menguji kedua kelompok hewan itu dengan cara memberikan kesempatan kepada mereka untuk meminta makanan, baik dari orang yang perhatian maupun orang yang berpotensi mengabaikan mereka.

Pada eksperimen tersebut, para ahli menemukan untuk pertama kalinya serigala, sebagaimana anjing peliharaan lainnya, mampu meminta makanan dengan mendekati orang yang perhatian. Ini menunjukkan bahwa kedua spesies, baik peliharaan maupun non peliharaan mempunyai insting "telepati" untuk berperilaku sesuai dengan tingkat perhatian manusia.

Dengan demikian, para ahli menyimpulkan bahwa kedua spesies itu memperoleh kemampuan "telepati"nya sejak lahir. Karena serigala tidak terlatih seperti anjing yang sudah dijinakkan yang bisa meminta makanan kepada tuannya pada saat-saat tertentu. Anjing memiliki kemampuan yang lebih baik hanya karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama manusia.

AKU AYAHMU, ANAKKU



Kau terlalu nakal dan bidadari pengasuhmu itu terlalu sayang padamu hingga untuk memukul pantat permaimu atas kenakalanmu itu saja dia tidak akan tega.

Aku adalah ayahmu, Anakku. Aku tak tahu bagaimana atau dengan bahasa seperti apa engkau dan kawan-kawan sepermainanmu di sana menyebutnya. Ayahmu inilah seorang lelaki yang akan menjadi lantaran bagi kelahiranmu ke dunia. Seorang lelaki yang diberi kepercayaan Tuhan untuk menaburkan benih-benih cinta dalam rahim ibumu yang gembur dan subur. Ah, aku pun tak tahu bagaimana caramu dan kawan-kawan sepermainanmu menyebut seorang ibu di sana, tetapi dia adalah perempuan yang akan memberi perlindungan bagi benih yang bertumbuh di rahimnya dari ruhmu kemudian merawat dan menyianginya dengan penuh kasih sayang setulus kemampuan dan hidupnya hingga sempurnalah engkau.

Dengarkanlah ceritaku karena suatu ketika ibumu itu telah berkata kepada ayah: “Aku telah hampir menjadi demikian lelah sehingga bermacam pikiran masuk ke dalam otakku. Yang paling buruk dari itu semua adalah: apakah aku harus memancangkan tinggi-tinggi selebar panji bertuliskan Aku Bukanlah Perempuan Seutuhnya?”

Aku tentu tidak akan bertindak bodoh dengan menanggapi kata-kata yang hanya berupa pelampiasan dari rasa putus asanya itu. Kau tahu apa yang aku lakukan saat itu? Ayahmu ini hanya tertawa dan mengatakan padanya: “Jangan bodoh! Mana ada bukan perempuan seutuhnya yang secantik engkau?” Lalu ibumu itu mengembang tangis. “Jangan mengigau, hanya membuatku bertambah parah!” katanya memelas, air matanya telah berlinangan. “ Lalu kenapa bukan perempuan seutuhnya seperti engkau bisa menangis dan berkeluh kesah justru selayaknya perempuan seutuhnya?”

Ibumu terdiam, Anakku. Mungkin dipikirnya kata-kata ayah ada benarnya. Justru sepertinya kini dia merasa menjadi perempuan seutuhnya karena telah menunjukkan perasaan sedih dan melankolis yang sejatinya lebih banyak dimiliki perempuan. Seorang lelaki seperti ayah mungkin pula dapat menjadi melankolis dan tidak mampu menyimpan terlalu rapat kesedihannya, tetapi seorang lelaki adalah tetap seorang lelaki dengan pedang dan bara api sebagai perlambang, selemah apapun dia.

“Kau hanya melihat dirimu dari sudut pandang yang kau ingini saja. Jika kau berdiri di alasku, sebagai aku, kau akan mengatakan bahwa perempuan seutuhnya bukanlah perempuan yang tidak mampu beranak. Kau pikir perempuan hanya seekor Ratu Rayap yang lahir, beranak dan kemudian mati? Tentu saja bukan, karena engkau lahir, bertumbuh melalui proses sedemikian lama, bersekolah di sekolah manusia, menemukan pasangan dan lalu menikah. Kau tahu Ratu Rayap, bukan? Dia hanya mampu berbaring sepanjang hari dengan perut yang besar dan berisi telur-telur bakal anaknya. Dan kau tahu siapa yang membuahinya? Ah, aku tak mau membuatmu ngeri. ”

Ibumu lalu tertawa dan justru air matanya itu menjadi tumpah sama sekali mengaliri kedua pipinya yang permai. Ah, Anakku, kau harus melihat jika dia tertawa. Sungguh tak ada bedanya dengan seorang bidadari pengasuhmu yang tercantik dan mungkin menjadi favoritmu dan sering kau godai dengan menarik-narik anak rambut dekat telinganya atau kau gigit ibu jarinya. Kemudian jika dia berpura-pura marah dan lari mengejarmu kau dengan senang hati membuatnya lelah dengan berputar-putar di bawah sebatang pohon surga sambil berteriak-teriak: Tangkap aku! Tangkap aku!

Anakku, kukatakan kepadamu, ibumu akan dengan senang hati pula mengejarmu jika kelak engkau mencoba lari dari pondongannya setelah kau ganggui pula. Aku jamin yang demikian itu. Lalu yang terjadi kemudian kau pasti akan bersembunyi di belakang tubuhku, tapi aku berpura-pura tidak melihatmu dan ibumu hanya mendapatkan bagian depan tubuhku, tapi dia akan menyembunyikan tawanya dan tetap berpura-pura kehilanganmu untuk menyenangkan hatimu. Itu salah satu bayangan tentang kebersamaan kita kelak. Indah, bukan? Semoga waktu itu akan cepat datang karena akupun telah tak sanggup bersabar lagi kecuali jika memang aku harus tetap bersabar. Musim demi musim yang bahagia ataupun putaran bumi yang membosankan telah aku lalui bersama hanya dengan ibumu. Tidakkah kau melihatnya dari ketinggian dan berkehendak untuk mempercepat waktu yang akan datang kelak dan berada di tengah-tengah kami?

Anakku, aku adalah ayahmu. Kau boleh coba membuktikannya dengan mengumpulkan semua kawan sebayamu yang senantiasa bermain-main denganmu di sana, di antara rasa segan dan jenuh menunggu titah Tuhan untuk turun ke dunia dan berdiri berjajar di hadapanku. Kalian pun boleh memasang banyak ekspresi yang kalian mampu untuk mengelabuiku dan aku akan tetap dapat menunjukmu dengan jitu. Kalian, kau pun anakku, boleh menyangkalnya untuk memberikan ujian yang lebih sulit kepadaku walaupun aku telah memilihmu, tapi aku tidak akan sedikitpun menjadi ragu karena aku tahu dan yakin akan hatiku yang telah benar-benar terikat takdir Tuhan padamu. Aku akan mengenali raut wajahmu, hapal aroma tubuhmu, menemukan pahatan-pahatan kalam Tuhan yang menunjukkanmu padaku dari tiap serat rambutmu. Atau perlu kubawa ibumu serta? Karena seorang ibu akan dapat mengenali buah hatinya dengan mata tertutup saja. Dia jelas akan lebih lihai daripada ayah, seperti seorang petani mengenali angin musim dan perubahan cuaca. Dengan doa pun dia terasa lebih akrab dari siapapun yang pernah berdoa hingga aku pernah berkata kepada ibumu:

“Jauhkanlah prasangka burukmu kepada Tuhan.” Ibumu hanya memandangku tidak mengerti. “Apa maksudmu?” “Jauhkan prasangka burukmu kepada Tuhan.” “Aku tidak berprasangka buruk kepada Tuhan. Kenapa kau mendugaku seperti itu?” “Bukankah di setiap lima waktumu dalam satu harinya kau sibukkan untuk berbicara kepada Tuhan? Meminta dan meminta agar anak yang masih di dalam surga itu Dia tiupkan ruh-nya segera ke dalam rahimmu?” “Apakah dengan begitu aku berprasangka buruk kepada Tuhan?” “Ya, kau pikir Dia tidak mendengarmu karena itu kau selalu mengulang-ngulang doa yang sama. Dan bukan hanya itu, jika kau kelak akan bosan, bukankah akhirnya kau pun akan berlari menjauhi-Nya? Lagipula, berapa banyak yang kau lalaikan hanya untuk meminta yang satu itu?” “Aku tak akan pernah bosan.” “Tetapi kau sering menangis di hadapanku dan berkeluh kesah. Bukankah itu merupakan pertanda bahwa kau telah bosan?” Ibumu hanya diam, Anakku. Seperti biasanya. “Panggillah dia lewat hatimu, buah hati yang kau dambakan itu. Mungkin saja Ruh bakal anakmu itu terlalu nakal dan selalu bersembunyi ketika giliran waktunya telah tiba untuk menjadi mahluk malang yang bernama manusia. Mungkin dunia ini terlalu menakutkan baginya dan dia lebih memilih berlama-lama di ribaan Tuhan.”

Apakah demikian, Anakku? Karena ayah pun tak pasti dan hanya membual di hadapan ibumu. Menurutku itu lucu, tapi memang bisa jadi benar. Kau terlalu nakal dan bidadari pengasuhmu itu terlalu sayang padamu hingga untuk memukul pantat permaimu atas kenakalanmu itu saja dia tidak akan tega.

Jika memang benar demikian, Anakku, akupun harus memukul kedua pantat permaimu itu karena kau tidak memiliki kepercayaan kepada kami: aku dan ibumu. Kau pikir ayahmu ini tidak akan sanggup membimbing sekaligus menjagamu? Merawatmu sejak kau keluar dari perut ibumu, memberikan segala yang kau butuhkan hingga engkau dapat mengginginkannya sendiri walaupun dengan menangis, menjauhkanmu dari hal-hal buruk dunia dan menyiapkanmu sebagai manusia yang baik kelak?

Memang, Anakku, dunia yang kini aku dan ibumu tinggali adalah dunia yang tidak akan bisa dibandingkan dengan tempat yang kau diami sekarang. Dunia yang kami tempati sekarang adalah dunia yang berbahaya dan menakutkan di mana kebaikan menjadi satu keping terkecil dari sebuah bulatan bernama keburukan. Tetapi yang sekeping kecil itu sebenarnyalah lebih berat timbangan nilainya dari seseluruhan keping yang besar. Sungguh, ayah akan menjadikanmu bagian dari kepingan yang kecil itu. Aku bersumpah dengan segala kemampuan dan kekuatanku. Apa lagi yang kau tunggu? Bukankah ayah telah bersumpah?

Aku adalah ayahmu, Anakku, maka dengarkanlah. Tidakkah kaupun selalu dapat mendengarkan ataupun mencuri dengar doa-doa ibumua yang di bawa malaikat menuju Sidratul Muntaha di waktu-waktunya? Pun harapan-harapan yang sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan dari seorang perindu seperti aku, ayahmu?

Sebenarnyalah telah basah sajadahku, kuyup alas tidurku karena air mataku. Air mata yang kusembunyikan dari ibumu agar dia tak menganggapku seperti lelaki yang bukan lelaki seutuhnya. Karena sungguh, aku tak mampu melihatnya mengulum kesedihannya di mana sebenarnya aku dapat memberikan satu ketenangan padanya, cukuplah aku dengan tangisanku sendiri. Aku telah merasa cukup banyak berdoa pada Tuhan dan aku yakin sebenarnya semua itu telah di dengar-Nya dan aku malu untuk meminta lebih banyak lagi.

Aku memohon kepadamu, hadirlah. Beri kebahagiaan bagi ayah dan ibumu. Atau jika semua itu belumlah cukup, beri kami kepastian atau suatu pertanda agar lebih besar lagi harapan kami akan kepastian yang kelak akan datang itu. Aku adalah ayahmu, Anakku, maka sangat wajar jika aku sering memimpikanmu bahkan bukan hanya di salah satu dari waktu tidurku. Ayah pikir, itu adalah salah satu pertanda bagi kehadiranmu kelak, entah kapan. Seperti engkau berkata: “Ayah, bersabarlah.”

Ayah telah sangat bersabar, Anakku, pun ibumu. Dan ayah akan tetap mencoba bersabar jika memang kepastian itu benar-benar akan datang. Beberapa putaran waktu lagi atau sampai memutih rambut dan renta tubuhku pula ibumu, kami akan bersabar. Tetapi sungguh, batas antara sabar dan tidak itu tidaklah begitu tebal sehingga tidak sukar bagi kami untuk meretasnya. Mungkin kau belum tahu jiwa manusia yang rapuh seperti daun-daun kering, begitulah mungkin jika nanti kaupun mewujud kamanungsan. Ibumu pun tanpa pernah disangka-sangka berkata suatu waktu: “Aku sering memimpikannya bahkan di saat bukan salah satu dari waktu tidurku.” Ayah terkejut karena ibumu pun memimpikan hal yang sama. “Ah, bukankah dia hanya menyuruhmu untuk bersabar?” “Tidak.” “Lalu?” Ibumu memeluk ayah dan berbisik di kuping dengan lembut:

“Kebahagiaan akan datang. Entah itu segera, entah itu di waktu yang tidak pernah kita bayangkan, atau jika kita telah tidak berada lagi di dunia….entah, entah dan berapa entah lagi. Tapi akan datang. Sungguh akan datang.” Kali itu ayahlah yang terdiam, Anakku. Entah itu adalah pertanda darimu, apa atau bagaimana, aku yakin kau telah memberinya keyakinan dengan caramu, dengan persetujuan Tuhan tentunya. Ayahpun tidak akan khianat dengan hati ayah bahwa ayah benar-benar percaya akan pertanda itu, tapi tanpa pernah pula menafikan rasa tidak sabar yang sering muncul menggebu-gebu. Ayah toh hanya manusia biasa.

Anakku, aku adalah ayahmu. Aku tak tahu bagaimana dan dengan bahasa seperti apa engkau dan kawan-kawan sepermainanmu di sana menyebutnya, tetapi aku adalah seorang lelaki yang menjadi lantaran bagi kelahiranmu ke dunia. Seorang lelaki yang tidak mampu menahan rindu seperti dia menahan sebuah beban yang paling beratpun di pundaknya. Seorang lelaki yang sangat sangat sangat mencintai perempuan itu, ibumu, perempuan yang aku tak tahu pula bagaimana dan dengan bahasa seperti apa engkau dan kawan-kawan sepermainanmu di sana menyebutnya, perempuan yang akan memberi perlindungan bagi benih yang bertumbuh dari ruhmu di rahimnya dan kemudian menyianginya dengan penuh kasih sayang. Kami berdua mengidap satu perasaan yang sama: hanya merindumu, tapi kuasa Tuhan pulalah yang mampu memberikan kami kekuatan untuk sekedar meredam kerinduan itu.

Sepanjang waktu dan musim yang berlalu, harapan dan kerinduan akan selalu mengemuka, tetapi kau anakku, adalah penawar bagi segala jenuh dan kesedihan yang mengiringinya jika kelak engkau benar-benar mewujud. Dengan ketiadaanmu kini aku justru teramat sangat yakin bahwa engkau sebenarnya ada.

Kini hanya cukup dengan bayang dan mimpi kita bercakap, cukup dengan kerinduan dan air mata kita bertemu karena akan datang kebahagiaan itu, saat di mana darah ibumu akan memancar dengan pertaruhan akan hidup dan matinya untuk mewujudkan hadirmu. Melahirkanmu.

Aku adalah ayahmu, Anakku. Seorang perindu yang selalu akan menantimu tidak dengan asa yang terbatas. Semoga, Nak. Semoga.

Sumber : Kompas Indonesia

SAMPAN YANG TAK LAGI TERKAYUH



Pikirannya terbang ke masa silam, hampir dua tahun yang lalu, saat kisruh kenaikan BBM melanda negeri ini. Di saat sore yang merangkak enggan, saat ia berbincang dengan mendiang suaminya.

Senja mulai tua. Langit mulai berwarna biru pekat kekuningan, terbias matahari yang memancarkan kehangatan khas sore hari. Camar laut berterbangan menimbulkan suara bising di udara. Sebagian ada yang pulang, sebagian lagi masih sibuk memburu ikan-ikan yang malang. Tapi sosok perempuan setengah baya itu masih belum beranjak dari tempat duduknya pada sepotong kayu bekas pohon kelapa yang tumbang. Masih mematung menghadap lautan. Tatapan kosongnya masih mengarah pada gulungan ombak yang tak henti berkejaran, gemuruh menerjang batu karang. Kerudungnya yang terlihat lusuh, tak rapi lagi karena hembusan angin laut, tersibak, memperlihatkan rambut usangnya. Ia tak bergeming, tetap saja mematung dengan mata sayu menerawang. Hanya anak laki-laki kecil berumur lima tahunan dalam pangkuannya yang tak henti mengoceh sambil mempermainkan kupu-kupu kertas.

Linah, nama perempuan itu. Umurnya belumlah terlalu tua di usianya yang menginjak empat puluh lima tahun. Beban pikiranlah mungkin yang membuatnya seperti itu. Tatapan kosongnya masih menerawang ke tengah samudera. Menyiratkan suatu harapan besar pada perahu-perahu kecil di kejauhan sana. Masih tersirat sebuah harapan untuk menunggu anak pertamanya pulang dari menjala ikan. Samsul nama anak itu. Masih sangatlah muda untuk menjadi seorang nelayan. Umurnya yang belum genap menginjak angka lima belas tahun. Tapi dia nekad berjuang dengan ombak dan badai untuk hanya sekedar menyambung sebuah jalan atas nama kehidupan.

***

Linah mungkin patut bangga kepada anaknya. Dia mampu memahami kondisi keluarganya yang lambat laun mulai terasa rapuh. Sekilas matanya meneteskan air mata yang tak lagi segar. Matanya terlalu lelah untuk terus mengeluarkan air mata kesedihan. Pipinya tak lagi bisa merasakan basah air mata itu. Dia masih terduduk. Di sepotong kayu bekas pohon kelapa pinggir pantai itu, sudah beberapa hari ini Linah menghabiskan waktu sorenya untuk menunggu kedatangan anak sulungnya itu pulang dari menjala ikan. Sudah hampir tiga hari Samsul menjala ikan di tengah lautan. Jangankan batang hidungnya, bayangan perahunya saja tak pernah nampak dari pandangannya untuk merapat di pinggir pantai dekat rumahnya.

”Kemanakah kau nak, Kenapa kau belum pulang juga?” hatinya meratap dalam dingin. ”Aku tak kan membiarkamu untuk pergi lagi nak. Biarlah kita hidup dalam kemiskinan, asalkan kau selalu ada disisiku,” ratapnya makin dalam.

Tak jauh dari tempat dia duduk. Berdiri sebuah rumah kayu yang lebih pantas disebut gubuk. Disanalah dia bersama anaknya berteduh dari panas dan hujan. Di sanalah dia menyandarkan kehidupan yang dirasa makin sulit untuk dimengerti. Tak ada kursi, tak ada lemari. Bahkan sekat-sekat kamarpun tak nampak di rumah gubuknya itu. Hanya satu ruangan kecil di sudut, sebuah kamar mandi. Terlihat beberapa helai anyaman daun kelapa yang dia gunakan untuk sekedar duduk dan beristirahat. Serta nasi dan ikan-ikan kering di atas lembaran koran di sudut lainnya sebagai makanan pokoknya selama ini.

Titian waktu terasa begitu merambat pelan, seolah mengejek setiap jengkalan pengharapan di angannya. Dadanya sudah tak bisa lagi merasakan sesak atas apa yang dia terima dari sepenggal kisah hidup yang telah dijalaninya. Sepercik harapan selalu terbersit tatkala pagi mulai turun menyapa tanah. Mengharap anaknya, Samsul, datang menambatkan perahunya di bibir pantai dengan keadaan selamat. Memang tak ada lagi doa yang selalu dia panjatkan setiap hari, sehabis shalat, selain keselamatan untuk anak sulungnya itu. Baginya keselamatan jauh lebih berharga dari hanya sekedar hasil tangkapan yang berlimpah. Bahkan Linah pernah berjanji pada sepotong doanya. Ia tak akan membiarkan anaknya itu untuk pergi melaut lagi sebelum dirasa umurnya mencukupi untuk berjuang dengan gelombang badai di tengah laut sana.

***

Pikirannya terbang ke masa silam, hampir dua tahun yang lalu, saat kisruh kenaikan BBM melanda negeri ini. Di saat sore yang merangkak enggan, saat ia berbincang dengan mendiang suaminya.

”Aku berjanji, anak kita tak akan ku biarkan menjadi nelayan miskin seperti kita kelak bu” potongan kalimat mendiang suaminya itulah yang selalu menghantui alam pikiran Linah selama ini. ”Tapi pak, apa yang bisa kita perbuat, ditambah dengan keadaan ini, BBM naik, sedang hasil tangkapam ikan kita tidak seberapa.” ”Kelak, aku ingin melihat anakku seperti para mahasiswa yang sering mengadakan penelitian di desa kita bu, pintar, cerdas, dan bisa membuat perubahan.” ”Tapi dengan apa kita menyekolahkannya pak.” ”Dengan tekad bu, dengan niat dan kesungguhan kita.” ”Tapi...” ”Sudahlah bu, nanti malam aku akan pergi melaut, semoga hasil tangkapan malam ini bisa berlimpah. Dan besok aku akan ikut warga untuk berdemo menolak kenaikan BBM di depan DPRD.” ***

Di tengah keheningan yang bergelayut, Linah sering meratapi nasib yang menderanya. Masih terbayang jelas kejadian yang menimpa dia dan keluarganya pada malam kepergian suaminya melaut. Karena ternyata percakapan sore itu adalah percakapan terakhirnya dengan mendiang suaminya. Linah harus menerima kenyataan pada sore keesokan harinya suaminya harus pulang dalam keadaan tak bernyawa, karena terjadi kerusuhan dalam aksi demo.

Saat itu, Linah tak tahu harus berbuat apa demi masa depannya, terlebih masa depan anak-anaknya. Kesedihan tak kan merubah segalanya. Air mata hanya akan menjadi tetesan kering tanpa makna. Jelata hanya akan menjadi sebuah keabadian untuk orang seperti dia. Perlahan dia mulai menata kehidupan barunya, meskipun harus tertatih. Dan, hampir tiga hari yang lalu. Samsul mengutarakan niatnya dan nekad pergi melaut dengan harapan bisa menggantikan bapaknya sebagai pencari nafkah di keluarga. Dia pernah berujar pada Linah, ingin mewujudkan cita-cita almarhum bapaknya. Paling tidak, masih ada satu harapan yang tersisa. Hati Linah terenyuh. Sungguh dia tak mampu menahan keinginan Samsul yang begitu kuat, meskipun sejuta kecemasan terlihat dari buliran air matanya saat melepas Samsul perlahan mengarungi deruan ombak dengan perahu milik almarhum bapaknya.

Tak ada hari yang Linah lewatkan untuk tidak memandangi lautan. Masih dengan berjuta kecemasan. Masih dengan berjuta pengharapan. Hanya rasa yakin yang bisa menghibur hatinya untuk bisa kembali melihat Samsul pulang dalam keadaan baik.

Namun hingga kini, bayangan perahunya saja belum menampakkan diri di tengah lautan. Dan Linah masih setia menunggu anak pertamanya itu pulang dengan iringan doa yang tak henti-hentinya ia panjatkan demi keselamatan anaknya itu. Masih terduduk di bekas sebatang pohon kelapa yang tumbang dengan kerudung lusuhnya. Masih tegar dengan hembusan angin pantai yang mempermainkan rambut usangnya. Masih sabar menanti dengan iringan riuh suara camar dan gulungan ombak yang sebagian menerpa batu-batu karang. Dan, entah kapan semuanya akan berakhir.

*** Angin berdesir saat pagi mulai turun merangkak, di pesisir pantai lain nun jauh di sebelah barat. Diantara batu-batu karang, tampak perahu nelayan yang tertambat secara terpaksa, bagai pasrah menerjang karang. Beberapa meter dari perahu banyak orang berkerumun. ”Ada apa pak?” tanya seorang laki-laki paruh baya pada nelayan yang baru saja keluar dari kerumunan. ”Ada mayat pak, remaja, tersangkut diantara karang,” jawab nelayan itu ”Innalillahi.”

Sumber : Kompas Indonesia

IKLAN TERMAHAL DI DUNIA





HONDA ... Power of dream!!! Visinya terbukti dari iklan yang di realeasenya! Salut untuk yang telah memeiliki ide sebegitu detail dan hebat ini! :)

BERBAGI ITU INDAH :)



Setiap keadaan, kalau kita saling berbagi .. akan terasa sangat nikmat dijalani!! :) seperti anak ini ... tidak ada kata pelit ataupun serakah ... ^_^

ORDINARY KUTA


Tiga hari kita di Bali, setiap hari begini, menjelang senja berada di Kuta, aku duduk di sini dan kau bermain di batas laut mencium pantai.

Berada di Kuta, sore hari menjelang sunset, duduk di pasir memandang engkau yang tak lelah berjalan menyusur garis pantai, bermain dengan bibir ombak yang pecah lembut di barisan pasir yang seperti tak berujung. Keceriaan jelas menjadi gambar wajah, senyum tak pernah hilang, tawa kecil saat kau berlari menjauh agar jemari kakimu tak basah, jauh lebih menarik dari sekedar melihat matahari tenggelam ke batas pandang di ujung laut.

Mereka pasti memandang ini sebagai ironi terbesar dalam sejarah, karena ribuan dollar dipakai oleh sebagian orang hanya agar beroleh satu kesempatan dari ribuan hari hidup mereka, sehari saja, berada di Kuta dan memandang sunset. Belajar menabung dengan baik, berkonsultasi dengan ahli keuangan yang juga mengeluarkan banyak dollar, mengambil shift lembur lima hari sepekan, agar tetap mampu menabung tanpa harus kekurangan. Beberapa di antara mereka juga harus mengejar other job, demi satu tujuan. Suatu kelak, saat pundi-pundi tabungan mampu membekali perjalanan jauh, mereka akan terbang ke timur jauh, ke pulau yang disebut Island of God, untuk di suatu senja berada di pantai Kuta memandang matahari menghilang dan tersenyum takzim, puas, dan segala beban hilang lepas.

Kau lihatlah, seorang pria di sampingku, binar wajahnya memancarkan isyarat kepuasan yang tak mampu ditampung bahasa. Aku tadi mengajaknya bicara, tetapi tidak pada detik-detik ini. Detik di mana, suara tak lagi penting, aksara tak lagi bermakna, hanya rasa kagum yang dinikmatinya hikmat, seperti engkau menikmati konsekrasio, tak ingin diusik, pertunjukan kuasa-Nya terlalu Agung hanya untuk diganggu dengan pertanyaan, “How Long Have You Been In Indonesia?”; atau pertanyaan basi anak-anak jurusan pariwisata yang sedang melatih kemampuan berbahasa Inggris mereka, seperti, “Where you come from?”, “Do you like Bali?”, What do you think about Balinese?”

Kau lihatlah, dia menikmatinya dengan takjub yang sempurna, sehingga aku tak tega dan tak kan pernah tega menukarnya dengan pertanyaan basi yang tak sempat kuungkapkan sesaat sebelum detik ini, “where do you go after enjoying Bali?”. Aku menyimpan pertanyaan itu, untuknya dan untukku sendiri. Karena mungkin setelah detik ini, kami tak akan ke mana-mana dan mati. Mati di Bali.

Aku ingat waktu kecil, begitu terobsesi dengan tempat bernama Bali setelah mamaku bercerita tentang sebuah artikel yang dia baca di majalah perempuan entah apa, artikel berjudul JANGAN MATI SEBELUM ENGKAU KE BALI. Dia bercerita dengan sungguh-sungguh tentang Bali yang indah, kesungguhan yang membuatku sungguh-sungguh berniat suatu saat jika dapat, mengajaknya ke Bali. Beberapa tahun lalu, sebelum engkau hadir dalam hidupku, aku mengajaknya ke tempat ini, membiarkannya duduk di atas pasir ini dan tak mengajaknya bicara hingga beberapa jam setelahnya. Kulakukan itu agak tak merusak sensasi selembut kulit bayi yang terukir di pancaran wajah dan terpatri di hati.

Tugasku untuknya kuanggap selesai, dan kini aku berurusan denganmu. Ya, aku hanya berurusan denganmu, bukan dengan matahari tenggelam di batas pandang laut dari pantai bernama Kuta ini. Aku juga tak berurusan dengan pria siapapun namanya di sampingku yang kini mulai terbaring meneruskan menikmati sensasinya karena mentari benar-benar hilang. Aku tak berurusan dengan ramai kendaraan di belakangku, dan hentakan musik dari kejauhan di Hard Rock Café.

Aku hanya berurusan denganmu manisku. Engkau yang kini sedang menikmati irama kakimu menjejak pasir, tenggelam dalam dunia damai yang kau bangun sendiri, dunia damai yang ingin kau hayati sendiri, namun getar nuansa beningnya sampai di sini. Inilah mungkin yang mereka sebut telepati, mampu menikmati apa yang kau rasakan tanpa harus bersentuhan atau bicara. Tak butuh konsentrasi tinggi untuk itu, apalagi sampai harus menutup mata dengan kain tak tembus pandang. Hanya para pesulap yang memerlukan itu. Sedang kau dan aku? Kita hanya perlu rasa yang terasah sekian lama, hati yang berbagi sepanjang hari dan senyum yang terberi sepanjang waktu.

Kita telah melakukannya manisku, bahkan jauh sebelum aku memutuskan mengajakmu ke Bali, sejak awal aku melihatmu hadir dalam hidupku dan menguat tiga tahun silam saat dia tak lagi ada di antara kita, hanya kau dan aku, kita berdua dan hidupku dengan engkau menjadi sumbu, tempatku berputar mengelilingi. Aku bumi dan kau matahari. Kutegaskan sekali lagi, aku bumi dan kau matahari yang tak kuingin berhenti. Jangan berhenti, atau aku tak lagi mampu berputar. Posesif memang, naif mungkin, tetapi salahkah posesif, rendahkah naif, padahal aku menyayangimu sepenuh hati? Aku tak kan mengusikmu, merusak duniamu, menodai khayalmu. Kau punya dunia sendiri, kusadari itu dengan sepenuh jiwa; tak kan kupaksakan duniaku masuk ke duniamu, karena adakah artinya itu sementara duniamu adalah duniaku kini?

Jangan berhenti berpendar matahariku, meski sunset di Kuta ini telah lama lewat. Teruslah menari di bibir pantai.

Satu persatu telah meninggalkan pantai, juga pemuda Rusia yang tadi di sampingku. Sebagian dari mereka mungkin ke Legian, melanjutkan menikmati malam, menghabiskan lebih banyak dollar untuk sensasi yang lain. Aku tak perduli, karena aku tak kan beranjak dari tempatku duduk hanya agar mampu memandangimu tekun dalam duniamu, laut malam yang damai mencium pantai, tari-tarian kaki tak rapi, rambut ombakmu yang kau biarkan tergerai di sini di Kuta Bali.

Tiga hari kita di Bali, setiap hari begini, menjelang senja berada di Kuta, aku duduk di sini dan kau bermain di batas laut mencium pantai. Jam sembilan malam saat tempat ini tak lagi ramai, biasanya begitu seperti juga saat ini, kau selesaikan bermainmu dan mendekat.

Lihatlah, betapa kau menjadi lebih cantik setiap hari. Ah, aku terlalu mencintamu dan semakin bertambah setiap hari. Kau mendekat, berlari kecil, aku beranjak berdiri dari tempat ku duduk, berjalan kecil menyongsongmu, sembari payah menahan sesak cinta yang semakin menghimpit dada. Beberapa patah kata telah siap keluar, tetapi aku tahu, untukmu, cinta tak butuh kata-kata, dia hanya lebih berarti ketika hadir dalam sikap.

Kita semakin dekat, dan dekat sekali lalu kau menghambur dalam pelukku. Hanya beberapa detik, dekap itu membuatku semakin yakin, cintaku padamu lebih besar lagi hari ini.

Dan kita melangkah pergi meninggalkan pantai, sambil kau katakan ini, “Kalau Bunda di sini, pasti lebih indah ya Pa…”

Sesak di dada ini semakin terasa, tetapi kau tak berhenti berkata-kata. “Tapi Bunda pasti bahagia di surga kan Pa…?”

Kurasakan bulir bening dari bola mata akan jatuh ke pipi. Segera ku usap, sebelum kau lihat. Dan kudengar lagi kau bicara, “Sudah berapa tahun Pa, Bunda pergi?” Dan kau berkata lagi, “O iya, sudah tiga tahun ya… Tapi Bunda pasti melihat kita kan Pa?”

Aku berhenti. Kau juga berhenti. Tapi tangan kita tetap bergandeng. Ku tahu kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi aku sedang bicara dalam hati dengan sepenuh jiwa sambil menatap mata beningmu. Kukatakan ini dalam hati, “Bunda ada di sini, di hatimu dan Papa. Bunda tak pernah pergi, apalagi meninggalkan kita, bunda telah menjelma menjadi kita dan pantai.”

Kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi dengan hati dan mengerti. Lihatlah kau tersenyum kini, mengangguk kecil, tersenyum dan kita melangkah lagi.

“Besok ke sini lagi ya Pa,” katamu dalam hati “Pasti matahariku,” jawabku juga dalam hati.

Kuta yang biasa, adalah Kuta yang luar biasa dengan hadirmu perempuanku, matahariku.

Aku bumi dan kau matahari. Jangan sekali pendarmu mati, karena aku mencintaimu dan semakin mencintaimu setiap hari.

Sumber : Kompas Indonesia

IBUKU ALKOHOLIK


Ibu masih terbaring dalam buaian mimpi. Butuh waktu selama 5 jam untuk menyadarkannya kembali, dan keadaan ini tidak akan mampu diingatnya ketika membuka mata.

Aku ingin membencimu dengan istimewa Ibu. Saat ketidakmampuanmu jadi Ibu. saat di mana kau habiskan seluruh hidupmu untuk alkohol. Matamu yang merah setiap bangun tidur lengkap dengan kotoran muntahmu yang berserakan. Aku tidak mengeluh, karena aku tahu Ibu bahagia untuk semua itu. Teman-temanku juga teman Ibu, melihat Ibu tidak pernah mabuk. Mereka memuji kekuatan Ibu, keperkasaan Ibu melangkahi kodrat. Sayang, aku tidak berpikir demikian. Sesungguhnya aku tidak pernah melihat Ibu sadar. Kesadaran itu akan menyakitkanmu Ibu. Aku tidak ingin melukai Ibu, walau sesungguhnya aku tahu sisa-sisa luka itu menyeretmu dalam rapuh.

Hari ini aku sengaja bangun lebih pagi. Melihat Ibu lelap tertidur di kamar adik kecilku. Malam kemarin Ibu menangis lagi. Seperti biasa sisa anggur membasahi bibirnya. Ku perhatikan garis-garis tipis di wajah Ibu. kerutan di kening, pelipis, dan pipinya bertambah lagi. Aku tidak ingin Ibu menua, karena aku ingin mengajaknya melihat surga bersama. Cepat kubasuh wajah tirusnya dengan air suam-suam kuku. Setidaknya ini akan menghangatkan dia yang tengah kesepian. Aku memeluknya, menciumnya dan berbisik tentang cinta. Satu-satunya kesempatan aku melihat Ibu seperti Ibuku adalah saat seperti ini. Saat ia tak berdaya dalam lelap.

Ibu masih terbaring dalam buaian mimpi. Butuh waktu selama 5 jam untuk menyadarkannya kembali, dan keadaan ini tidak akan mampu diingatnya ketika membuka mata. Aku bisa membuatnya menjadi seperti yang kumau hari ini. Aku sering melihat bagaimana temanku didandani Ibunya ketika menginjak remaja. Tapi, Ibu tak pernah melakukannya untukku. Ia hanya bilang ‘Mengapa aku melahirkan wanita. Wanita tidak berhak hidup.’ Kata-kata yang menyakitkanku juga si bungsu ‘Anin’ yang baru berumur 14 tahun. Aku hanya membalas tatapan matanya yang kosong. Tidak kulihat kesungguhan yang ia ucapkan. Ia lalu memalingkan wajahnya, mengambil anggur yang jadi sahabat kepiluannya.

Mulai menyisir rambut ikalnya, jenis rambut yang menurun padaku. Tak kusangsikan, belahan rambut di sisi kiri kepala Ibu penuh uban. Kelam yang sekali lagi membuatku takut. Benarkah Ibu sudah tua??? Aku baru saja menghitung, Ibuku berumur 32 tahun. Segera kuambil semir, lalu menjalin rambut Ibu agar lebih rapi. Kuangkat sedikit dagunya, melihat kepedihan mendalam di pori-pori wajahnya. Lukisan gincu, bedak, cilak, membuatku sedikit tenang. ‘Ibu masih muda’, kataku.

Memasangkan giwang perak yang selalu ia simpan di dalam kotak merah, mempercantik telinganya. Ibuku berubah jelita. Sejak 12 tahun lalu Ibu seolah lupa bagaimana cara berdandan dan merawat diri. Tangisku pun mengusik Anin. Ia melihatku dengan cemas. Aku tahu ia ketakutan. ‘Mbak, siapa wanita di sampingmu? Wajahnya aneh sekali’, ungkapnya setengah sadar. ‘Dek, kamu benar tidak mengenalinya? Dia Maria dek, Ibu kita.’ Gadis kecilku Anin, begitu juga aku tidak pernah memanggil Ibu, kami lebih dekat dengan sapaan Maria. Di pikiran Anin, Maria itu adalah teman sebayanya, teman yang tertawa bersamanya, teman yang selalu terlibat pertengkaran kecil di rumah ini. Jemariku yang terbiasa kasar pernah merampas tawa Anin. Saat itu, aku melihat Ibu mengajarkan Anin menuangkan anggur-anggur ke gelas pesta. Hampir saja Anin mereguk dusta, seperti yang Ibu lakukan seharinya. Anin beranjak, mengamati setiap jengkal wajah Maria.Hari ini Anin mengakui bahwa Maria pantas menjadi Ibunya.

‘Aku membenci alkohol, tapi aku membutuhkannya’ itulah alasan Ibu yang tak pernah aku pahami. Aku berusaha untuk tidak bisu. Mengajaknya berbincang, berbicara tentang kebohongan dan ketidaksadarannya. Getir yang hampir jatuh di pelupuk mata, membuatku ingin berlari. Jika aku sanggup, aku ingin membunuh Ibu. Ibuku yang telah lama mati, Ibu yang tak punya jiwa lagi. Ia tertawa sambil menyusun gelas kristal. Ia sering mengajakku untuk minum, memperkenalkan anggur-anggur yang dibelinya. Berbagai jenis aggur merah yang pernah kuingat. Merlot, cabernet sauvignon, syrah shiraz, dan pinot noir itu punya ruangan tersendiri di samping dapur. Aku sengaja tidak memberi uang lagi pada Ibu, karena aku tahu ia hanya akan memenuhi koleksi anggur merah yang tak berarti dimataku.

Di bawah temaram Ibu berlagu sendu. Berbincang sendiri, tertawa cekikikan, bahkan menangis pikuk bersama anggur-anggur kesayangannya. Langkahku tertegun menghampiri Ibu. mengajaknya bersulang bersama, agar ia merasa tak sendiri. Kami terlibat perbincangan kecil. ‘Aku bertemu pria dalam mimpiku, Karin’, dialog pembuka yang sudah aku hafal betul. Benarkah Ibu hanya bermimpi tentang lelaki? Tidak adakah ruang yang mengetuk nuraninya untuk menjadi Ibu yang Aku dan Anin butuhkan? Kali ini kubiarkan dia menyelesaikan kalimatnya, sedangkan aku mereguk anggur di gelasnya, tanpa ku pedulikan anggur di gelasku yang telah ia tuang. Ia bangkit lalu menamparku. ‘Hentikan merebut punyaku’, ujar Ibu. Astaga…kali pertama aku mendengar katanya penuh emosi. Inilah alam sadar Ibu yang kutunggu. ‘Apa yang kamu miliki. Kamu tidak memiliki apapun di dunia ini Maria’ pancingku bersambut. Senja yang mengeja kisah kelam Ibu akhirnya terkuak.

Wanita cerdas bernama Maria itu, tidak pernah bermimpi menjadi Ibu. Baginya pernikahan adalah penindasan. Itu diyakininya sebagai penghambat mimpinya menjadi seniman. Kini, hanya sisa gelap di mimpinya itu. Ku genggam tangannya yang gemetar, membantunya menuangkan anggur, hingga ia melanjutkan ceritanya. Pernikahan Ibu adalah sebuah kesalahan. Ia mengetahui bangunnya dari tidur telah menjadi seorang istri saat berusia 19 tahun. Kalimat yang diujarkan Ibu penuh nada galau. Depresi ringan yang ia alami membuatnya bergantung pada anggur-anggur itu. Setelah meminumnya, Ibu serasa punya semangat lagi menjalin bahtera rumah tangga dengan bahagia sampai akhirnya aku lahir, 12 Januari 1988.

Ibu dihadapkan lagi pada dunia baru, dunia mengasuh anak. Ibu mengakui ketidakmampuannya, sehingga ia sering menelantarkanku dan lebih memilih bercinta dengan anggurnya. Kebohongan telah dirajut. Ibu berbohong, tidak pernah menyentuh alkohol pada Ayah, juga keluarganya. Hingga Anin terlahir, kebohongan Ibu masih tidak ada yang mengusik. Aku paham mengapa Ibu memilih lari bersama anggurnya, karena Ibu merasa asing, sendiri setelah aku, Anin, juga Ayah pergi meninggalkannya oleh kesibukan kami masing-masing. Ibu minum setiap hari dan tidak bisa menghentikannya. Ia juga berbohong pada dirinya sendiri, merasa baik-baik saja di tengah deru yang menggunung. Dalam sadarnya ia mengakui bahwa keterlambatannya datang saat aku diwisuda, saat Anin mendapat penghargaan anak berprestasi, dan beberapa kisah penting lainnya adalah karena ia menunda waktunya untuk minum, berkencan bersama anggurnya. Sangat wajar jika aku membencinya. Jika aku berpaling saat kata maaf itu sudah jenuh menyapaku.

Kesehatan Ibu yang makin lemah, membuat Ayah mengerti seperti apa wanita yang dinikahinya itu. Ayah tidak menerima kekurangan Ibu yang setiap kali menangis sehabis meraup nikmatnya anggur merah dengan bau mulut yang dibenci Ayah. Kini aku paham masalah kronis yang memicu pertengkaran hebat di rumah kami. Ibu yang tak mau berubah, Ayah yang jenuh, dan anak-anak yang tak peduli.

Rupa malam menghadirkan kembali memori indah bersama Ayah dua tahun lalu. Seandainya Ibuku bukan alkoholik, Ayah pasti masih di sini menyajikan cerita-cerita menarik seputar orang-orang hebat yang dikenalnya. Ayah yang telah memberi cinta yang begitu besar. Memberi segalanya yang Ibu butuhkan, namun mengapa Ayah tak mampu melindungi Ibu dari ketakutan ini? siapa sesungguhnya Ibu?

Kutuangkan lagi anggur merah hingga tetesannya kembali mengurai air mata Ibu. Ia melanjutkan ceritanya. Dalam mabuknya, Ibu mengalami halusinasi dan mendengar suara-suara yang tampaknya menuduh dan mengancam hidup Ibu. Sulit kubayangkan teror yang Ibu hadapi. Sepertinya sangat menyiksa, dan Ibu ketakutan. Aku pernah melihat Ibu minum obat-obatan. Dalihnya, ia sedang tidak enak badan. Setelah aku mengetahui kecanduan Ibu, aku paham halusinasi alkohol bisa berlangsung berhari-hari dan dapat dikendalikan dengan obat-obatan anti-psikosa (seperti klorpromazin atau tioridazin). Ibuku sungguh pandai menipu. Aku tak sanggup memahaminya. 2 jam kami berbincang membuatnya letih dan akhirnya lelap, membiarkan aku terpaku pada tanya yang tak kunjung bertemu jawabnya. Kucium tubuhnya penuh aroma anggur dan mengucap selamat malam.

Sumber : Kompas Indonesia