Berada di Kuta, sore hari menjelang sunset, duduk di pasir memandang engkau yang tak lelah berjalan menyusur garis pantai, bermain dengan bibir ombak yang pecah lembut di barisan pasir yang seperti tak berujung. Keceriaan jelas menjadi gambar wajah, senyum tak pernah hilang, tawa kecil saat kau berlari menjauh agar jemari kakimu tak basah, jauh lebih menarik dari sekedar melihat matahari tenggelam ke batas pandang di ujung laut.
Mereka pasti memandang ini sebagai ironi terbesar dalam sejarah, karena ribuan dollar dipakai oleh sebagian orang hanya agar beroleh satu kesempatan dari ribuan hari hidup mereka, sehari saja, berada di Kuta dan memandang sunset. Belajar menabung dengan baik, berkonsultasi dengan ahli keuangan yang juga mengeluarkan banyak dollar, mengambil shift lembur lima hari sepekan, agar tetap mampu menabung tanpa harus kekurangan. Beberapa di antara mereka juga harus mengejar other job, demi satu tujuan. Suatu kelak, saat pundi-pundi tabungan mampu membekali perjalanan jauh, mereka akan terbang ke timur jauh, ke pulau yang disebut Island of God, untuk di suatu senja berada di pantai Kuta memandang matahari menghilang dan tersenyum takzim, puas, dan segala beban hilang lepas.
Kau lihatlah, seorang pria di sampingku, binar wajahnya memancarkan isyarat kepuasan yang tak mampu ditampung bahasa. Aku tadi mengajaknya bicara, tetapi tidak pada detik-detik ini. Detik di mana, suara tak lagi penting, aksara tak lagi bermakna, hanya rasa kagum yang dinikmatinya hikmat, seperti engkau menikmati konsekrasio, tak ingin diusik, pertunjukan kuasa-Nya terlalu Agung hanya untuk diganggu dengan pertanyaan, “How Long Have You Been In Indonesia?”; atau pertanyaan basi anak-anak jurusan pariwisata yang sedang melatih kemampuan berbahasa Inggris mereka, seperti, “Where you come from?”, “Do you like Bali?”, What do you think about Balinese?”
Kau lihatlah, dia menikmatinya dengan takjub yang sempurna, sehingga aku tak tega dan tak kan pernah tega menukarnya dengan pertanyaan basi yang tak sempat kuungkapkan sesaat sebelum detik ini, “where do you go after enjoying Bali?”. Aku menyimpan pertanyaan itu, untuknya dan untukku sendiri. Karena mungkin setelah detik ini, kami tak akan ke mana-mana dan mati. Mati di Bali.
Aku ingat waktu kecil, begitu terobsesi dengan tempat bernama Bali setelah mamaku bercerita tentang sebuah artikel yang dia baca di majalah perempuan entah apa, artikel berjudul JANGAN MATI SEBELUM ENGKAU KE BALI. Dia bercerita dengan sungguh-sungguh tentang Bali yang indah, kesungguhan yang membuatku sungguh-sungguh berniat suatu saat jika dapat, mengajaknya ke Bali. Beberapa tahun lalu, sebelum engkau hadir dalam hidupku, aku mengajaknya ke tempat ini, membiarkannya duduk di atas pasir ini dan tak mengajaknya bicara hingga beberapa jam setelahnya. Kulakukan itu agak tak merusak sensasi selembut kulit bayi yang terukir di pancaran wajah dan terpatri di hati.
Tugasku untuknya kuanggap selesai, dan kini aku berurusan denganmu. Ya, aku hanya berurusan denganmu, bukan dengan matahari tenggelam di batas pandang laut dari pantai bernama Kuta ini. Aku juga tak berurusan dengan pria siapapun namanya di sampingku yang kini mulai terbaring meneruskan menikmati sensasinya karena mentari benar-benar hilang. Aku tak berurusan dengan ramai kendaraan di belakangku, dan hentakan musik dari kejauhan di Hard Rock Café.
Aku hanya berurusan denganmu manisku. Engkau yang kini sedang menikmati irama kakimu menjejak pasir, tenggelam dalam dunia damai yang kau bangun sendiri, dunia damai yang ingin kau hayati sendiri, namun getar nuansa beningnya sampai di sini. Inilah mungkin yang mereka sebut telepati, mampu menikmati apa yang kau rasakan tanpa harus bersentuhan atau bicara. Tak butuh konsentrasi tinggi untuk itu, apalagi sampai harus menutup mata dengan kain tak tembus pandang. Hanya para pesulap yang memerlukan itu. Sedang kau dan aku? Kita hanya perlu rasa yang terasah sekian lama, hati yang berbagi sepanjang hari dan senyum yang terberi sepanjang waktu.
Kita telah melakukannya manisku, bahkan jauh sebelum aku memutuskan mengajakmu ke Bali, sejak awal aku melihatmu hadir dalam hidupku dan menguat tiga tahun silam saat dia tak lagi ada di antara kita, hanya kau dan aku, kita berdua dan hidupku dengan engkau menjadi sumbu, tempatku berputar mengelilingi. Aku bumi dan kau matahari. Kutegaskan sekali lagi, aku bumi dan kau matahari yang tak kuingin berhenti. Jangan berhenti, atau aku tak lagi mampu berputar. Posesif memang, naif mungkin, tetapi salahkah posesif, rendahkah naif, padahal aku menyayangimu sepenuh hati? Aku tak kan mengusikmu, merusak duniamu, menodai khayalmu. Kau punya dunia sendiri, kusadari itu dengan sepenuh jiwa; tak kan kupaksakan duniaku masuk ke duniamu, karena adakah artinya itu sementara duniamu adalah duniaku kini?
Jangan berhenti berpendar matahariku, meski sunset di Kuta ini telah lama lewat. Teruslah menari di bibir pantai.
Satu persatu telah meninggalkan pantai, juga pemuda Rusia yang tadi di sampingku. Sebagian dari mereka mungkin ke Legian, melanjutkan menikmati malam, menghabiskan lebih banyak dollar untuk sensasi yang lain. Aku tak perduli, karena aku tak kan beranjak dari tempatku duduk hanya agar mampu memandangimu tekun dalam duniamu, laut malam yang damai mencium pantai, tari-tarian kaki tak rapi, rambut ombakmu yang kau biarkan tergerai di sini di Kuta Bali.
Tiga hari kita di Bali, setiap hari begini, menjelang senja berada di Kuta, aku duduk di sini dan kau bermain di batas laut mencium pantai. Jam sembilan malam saat tempat ini tak lagi ramai, biasanya begitu seperti juga saat ini, kau selesaikan bermainmu dan mendekat.
Lihatlah, betapa kau menjadi lebih cantik setiap hari. Ah, aku terlalu mencintamu dan semakin bertambah setiap hari. Kau mendekat, berlari kecil, aku beranjak berdiri dari tempat ku duduk, berjalan kecil menyongsongmu, sembari payah menahan sesak cinta yang semakin menghimpit dada. Beberapa patah kata telah siap keluar, tetapi aku tahu, untukmu, cinta tak butuh kata-kata, dia hanya lebih berarti ketika hadir dalam sikap.
Kita semakin dekat, dan dekat sekali lalu kau menghambur dalam pelukku. Hanya beberapa detik, dekap itu membuatku semakin yakin, cintaku padamu lebih besar lagi hari ini.
Dan kita melangkah pergi meninggalkan pantai, sambil kau katakan ini, “Kalau Bunda di sini, pasti lebih indah ya Pa…”
Sesak di dada ini semakin terasa, tetapi kau tak berhenti berkata-kata. “Tapi Bunda pasti bahagia di surga kan Pa…?”
Kurasakan bulir bening dari bola mata akan jatuh ke pipi. Segera ku usap, sebelum kau lihat. Dan kudengar lagi kau bicara, “Sudah berapa tahun Pa, Bunda pergi?” Dan kau berkata lagi, “O iya, sudah tiga tahun ya… Tapi Bunda pasti melihat kita kan Pa?”
Aku berhenti. Kau juga berhenti. Tapi tangan kita tetap bergandeng. Ku tahu kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi aku sedang bicara dalam hati dengan sepenuh jiwa sambil menatap mata beningmu. Kukatakan ini dalam hati, “Bunda ada di sini, di hatimu dan Papa. Bunda tak pernah pergi, apalagi meninggalkan kita, bunda telah menjelma menjadi kita dan pantai.”
Kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi dengan hati dan mengerti. Lihatlah kau tersenyum kini, mengangguk kecil, tersenyum dan kita melangkah lagi.
“Besok ke sini lagi ya Pa,” katamu dalam hati “Pasti matahariku,” jawabku juga dalam hati.
Kuta yang biasa, adalah Kuta yang luar biasa dengan hadirmu perempuanku, matahariku.
Aku bumi dan kau matahari. Jangan sekali pendarmu mati, karena aku mencintaimu dan semakin mencintaimu setiap hari.
0 komentar:
Posting Komentar