Sistem deteksi dini gempa yang dibangun di Sumatera Barat rencananya juga akan dibangun di Jakarta. Sistem yang diadopsi dari Jepang itu diharapkan mampu menginformasikan gempa sebelum tiba. Namun, lebih penting dari itu adalah menyiapkan masyarakat siaga bencana.
Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prih Harjadi menyampaikan hal itu saat bertemu dengan peneliti Asian Disaster Reduction Center (ADRC), Takako Chinoi, dan perwakilan Pemerintah Jepang, Kayashima Kiyoshi, di Jakarta, Selasa (8/3).
"Setelah sistem deteksi dini gempa (early earthquake warning/EEW) selesai dibangun di Sumbar, tahun berikutnya akan dibangun di Jakarta," katanya.
Jakarta memiliki riwayat gempa besar dan tsunami saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883. "Ancaman Krakatau mungkin masih ratusan tahun lagi, tetapi kita juga perlu waspada terhadap ancaman gempa dari patahan tektonik sekitar Jakarta," katanya.
Sebagaimana disampaikan pejabat senior Japan Meteorological Agency (JMA), Takeshi Koizumi, Jepang sukses membangun sistem EEW itu sejak 2007. Kini mereka mampu menginformasikan gempa ke masyarakat hingga 5-20 detik sebelum gempa melanda suatu wilayah.
Kesiapsiagaan masyarakat
Sistem deteksi dini gempa dan tsunami sangat dibutuhkan, tetapi tidak akan berfungsi optimal tanpa ada kesiapsiagaan warga menghadapi bencana.
"Informasi beberapa detik itu tidak akan berguna jika masyarakat tidak siap," kata Bambang Rudyanto, penasihat senior ADRC. Oleh karena itu, kata dia, pendidikan soal bencana harus menjadi prioritas dalam upaya mitigasi bencana di Indonesia, selain peningkatan infrastruktur.
Bambang mengatakan, di Jepang pendidikan bencana telah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan untuk siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Masyarakat Jepang pun sangat siap begitu peringatan bencana disampaikan.
"Misalnya untuk anak setingkat sekolah dasar, ada buku yang menceritakan tentang bencana- bencana di Jepang pada masa lalu. Tujuannya untuk mengingatkan agar mereka terus waspada karena bencana itu bisa terjadi lagi," katanya.
Selain itu, setiap murid sekolah juga diajarkan tentang bagaimana jika bencana terjadi, misalnya ketika terjadi gempa harus berlindung di bawah meja. ”Minimal satu tahun sekali ada simulasi bencana di sekolah-sekolah,” katanya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwonugroho mengatakan, sistem peringatan gempa dan tsunami di Jepang bisa berjalan dengan baik karena tingginya kesiapsiagaan masyarakat. ”Selain bagusnya jaringan infrastruktur dan informasi, budaya masyarakat menjadi faktor penting. Masyarakat Jepang lebih taat hukum dan disiplin,” katanya.
Sutopo membandingkan dengan sistem peringatan dini tsunami yang disampaikan BMKG saat gempa melanda Mentawai tahun lalu yang tidak sampai ke masyarakat. BMKG sudah mengirimkan peringatan potensi tsunami 4 menit lebih 46 detik setelah gempa Mentawai. Namun, hal itu tidak banyak bermanfaat karena tsunami bisa datang nyaris bersamaan dengan informasi itu.
"Tsunami di Indonesia banyak yang sumbernya lokal. Misalnya di Mentawai yang datang hanya 5-10 menit setelah gempa," katanya.
Pada situasi itu, kata Sutopo, kuncinya masyarakat harus segera lari agar selamat. Begitu ada gempa yang cukup kuat dirasakan, mereka segera menjauh dari laut seperti dilakukan masyarakat Simeulue, Aceh, dengan smong-nya. Di sana sistem deteksi dini gempa dan tsunami menjadi bagian budaya masyarakat lokal.
Masukkan kurikulum
Sutopo menambahkan, salah satu yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat adalah memasukkan pendidikan bencana dalam kurikulum sekolah. Kementerian Pendidikan Nasional sudah menyiapkan kurikulum soal bencana dan direncanakan selesai tahun 2011. Namun, BNPB belum banyak dilibatkan.
"Saya menemukan beberapa literatur untuk anak-anak sekolah belum komprehensif menyampaikan soal bencana. Selain itu, pengetahuan guru soal bencana juga masih harus ditingkatkan lagi," katanya.