Hallo Teman-teman Semua Apa Kabarnya? Kunjungi terus dan Tinggalkan Komentar membangun yia di Blog Aku! :) :)

IKLAN TERMAHAL DI DUNIA





HONDA ... Power of dream!!! Visinya terbukti dari iklan yang di realeasenya! Salut untuk yang telah memeiliki ide sebegitu detail dan hebat ini! :)

BERBAGI ITU INDAH :)



Setiap keadaan, kalau kita saling berbagi .. akan terasa sangat nikmat dijalani!! :) seperti anak ini ... tidak ada kata pelit ataupun serakah ... ^_^

ORDINARY KUTA


Tiga hari kita di Bali, setiap hari begini, menjelang senja berada di Kuta, aku duduk di sini dan kau bermain di batas laut mencium pantai.

Berada di Kuta, sore hari menjelang sunset, duduk di pasir memandang engkau yang tak lelah berjalan menyusur garis pantai, bermain dengan bibir ombak yang pecah lembut di barisan pasir yang seperti tak berujung. Keceriaan jelas menjadi gambar wajah, senyum tak pernah hilang, tawa kecil saat kau berlari menjauh agar jemari kakimu tak basah, jauh lebih menarik dari sekedar melihat matahari tenggelam ke batas pandang di ujung laut.

Mereka pasti memandang ini sebagai ironi terbesar dalam sejarah, karena ribuan dollar dipakai oleh sebagian orang hanya agar beroleh satu kesempatan dari ribuan hari hidup mereka, sehari saja, berada di Kuta dan memandang sunset. Belajar menabung dengan baik, berkonsultasi dengan ahli keuangan yang juga mengeluarkan banyak dollar, mengambil shift lembur lima hari sepekan, agar tetap mampu menabung tanpa harus kekurangan. Beberapa di antara mereka juga harus mengejar other job, demi satu tujuan. Suatu kelak, saat pundi-pundi tabungan mampu membekali perjalanan jauh, mereka akan terbang ke timur jauh, ke pulau yang disebut Island of God, untuk di suatu senja berada di pantai Kuta memandang matahari menghilang dan tersenyum takzim, puas, dan segala beban hilang lepas.

Kau lihatlah, seorang pria di sampingku, binar wajahnya memancarkan isyarat kepuasan yang tak mampu ditampung bahasa. Aku tadi mengajaknya bicara, tetapi tidak pada detik-detik ini. Detik di mana, suara tak lagi penting, aksara tak lagi bermakna, hanya rasa kagum yang dinikmatinya hikmat, seperti engkau menikmati konsekrasio, tak ingin diusik, pertunjukan kuasa-Nya terlalu Agung hanya untuk diganggu dengan pertanyaan, “How Long Have You Been In Indonesia?”; atau pertanyaan basi anak-anak jurusan pariwisata yang sedang melatih kemampuan berbahasa Inggris mereka, seperti, “Where you come from?”, “Do you like Bali?”, What do you think about Balinese?”

Kau lihatlah, dia menikmatinya dengan takjub yang sempurna, sehingga aku tak tega dan tak kan pernah tega menukarnya dengan pertanyaan basi yang tak sempat kuungkapkan sesaat sebelum detik ini, “where do you go after enjoying Bali?”. Aku menyimpan pertanyaan itu, untuknya dan untukku sendiri. Karena mungkin setelah detik ini, kami tak akan ke mana-mana dan mati. Mati di Bali.

Aku ingat waktu kecil, begitu terobsesi dengan tempat bernama Bali setelah mamaku bercerita tentang sebuah artikel yang dia baca di majalah perempuan entah apa, artikel berjudul JANGAN MATI SEBELUM ENGKAU KE BALI. Dia bercerita dengan sungguh-sungguh tentang Bali yang indah, kesungguhan yang membuatku sungguh-sungguh berniat suatu saat jika dapat, mengajaknya ke Bali. Beberapa tahun lalu, sebelum engkau hadir dalam hidupku, aku mengajaknya ke tempat ini, membiarkannya duduk di atas pasir ini dan tak mengajaknya bicara hingga beberapa jam setelahnya. Kulakukan itu agak tak merusak sensasi selembut kulit bayi yang terukir di pancaran wajah dan terpatri di hati.

Tugasku untuknya kuanggap selesai, dan kini aku berurusan denganmu. Ya, aku hanya berurusan denganmu, bukan dengan matahari tenggelam di batas pandang laut dari pantai bernama Kuta ini. Aku juga tak berurusan dengan pria siapapun namanya di sampingku yang kini mulai terbaring meneruskan menikmati sensasinya karena mentari benar-benar hilang. Aku tak berurusan dengan ramai kendaraan di belakangku, dan hentakan musik dari kejauhan di Hard Rock Café.

Aku hanya berurusan denganmu manisku. Engkau yang kini sedang menikmati irama kakimu menjejak pasir, tenggelam dalam dunia damai yang kau bangun sendiri, dunia damai yang ingin kau hayati sendiri, namun getar nuansa beningnya sampai di sini. Inilah mungkin yang mereka sebut telepati, mampu menikmati apa yang kau rasakan tanpa harus bersentuhan atau bicara. Tak butuh konsentrasi tinggi untuk itu, apalagi sampai harus menutup mata dengan kain tak tembus pandang. Hanya para pesulap yang memerlukan itu. Sedang kau dan aku? Kita hanya perlu rasa yang terasah sekian lama, hati yang berbagi sepanjang hari dan senyum yang terberi sepanjang waktu.

Kita telah melakukannya manisku, bahkan jauh sebelum aku memutuskan mengajakmu ke Bali, sejak awal aku melihatmu hadir dalam hidupku dan menguat tiga tahun silam saat dia tak lagi ada di antara kita, hanya kau dan aku, kita berdua dan hidupku dengan engkau menjadi sumbu, tempatku berputar mengelilingi. Aku bumi dan kau matahari. Kutegaskan sekali lagi, aku bumi dan kau matahari yang tak kuingin berhenti. Jangan berhenti, atau aku tak lagi mampu berputar. Posesif memang, naif mungkin, tetapi salahkah posesif, rendahkah naif, padahal aku menyayangimu sepenuh hati? Aku tak kan mengusikmu, merusak duniamu, menodai khayalmu. Kau punya dunia sendiri, kusadari itu dengan sepenuh jiwa; tak kan kupaksakan duniaku masuk ke duniamu, karena adakah artinya itu sementara duniamu adalah duniaku kini?

Jangan berhenti berpendar matahariku, meski sunset di Kuta ini telah lama lewat. Teruslah menari di bibir pantai.

Satu persatu telah meninggalkan pantai, juga pemuda Rusia yang tadi di sampingku. Sebagian dari mereka mungkin ke Legian, melanjutkan menikmati malam, menghabiskan lebih banyak dollar untuk sensasi yang lain. Aku tak perduli, karena aku tak kan beranjak dari tempatku duduk hanya agar mampu memandangimu tekun dalam duniamu, laut malam yang damai mencium pantai, tari-tarian kaki tak rapi, rambut ombakmu yang kau biarkan tergerai di sini di Kuta Bali.

Tiga hari kita di Bali, setiap hari begini, menjelang senja berada di Kuta, aku duduk di sini dan kau bermain di batas laut mencium pantai. Jam sembilan malam saat tempat ini tak lagi ramai, biasanya begitu seperti juga saat ini, kau selesaikan bermainmu dan mendekat.

Lihatlah, betapa kau menjadi lebih cantik setiap hari. Ah, aku terlalu mencintamu dan semakin bertambah setiap hari. Kau mendekat, berlari kecil, aku beranjak berdiri dari tempat ku duduk, berjalan kecil menyongsongmu, sembari payah menahan sesak cinta yang semakin menghimpit dada. Beberapa patah kata telah siap keluar, tetapi aku tahu, untukmu, cinta tak butuh kata-kata, dia hanya lebih berarti ketika hadir dalam sikap.

Kita semakin dekat, dan dekat sekali lalu kau menghambur dalam pelukku. Hanya beberapa detik, dekap itu membuatku semakin yakin, cintaku padamu lebih besar lagi hari ini.

Dan kita melangkah pergi meninggalkan pantai, sambil kau katakan ini, “Kalau Bunda di sini, pasti lebih indah ya Pa…”

Sesak di dada ini semakin terasa, tetapi kau tak berhenti berkata-kata. “Tapi Bunda pasti bahagia di surga kan Pa…?”

Kurasakan bulir bening dari bola mata akan jatuh ke pipi. Segera ku usap, sebelum kau lihat. Dan kudengar lagi kau bicara, “Sudah berapa tahun Pa, Bunda pergi?” Dan kau berkata lagi, “O iya, sudah tiga tahun ya… Tapi Bunda pasti melihat kita kan Pa?”

Aku berhenti. Kau juga berhenti. Tapi tangan kita tetap bergandeng. Ku tahu kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi aku sedang bicara dalam hati dengan sepenuh jiwa sambil menatap mata beningmu. Kukatakan ini dalam hati, “Bunda ada di sini, di hatimu dan Papa. Bunda tak pernah pergi, apalagi meninggalkan kita, bunda telah menjelma menjadi kita dan pantai.”

Kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi dengan hati dan mengerti. Lihatlah kau tersenyum kini, mengangguk kecil, tersenyum dan kita melangkah lagi.

“Besok ke sini lagi ya Pa,” katamu dalam hati “Pasti matahariku,” jawabku juga dalam hati.

Kuta yang biasa, adalah Kuta yang luar biasa dengan hadirmu perempuanku, matahariku.

Aku bumi dan kau matahari. Jangan sekali pendarmu mati, karena aku mencintaimu dan semakin mencintaimu setiap hari.

Sumber : Kompas Indonesia

IBUKU ALKOHOLIK


Ibu masih terbaring dalam buaian mimpi. Butuh waktu selama 5 jam untuk menyadarkannya kembali, dan keadaan ini tidak akan mampu diingatnya ketika membuka mata.

Aku ingin membencimu dengan istimewa Ibu. Saat ketidakmampuanmu jadi Ibu. saat di mana kau habiskan seluruh hidupmu untuk alkohol. Matamu yang merah setiap bangun tidur lengkap dengan kotoran muntahmu yang berserakan. Aku tidak mengeluh, karena aku tahu Ibu bahagia untuk semua itu. Teman-temanku juga teman Ibu, melihat Ibu tidak pernah mabuk. Mereka memuji kekuatan Ibu, keperkasaan Ibu melangkahi kodrat. Sayang, aku tidak berpikir demikian. Sesungguhnya aku tidak pernah melihat Ibu sadar. Kesadaran itu akan menyakitkanmu Ibu. Aku tidak ingin melukai Ibu, walau sesungguhnya aku tahu sisa-sisa luka itu menyeretmu dalam rapuh.

Hari ini aku sengaja bangun lebih pagi. Melihat Ibu lelap tertidur di kamar adik kecilku. Malam kemarin Ibu menangis lagi. Seperti biasa sisa anggur membasahi bibirnya. Ku perhatikan garis-garis tipis di wajah Ibu. kerutan di kening, pelipis, dan pipinya bertambah lagi. Aku tidak ingin Ibu menua, karena aku ingin mengajaknya melihat surga bersama. Cepat kubasuh wajah tirusnya dengan air suam-suam kuku. Setidaknya ini akan menghangatkan dia yang tengah kesepian. Aku memeluknya, menciumnya dan berbisik tentang cinta. Satu-satunya kesempatan aku melihat Ibu seperti Ibuku adalah saat seperti ini. Saat ia tak berdaya dalam lelap.

Ibu masih terbaring dalam buaian mimpi. Butuh waktu selama 5 jam untuk menyadarkannya kembali, dan keadaan ini tidak akan mampu diingatnya ketika membuka mata. Aku bisa membuatnya menjadi seperti yang kumau hari ini. Aku sering melihat bagaimana temanku didandani Ibunya ketika menginjak remaja. Tapi, Ibu tak pernah melakukannya untukku. Ia hanya bilang ‘Mengapa aku melahirkan wanita. Wanita tidak berhak hidup.’ Kata-kata yang menyakitkanku juga si bungsu ‘Anin’ yang baru berumur 14 tahun. Aku hanya membalas tatapan matanya yang kosong. Tidak kulihat kesungguhan yang ia ucapkan. Ia lalu memalingkan wajahnya, mengambil anggur yang jadi sahabat kepiluannya.

Mulai menyisir rambut ikalnya, jenis rambut yang menurun padaku. Tak kusangsikan, belahan rambut di sisi kiri kepala Ibu penuh uban. Kelam yang sekali lagi membuatku takut. Benarkah Ibu sudah tua??? Aku baru saja menghitung, Ibuku berumur 32 tahun. Segera kuambil semir, lalu menjalin rambut Ibu agar lebih rapi. Kuangkat sedikit dagunya, melihat kepedihan mendalam di pori-pori wajahnya. Lukisan gincu, bedak, cilak, membuatku sedikit tenang. ‘Ibu masih muda’, kataku.

Memasangkan giwang perak yang selalu ia simpan di dalam kotak merah, mempercantik telinganya. Ibuku berubah jelita. Sejak 12 tahun lalu Ibu seolah lupa bagaimana cara berdandan dan merawat diri. Tangisku pun mengusik Anin. Ia melihatku dengan cemas. Aku tahu ia ketakutan. ‘Mbak, siapa wanita di sampingmu? Wajahnya aneh sekali’, ungkapnya setengah sadar. ‘Dek, kamu benar tidak mengenalinya? Dia Maria dek, Ibu kita.’ Gadis kecilku Anin, begitu juga aku tidak pernah memanggil Ibu, kami lebih dekat dengan sapaan Maria. Di pikiran Anin, Maria itu adalah teman sebayanya, teman yang tertawa bersamanya, teman yang selalu terlibat pertengkaran kecil di rumah ini. Jemariku yang terbiasa kasar pernah merampas tawa Anin. Saat itu, aku melihat Ibu mengajarkan Anin menuangkan anggur-anggur ke gelas pesta. Hampir saja Anin mereguk dusta, seperti yang Ibu lakukan seharinya. Anin beranjak, mengamati setiap jengkal wajah Maria.Hari ini Anin mengakui bahwa Maria pantas menjadi Ibunya.

‘Aku membenci alkohol, tapi aku membutuhkannya’ itulah alasan Ibu yang tak pernah aku pahami. Aku berusaha untuk tidak bisu. Mengajaknya berbincang, berbicara tentang kebohongan dan ketidaksadarannya. Getir yang hampir jatuh di pelupuk mata, membuatku ingin berlari. Jika aku sanggup, aku ingin membunuh Ibu. Ibuku yang telah lama mati, Ibu yang tak punya jiwa lagi. Ia tertawa sambil menyusun gelas kristal. Ia sering mengajakku untuk minum, memperkenalkan anggur-anggur yang dibelinya. Berbagai jenis aggur merah yang pernah kuingat. Merlot, cabernet sauvignon, syrah shiraz, dan pinot noir itu punya ruangan tersendiri di samping dapur. Aku sengaja tidak memberi uang lagi pada Ibu, karena aku tahu ia hanya akan memenuhi koleksi anggur merah yang tak berarti dimataku.

Di bawah temaram Ibu berlagu sendu. Berbincang sendiri, tertawa cekikikan, bahkan menangis pikuk bersama anggur-anggur kesayangannya. Langkahku tertegun menghampiri Ibu. mengajaknya bersulang bersama, agar ia merasa tak sendiri. Kami terlibat perbincangan kecil. ‘Aku bertemu pria dalam mimpiku, Karin’, dialog pembuka yang sudah aku hafal betul. Benarkah Ibu hanya bermimpi tentang lelaki? Tidak adakah ruang yang mengetuk nuraninya untuk menjadi Ibu yang Aku dan Anin butuhkan? Kali ini kubiarkan dia menyelesaikan kalimatnya, sedangkan aku mereguk anggur di gelasnya, tanpa ku pedulikan anggur di gelasku yang telah ia tuang. Ia bangkit lalu menamparku. ‘Hentikan merebut punyaku’, ujar Ibu. Astaga…kali pertama aku mendengar katanya penuh emosi. Inilah alam sadar Ibu yang kutunggu. ‘Apa yang kamu miliki. Kamu tidak memiliki apapun di dunia ini Maria’ pancingku bersambut. Senja yang mengeja kisah kelam Ibu akhirnya terkuak.

Wanita cerdas bernama Maria itu, tidak pernah bermimpi menjadi Ibu. Baginya pernikahan adalah penindasan. Itu diyakininya sebagai penghambat mimpinya menjadi seniman. Kini, hanya sisa gelap di mimpinya itu. Ku genggam tangannya yang gemetar, membantunya menuangkan anggur, hingga ia melanjutkan ceritanya. Pernikahan Ibu adalah sebuah kesalahan. Ia mengetahui bangunnya dari tidur telah menjadi seorang istri saat berusia 19 tahun. Kalimat yang diujarkan Ibu penuh nada galau. Depresi ringan yang ia alami membuatnya bergantung pada anggur-anggur itu. Setelah meminumnya, Ibu serasa punya semangat lagi menjalin bahtera rumah tangga dengan bahagia sampai akhirnya aku lahir, 12 Januari 1988.

Ibu dihadapkan lagi pada dunia baru, dunia mengasuh anak. Ibu mengakui ketidakmampuannya, sehingga ia sering menelantarkanku dan lebih memilih bercinta dengan anggurnya. Kebohongan telah dirajut. Ibu berbohong, tidak pernah menyentuh alkohol pada Ayah, juga keluarganya. Hingga Anin terlahir, kebohongan Ibu masih tidak ada yang mengusik. Aku paham mengapa Ibu memilih lari bersama anggurnya, karena Ibu merasa asing, sendiri setelah aku, Anin, juga Ayah pergi meninggalkannya oleh kesibukan kami masing-masing. Ibu minum setiap hari dan tidak bisa menghentikannya. Ia juga berbohong pada dirinya sendiri, merasa baik-baik saja di tengah deru yang menggunung. Dalam sadarnya ia mengakui bahwa keterlambatannya datang saat aku diwisuda, saat Anin mendapat penghargaan anak berprestasi, dan beberapa kisah penting lainnya adalah karena ia menunda waktunya untuk minum, berkencan bersama anggurnya. Sangat wajar jika aku membencinya. Jika aku berpaling saat kata maaf itu sudah jenuh menyapaku.

Kesehatan Ibu yang makin lemah, membuat Ayah mengerti seperti apa wanita yang dinikahinya itu. Ayah tidak menerima kekurangan Ibu yang setiap kali menangis sehabis meraup nikmatnya anggur merah dengan bau mulut yang dibenci Ayah. Kini aku paham masalah kronis yang memicu pertengkaran hebat di rumah kami. Ibu yang tak mau berubah, Ayah yang jenuh, dan anak-anak yang tak peduli.

Rupa malam menghadirkan kembali memori indah bersama Ayah dua tahun lalu. Seandainya Ibuku bukan alkoholik, Ayah pasti masih di sini menyajikan cerita-cerita menarik seputar orang-orang hebat yang dikenalnya. Ayah yang telah memberi cinta yang begitu besar. Memberi segalanya yang Ibu butuhkan, namun mengapa Ayah tak mampu melindungi Ibu dari ketakutan ini? siapa sesungguhnya Ibu?

Kutuangkan lagi anggur merah hingga tetesannya kembali mengurai air mata Ibu. Ia melanjutkan ceritanya. Dalam mabuknya, Ibu mengalami halusinasi dan mendengar suara-suara yang tampaknya menuduh dan mengancam hidup Ibu. Sulit kubayangkan teror yang Ibu hadapi. Sepertinya sangat menyiksa, dan Ibu ketakutan. Aku pernah melihat Ibu minum obat-obatan. Dalihnya, ia sedang tidak enak badan. Setelah aku mengetahui kecanduan Ibu, aku paham halusinasi alkohol bisa berlangsung berhari-hari dan dapat dikendalikan dengan obat-obatan anti-psikosa (seperti klorpromazin atau tioridazin). Ibuku sungguh pandai menipu. Aku tak sanggup memahaminya. 2 jam kami berbincang membuatnya letih dan akhirnya lelap, membiarkan aku terpaku pada tanya yang tak kunjung bertemu jawabnya. Kucium tubuhnya penuh aroma anggur dan mengucap selamat malam.

Sumber : Kompas Indonesia

TREND BANDO TELINGA KUCING



‘Bando Telinga Kucing’ Ekspresikan Pikiran Pemakai
- Sebuah bando bernama ‘Necomimi’ menjadi tren terbaru dalam dunia fashion Jepang. Bando berbentuk telinga kucing ini memiliki sensor yang dapat membaca gelombang otak. Benda produksi perusahaan Neurowear ini bisa menegak ketika penggunanya sedang berkonsentrasi. Sementara ketika penggunanya sedang santai, ‘telinga’ ini akan menunduk.

VIDEO LAMARAN TERHEBAT DI DUNIA



Pencipta video berdurasi sekitar 7 menit itu adalah Matt Still asal Atlanta, Amerika Serikat. Diberi judul “Greatest Marriage Proposal EVER!!!” atau lamaran pernikahan terhebat, adegan di dalamnya memang cukup memukau.

Video tersebut awalnya memperlihatkan pacar Matt yang bernama Ginny Joiner duduk di bangku sebuah bioskop. Seperti biasa sebelum film dimulai, bioskop menampilkan sejumlah trailer film lain yang akan tayang.

Tiba-tiba, muncullah sebuah trailer film yang tampak asing. Adegannya menampilkan dua orang pria yang tidak kelihatan wajahnya saling bercakap-cakap.

Betapa terkejut Ginny setelah melihat bahwa kedua orang itu sesungguhnya adalah ayahnya dan pacaranya, Matt. Matt meminta izin pada si ayah untuk melamar Ginny.

Belum hilang kekagetannya, terlihat dalam adegan film Matt pergi menuju gedung bioskop di mana Ginny nonton. Dan pada adegan klimaks, Matt benar-benar muncul di hadapan Ginny untuk menyampaikan lamaran pernikahan.

“Kamu adalah segalanya bagiku. Maukah kamu menikah denganku?,” kata Matt sembari berlutut di hadapan Ginny, seperti dilansir CTV dan dikutip detikINET, Jumat (20/5/2011).

Ginny yang terharu tanpa pikir panjang menerima lamaran pacarnya, disambut tepuk tangan pengunjung bioskop lain yang sebagian ternyata adalah keluarganya sendiri. Video lamaran ini sekarang telah dilihat lebih dari 5 juta kali di YouTube.

Sumber : Today Post

MENGGUNTING JEJAK

Ya, malam ini, malam yang tepat untuk menghabisi kedua insan berdosa itu bersama guyuran hujan deras. Setelah kesekian kalinya, Lala dan Andra menyaksikan roman terlarang itu.

Lala memang pernah dekatnya dengannya. Lala juga memuja-muja rambut sebahu wanita itu. Rambut gelombang yang acak-acakan. Sering digerai begitu saja. Sering juga diangkat tinggi. Ya, wanita itu tidak pernah peduli soal rambutnya. Wanita itu juga kerap mengenakan celana jeans pendek-sepaha plus baju kemeja. Dan tidak pernah mengenakan T-shirt. Kaca mata hitam selalu nangkring di wajahnya. Bibirnya tidak pernah lepas dari Lip gloss strawberry. Dan sedikit bedak tipis. Sudah, begitu saja wanita itu berdandan. Satu lagi yang Lala suka dari wanita itu; kaki panjang dan putih mulus. Yup, wanita itu sudah tampak sempurna di mata Lala.

Lala tidak pernah menduga akan bertetangga dengan wanita itu. Wanita yang sebelumnya, Lala pernah temui di Taman kanak-kanak “Pelangi”. Wanita itu hampir setiap hari mengantar-jemput anak lelakinya. Lala tidak pernah lupa percakapan riang wanita itu, ketika Lala kali pertama dihampirinya. “Haii, Cantik sekali kamu..Siapa namamu?” wanita itu bertanya sambil mencubit pipi Lala. “Hemm, Lala. Tante siapa?” “Nama tante, Sandra sayang..Kamu ada yang jemput?” “Itu Bunda sudah datang, Tante. Lala duluan ya. Daaag Tante Sandra.” “Daaag Sayang. Besok kita ketemu lagi, ya?”

Singkat, namun lekat sekali di ingatan Lala. Apalagi mata Tante Sandra yang seperti mata kucing itu. Bolanya berwarna hijau tosca. Pasti contact lens yang dipakainya, sehingga matanya bisa berwarna hijau. Cara Tante Sandra menatap pun begitu tajam dan dalam. Namun, Lala suka cara Tante Sandra memandang. Mata itu serasa penuh kebahagiaan selalu. Mata yang dikelilingi pijaran kasih sayang. Setelah Tante Sandra menempati rumah besar-bertingkat-tepat di depan rumah Lala. Tidak jarang, Lala melihat Tante Sandra duduk bebas bersama sebatang rokok di balkon-lantai dua rumahnya. Terkadang Tante Sandra berbicara di Hand phone-nya sambil menghisap dalam rokoknya. Tertawa cekikikan. Seolah-olah kehidupannya tidak pernah dirundung sepi dan kesedihan. Semua penuh tawa dan keceriaan.

Suatu malam, ketika Lala menutup tirai korden, Lala melihat Tante Sandra. Tante Sandra bersama seorang wanita seusianya. Mereka saling beradu-pandang; berpelukan mesra. Lala langsung menutup kembali tirai itu. Lala jadi diam. Tidak berani membicarakan hal ini kepada siapa pun. Lalu, Lala tertidur. Esok harinya, Lala terbangun tanpa ingat kejadian tadi malam. ** Kini, Lala menginjak remaja. Sebentar lagi Lala punya KTP. Sebentar lagi juga Lala punya pacar. Pacar?..Aiy..Aiy…Aiy…Sebentar lagi pun Lala masuk dunia kampus. Sebentar lagi Lala jadi wanita dewasa..Ehemmm..Lala tinggal menghitung hari saja. Walau sebenarnya tidak penting untuk dihitung juga. Tapi Lala punya banyak impian di kepalanya. Gelora-gelora mudanya meningkat tajam. Rasa ingin meraih sesuatu hal semakin menanjak. Anehnya, Lala sedari dulu tidak pernah menginginkan untuk menjadi wanita popular di sekolahnya. Lala tidak suka berkumpul-kumpul bersama temannya. Lala cenderung pergi ke cafĂ© sendirian ditemani Notebook-nya . Di sana, Lala cukup banyak mendapatkan kesenangan. Lala bisa melihat segerombolan muda-mudi menikmati masa muda; Dua sejoli tersenyum mesra; eksekutif muda melepaskan penat; dan berbagai hal lainnya. Berbagai hal yang amat asyik dipandang Lala lewat kaca matanya. Dengan begitu saja, Lala sudah merasa hidup dan masuk ke alam mereka.

“Aku ingin kuliah di sastra Indonesia. Suatu hari nanti aku akan menjadi penulis, karena aku suka bercerita tentang manusia dan dunianya,” begitulah kalimat yang selalu muncul di benak Lala.

Lala senang bukan kepalang, karena Ayah berniat menghadiahi sebuah mobil sport untuk ulang tahunnya. Lala tidak meminta perayaan pesta menyambut angka tujuh belas, tapi Lala kerap menyinggung mesin berjalan itu di hadapan Ayahnya. Sedangkan Bunda lebih memilih Laptop baru untuk Lala. Mobil sport dan laptop, ya dua hal yang bisa menunjang impian Lala. Kenapa harus mobil sport? Nah, ini dia hobi kedua setelah menulis; senang balapan mobil. Lala lebih senang bermain bersama teman prianya yang mengemari dunia balap mobil. Memang Lala terlihat tomboy. Anehnya Lala lebih suka membiarkan rambutnya tergurai panjang legam. Ya, Lala memang telah tumbuh menjadi seorang wanita cantik. Wanita yang juga senang mengenakan celana pendek dan baju kemeja. **

Andra, pria seumuran Lala. Anak yang dulu selalu di antar-jemput oleh Tante Sandra. Anak angkat Tante Sandra tepatnya. Andra dan Lala, waktu itu masih berusia sebelas tahun. Usia belum matang untuk melihat adegan panas-menghentak birawi-menggeliat adrenalin dan dialog desah dari Tante Sandra dan teman wanitanya. Terkejutkah mereka berdua? Ini sudah pasti. Andra dan Lala berkeringat dingin dan saling memandang satu sama lain. Mereka tidak mampu melangkah untuk berlari atau berjalan pun. Ini saking kagetnya menatap siapa pasangan Tante Sandra itu. Bunda! Hanya itu satu kata keluar dari bibir bergetar milik Lala. **

Ada mata memarah merah saat Bunda mengecup pipi Lala saat Lala berusia tujuh belas tahun. Telah terhitung banyak sekali halaman mengenai kisah Tante Sandra dan Bundanya di Laptop Lala. Setiap kali Lala mencium bau busuk pertemuan ‘diam-diam’ mereka berdua, Lala selalu mengikuti ‘kenakalan’ mereka. Mereka meninggalkan jejak-jejak tak terhapuskan dan menoreh kebencian direlung Lala.

Lala benci, tapi berniat meneruskan kisah ‘keparat’ itu hingga selesai. Kemudian, Lala segera terbitkan ke mata dunia, biar dunia tahu wanita itu tak selalu agung; tak selalu menggagumkan; tak selalu mengabdi; tak selalu bersifat keibuan.

Ya, wanita laknat yang berani menghianati suatu janji suci dan juga cinta. Karena cinta itu terkadang banyak bumbu pedasnya daripada bumbu nikmatnya. Karena sering lidah berkeluh hambar, nafsu mencari kenikmatan lain. Hanya gara-gara suatu rindu terpendam bertingkat-tingkat dan tidak kuat lagi untuk melangkahinya. Ya, kebakaranlah rasa rindu itu. Membakar semua pantangan, tradisi, emansipasi dan kodrat. Jadilah rindu nikmat hangus ditelan debu-debu yang tidak mau hengkang dari tubuh mereka sendiri. Begitukah jika semua melihat dari sisi kaca mata Lala? ** Kali pertama di usia dua puluh satu tahun, Lala punya pacar. Seorang lelaki yang tahu benar siapa Lala dari sejak kecil. Dialah Andra yang cintanya pada Lala tiba-tiba saja meletup-letup dan enggan digoyahkan oleh apa pun. Tiada bosan memberikan Angrek bulan putih berangkai-rangkai di halaman rumah Lala. Halaman belakang luas penuh taman yang sedari dulu menjadi tempat bermain mereka.

Tempat penuh gelak tetawa serta tempat mengadu ‘Keparat-keparat perempuan’. Pada segala tumbuhan, kursi panjang, rerumputan, dan kolam renang berbentuk oval. Mereka lapang membuka dada dan pendengaran bagi tangisan dan canda dua bocah. Sekarang taman halaman belakang menjadi saksi kisah percintaan Lala dan Andra.

Ada batang tumbuhan berduri di sana. Selalu terluka jari-jari manis Lala menyentuhnya. Seperti tetesan luka datang berulang kali. Dan berkali-kali juga, Andra menghisap darah dari jari Lala. “JIka dia luka, maka aku harus jilat lukanya. Dan tidak akan aku seka air matanya, jika itu tangisan kebahagiaanya,” ini prinsip terkokoh Andra terhadap kekasihnya; Lala.

Achh, kepala memang cenat-cenut. Bumi bongkar pasang berkali-kali. Patah berjatuhan tanpa disuruh. Tetap saja semua hal itu bergeser dan serasa punah di telan jaman. Yang bernama Cinta selalu punya tempat nomor satu di hati para peroman. Kedatangan amarah, keterlibatan pedih, keguncahan jiwa, serasa tertiup hempas oleh angin segar berharum cinta. Cinta mengajak membuana ke seluruh negeri bersama kepakan sayap berkulit asmara. Apalagi cinta baru terlahir di rongga-rongga para muda. Seperti bunga merekah di segala musim, beginilah suasana cinta Andra pada Lala. Dan seperti inilah Andra siap menghapus jejak-jejak luka Lala, karena nantinya Andra dapat melihat air mata bahagia turun dari singgasananya. ** Ya, malam ini, malam yang tepat untuk menghabisi kedua insan ‘berdosa’ itu bersama guyuran hujan deras. Setelah kesekian kalinya, Lala dan Andra menyaksikan roman terlarang itu. Malam ini, seperti biasanya Tante Sandra menyambut Bunda dengan pelukan hangat. Lalu dilanjutkan meremas rambut hingga memburu Bunda naik ke ranjang Tante Sandra. Dan baru kali ini Lala dan Andra menonton permainan mereka yang amat dasyat menakjubkan. Membuat bulu kudu Lala dan Andra merinding serta menelan ludah karena tergiur oleh percintaan mereka. Terkesima, Lebat dan menggulung-gulung.

Telinga Lala dan Andra tidak sanggup mendengar percakapan-percakapan manis, serasa tiada nafsu, mengalir begitu saja akibat cinta yang menjalar ketulusan. Hidung Tante Sandra menciumi senti demi senti tubuh Bunda secara pelan-pelan, penuh hayat dan juga penuh cinta. Alangkah indahnya percintaan itu, bila dilakukan dua manusia berlawanan jenis. Sepertinya, kali ini Lala harus menyurutkan niatnya. Tapi sekarang timbul rasa iri.

Tante Sandra dan Bunda, dua sosok wanita yang dikaguminya, tapi juga yang dibencinya. Lala menoleh ke arah Andra.

“Tidak perlu iri, sayang. Ada aku di sisimu,” bisik Andra. Segera Lala menjadi sadar. Lala tidak perlu meragukan pemberian kasih sayang Andra terhadapnya. Bahkan Andra mampu membaca pikiran Lala. Namun masih ada rasa yang mengantung. Lala tetap tidak menerima perbuatan Bunda terhadap Ayah. Ayah yang telah bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga dan merelakan hidupnya siang-malam bertumpukan kertas-kertas kerjaan. Hanya sia dan pengkhianatan didapat oleh Ayah. Bisa ditebak Bunda rindu sentuhan mesra dari Ayah. Lala bisa pastikan hal ini. Terbukti Bunda lebih membiarkan kerinduannya itu lari ke pelukan Tante Sandra.

Gunting Stainless putih sudah ada di tangan Lala. “Lakukanlah, bila itu dapat membuang lukamu,” tutur Andra pelan. Lala menganggukan kepalanya dan matanya langsung memijar angkara pada dua insan memadu itu. ** Aku dibuang ke lautan. Lala dan Andra membawanya dari Jakarta sampai ke pantai Kuta. Dengan naik kapal boat mereka menyelam hingga di kedalaman. Hanya berdua. Hanya untuk menghilangkan bau-ku. Bau darah milik Tante Sandra dan Bunda. Anehnya, Lala dan Andra tidak pernah naik ke permukaan. Mereka malah membangun istana dalam laut. Dan aku bukan dijadikan benda pusaka, melainkan dijadikan anak oleh mereka. Menurut mereka, ”Jejak-jejak usang tak perlu hadir ke tanah lagi, kecuali jejak-jejak itu menyimpan pupuk buat pencerahan di bumi.”

Sebetulnya aku sakit hati dengan pernyataan mereka itu. Apakah aku tidak bisa mencerahkan jiwa manusia? Apa aku hanya membawa maut kematian? Tapi bila ku pikir-pikir kembali, aku seharusnya beruntung. Lala dan Andra tidak meninggalkanku. Dan aku telah berkuasa menggunting jejak-jejak yang tak selayaknya lagi bagi mereka untuk terus hidup. Karena hanya akan mengakibatkan luka saja. Di dalam dinginnya laut Lala tidak pernah melepaskan celana pendeknya. Celana pendek yang memberikan sosok Tante Sandra-yang dulu Lala Kagumi-dan dibenci akhirnya.

“Ach, besok aku harus menggunting celana pendeknya itu. Lala pasti lupa dan tidak sadar jejak-jejak itu masih berbintik lekat di celana itu,” ini tekadku. Tekad sebuah Gunting Stainless putih.

Sumber : Kompas Indonesia

PUISI TERAKHIR UNTUK TAMI


Sebenarnya aku tidak suka udara dingin. Udara dingin pernah membuatku menyerah menempuh pendidikan di ITB. Saat itu hidungku hampir selalu berdarah-darah karena pembuluh darah yang rapuh.


Karena dirimu, aku tahu, bahwa dicintai itu tidak lebih baik dari mencintai. Bahkan kita belum sempat bertemu. ya? Padahal, antara Musi dan Batanghari sesungguhnya masih satu jiwa. Mungkin karena itu pula, perkenalan kita yang singkat, kata-kata yang serba terbatas, dan senyum yang belum kunjung tertangkap oleh retina itu bukanlah penghalang bagi hati kita untuk saling mendekat. "Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki, Di?" "Tergantung sejauh mana pemahaman kita tentang kepemilikan, Mi." "Apa kamu siap memiliki kehilangan?"

Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Aku hanya paham bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan hilang. Siap atau tidak siap, kita harus menerimanya. ~

Belakangan ini aku disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Pak Yovie mendaulatku untuk membacakan monolog di sebuah acara di Pangalengan. Ya, baru saja aku lulus kuliah dan menjalani hari-hari pengabdianku di sebuah instansi di bawah Kementerian Keuangan.

Sebenarnya aku tidak suka udara dingin. Udara dingin pernah membuatku menyerah menempuh pendidikan di ITB. Saat itu hidungku hampir selalu berdarah-darah karena pembuluh darah yang rapuh—tak kuat udara dingin. Dan besok aku harus pergi ke sana lagi. Dua ketakutan lahir di dadaku. Pertama, karena udara dingin itu. Kedua, karena kenangan-kenangan di masa lalu yang segera menyergapku begitu aku menjejakkan kaki di Bumi Parahyangan itu.

"Hati-hati, Di."

Kau berkata seakan-akan aku akan menghilang selamanya. Memang, di acara itu juga akan diadakan arung jeram. Siapapun yang lengah bisa saja terpental dari perahu, menumbur batu, pingsan, lalu terbawa arus ke kematian. Tetapi, tentu aku tidak ingin berpikir macam-macam. Aku percaya pada standar keamanan yang diterapkan.

Hal kedua, entahlah, aku juga merasa kau mencintaiku. Sementara aku belum siap mencintaimu. Kau sendiri yang paham, betapa luka telah akrab dengan dadaku. Segala cinta yang pernah mampir tiba-tiba berlenyapan satu per satu dengan cara yang kadang tidak bisa kuterima dengan logika. Katakanlah pacar pertamaku yang mata duitan itu, pacar keduaku yang memutuskan menikah dengan orang lain tanpa memberikan alasan yang dapat kuterima, dan terakhir Si Dokter Gigi yang menyerah karena mengetahui pola mutasi di tempat bekerjaku yang baru. Hanya kau, yang berani meyakinkan aku, bahwa bagaimanapun aku, kau akan tetap di sampingku.

***

Kau takut kecoa. Aku takut cacing. Kau suka kucing. Aku suka kepiting. Dahimu bekernyit, "Apa bagusnya kepiting?" "Apa bagusnya kucing?" "Kucing itu hewan yang lucu dan manja." "Kepiting itu jalannya miring." "Semua orang juga tahu kepiting jalannya miring." "Kepiting punya capit." "Semua orang juga tahu kepiting punya capit." "Tapi orang-orang tidak tahu kalau kau malu, mukamu akan seperti kepiting rebus."

Kau diam. Dan pasti memerah. Aku memang belum pernah melihat wajahmu. Tapi aku yakin jenis kulitmu yang putih itu akan mudah memerah kalau terkena panas dan menahan malu. "Di...." "Ya?" "Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki?"

Giliran aku yang diam. Kau juga diam di seberang sana. Perlahan, udara dingin di Kemayoran mengepung tulang-tulangku. “Di, aku mencintaimu....” lanjutmu pelan dan langsung menutup telepon setelahnya.

***

Aku sempat beranggapan bahwa perempuan-perempuan yang mencintaiku akan berakhir dengan airmata. Hal ini tentu bukan tidak beralasan. Penyair seperti aku cenderung memilih kesunyian sebagai tempat pelepasan. Katarsis. Dan pada akhirnya, mereka merasa diduakan. Padahal, aku tentu masih mencintainya. Masih mencintai setiap kenangan dan waktu yang pernah kubagi. Aku hanya memiliki duniaku sendiri. Aku hanya mencintai kesunyianku sendiri—selain cintaku pada kecintaan yang dipersembahkan untukku. “Luka adalah lelucon yang datang tiba-tiba.”

Tiba-tiba di perteleponan kita yang kesekian, kau mengatakan hal itu. Sepertinya selama ini aku abai pada perasaanmu. Sepertinya selama ini aku hanya peduli pada kelukaanku sendiri. Dan hari itu aku menyadari bahwa luka bukan hanya milikku. Tetapi juga milikmu. Dan aku begitu ingin belajar kepadamu tentang cara menghadapi kelukaan yang sedemikian akut. “Hidup yang lucu, atau kita yang lucu?” “Atau Tuhan yang lucu?” Aku tertawa. Kau tertawa. Dan kita saling menertawakan diri kita masing-masing. “Kenapa kau mencintaiku, Mi?” “Karena itu kamu....” “Karena aku?” “Jika orang lain, aku tidak akan mungkin mencintai.” “Apa istimewanya aku?” “Apa butuh keistimewaan untuk mencintaimu, Di?” Kau begitu sering membuat aku terdiam dengan pertanyaan dan pernyataanmu. “Kau tidak tahu masa laluku?” “Apa kau tahu masa laluku?” “Tidak.” “Aku tidak peduli dengan segala hal yang pernah kau lakukan di masa lalumu, Di....” “Aku tidak berani mencintaimu, Mi.” “Aku tidak memaksa kamu mencintaiku. Tapi setidaknya biarkan aku mencintaimu, ya?”

***

Mungkin seminggu lagi aku akan pulang ke Palembang. Tetapi, kau bilang seminggu lagi kau akan kembali ke Bandung—sebab telah habis masa liburmu. Jarak antara Palembang—Jambi sama dengan jarak antara Jakarta—Bandung. Tetapi jarak di antara kita sesungguhnya jauh lebih dekat dari sepasang bola mata yang tak kunjung saling bisa membaca.

Setelah buku Kumpulan Cerpen “Dongeng Afrizal” ku terbit, aku memang merencanakan akan melakukan tur ke sejumlah kota untuk bedah buku. Palembang, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, sudah barang tentu menjadi tujuan wajib. Sebentar lagi juga ulang tahunmu, mungkin menemuimu nanti akan menjadi sebuah hadiah kejutan terindah.

Akan tetapi, kesibukan-kesibukan yang makin padat, antara pekerjaanku sebagai CPNS di Ditjen Perbendaharaan yang dimix dengan rutinitasku sebagai penulis (dan penyair) membuat kita jarang sekali berkomunikasi. Terakhir kali kau mengirim SMS untuk mengirimkan bukuku itu ke rumahmu. Aku sempat mencandaimu, ingin ditambahkan apa di buku tersebut—semisal tanda tangan, cap bibir, atau foto-fotoku. Tetapi, SMS yang terlewat malam itu tidak kau balas. Kau pasti sudah tertidur.

Setelah itu, aku tidak tahu kenapa aku lupa menanyakan kabarmu. Dan heran pula diriku mengetahui kau tidak sekali pun megirim atau menanyakan kabarku. Mungkin kau sedang sangat sibuk—sepertiku.

Akhirnya, karena aku lamat-lamat merasakan rindu mengalir di benakku—memikirkanmu, aku mengirim SMS kepadamu:

Tami, apakah kirimanku sudah sampai ke hatimu? Tidak dibalas. Mungkin kau sedang tidak punya pulsa.

***

Beberapa jam kemudian, kau menghubungiku. Namun bukan suaramu. “Nak Pringadi, ya?” Suara seorang perempuan yang lebih tua terdengar bersahaja. “Saya ibunya Tami.” Lanjutnya mengenalkan diri. Mendadak hatiku gelisah. “Iya, Bu, saya Pringadi, Taminya ke mana, Bu?” “Bukunya sudah sampai. Tadi kami baca. Tidak salah Tami mengagumimu dan banyak terinspirasi dari tulisan-tulisan Nak Pringadi.” Aku diam. “Kalau Tami ada salah-salah kata selama berteman dengan Nak Pringadi, mohon maafkan dia ya?” “Tami ke mana, Bu?” aku mengulang pertanyaanku. Dadaku tiba-tiba sesak. “Tami belum sempat membaca bukunya. Tami keburu dipanggil Allah. Beberapa hari lalu, dia masuk rumah sakit. Demam berdarah. Dia....” “Jangan dilanjurkan, Bu!” aku memotongnya. “Ini pasti bercanda, kan?” “Ini kenyataan, Nak.” “Tapi baru beberapa hari lalu kami berkomunikasi, Bu. Kematian tidak mungkin datang secepat ini pada perempuan sebaik dia!”

Aku tidak mendengarkan perkataan selanjutnya dari ibunya Tami. Aku mendadak lemas. Terisak. Dan membiarkan suara di sana berbicara sendiri.

Kubuka laptopku dan kusaksikan profil facebooknya. Segala kenangan tentangnya mendadak bermunculan dan berkelindan di mataku. Sebuah kalimat yang sering ia utarakan itu mengiang-ngiang di benakku.

Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki, Di? Andai kita berpisah, pastilah karena kematian telah mengisi rongga dadaku. Sebab di langit mana pun kita berada, bulan masih tetap sama, dan kalender-kalender yang bertanggalan, seperti helai dedaunan--- terlepas begitu saja dari ranting. Perjalanan seringkali tampak asing. Jejak sepatu kaca, yang sengaja kau tinggalkan, kerap tak terbaca. Dan gigil palem, menawarkan kesepian yang lebih buruk dari cuaca. Aku tahu, aku tahu keberadaanku yang jauh dari sempurna bikin matamu sakit, tetapi hatiku yang tak mengenal rasa sakit mencoba tabah melebihi semua gegabah yang sering kulakukan. Andai kita berpisah, pastilah karena bulan di langit sudah tak sama. Angin malam, gerak bayangan di remang taman, dan sebuah lampu di tengah kolam melengkapi musim; Aku tergeletak. dadaku retak.

Jakarta, 2011 Utami Ramadhanti, Semoga Allah memelukmu di sana.

Sumber : Kompas Indonesia

MAY, ENGKAUKAH ITU!?

Sejak itu May jadi lebih banyak diam. Ia tidak mau banyak berkomentar. Ia selalu menuruti kata-kataku betapapun buruknya permintaanku.

"May, kaukah itu?" tanyaku ketika mendengar ketukan pintu. Tidak ada jawaban. Ketukan pintu masih terdengar. "May," panggilku dengan lembut.

Suara ketukan pintu menghilang.

Sepi.

Suara angin malam samar terdengar dan jam dinding berdetak seirama dengan denyut nadiku. Aku terpaku di sebuah kursi. Mataku lekat menatap pintu. Telingaku berusaha menangkap suara-suara betapapun kecilnya.

"May, benarkah kau?" tanyaku ketika ketukan pintu terdengar lagi.

Aku bangkit, membenahi pakaianku, merapikan rambut dengan tangan. Kurasakan ketegangan di wajahku. Aku berusaha menyunggingkan senyuman termanis yang kumiliki untuk kuberikan kepadanya. Aku ingin menyambut May dengan keramahan luar biasa. Dengan langkah teratur aku menghampiri pintu. Tepat di depan pintu suara ketukan menghilang. Aku membukanya dengan perlahan, dan tak kujumpai siapa-siapa.

Mataku mengembara di sekeliling ruang depan. Kuperhatikan taman kecil di depan rumah. Sebuah pohon mangga, adakah May bersembunyi di situ? Aku bergegas ke sana, tidak ada apa-apa. Hanya lompatan katak yang mengejutkan.

Aku berdiri di depan pagar besi, memandangi sepanjang jalan. Kendaraan sekali-kali lewat, namun kesepian menjadi raja. Desir angin dingin merayapi tubuhku. Aku tidak memperdulikan. Suara gemerisik daun-daun akasia sepanjang jalan menyanyikan lagu kesunyian. Hati tergiris. Lampu-lampu teras rumah sepanjang jalan kaku tersamar. Tersihir irama malam.

Entah berapa lama aku berdiri di sana. Kakiku letih. Aku masuk, dan duduk di teras. Duduk di kursi ini, kenangan manis dengan May yang muncul. Ya, sejak kami menempati rumah ini, hampir setiap senja kami menghabiskan waktu untuk bicara apa saja. Kemesraan yang terjalin menambah nyala api cinta. Namun kebiasaan itu menghilang tatkala aku dihantui oleh kesibukan-kesibukan yang tak pernah habisnya. May telah mengingatkan, tapi waktu itu kuanggap hanya romantisme belaka.

"Kau bisa menggunakan waktu senjamu dengan membaca. Itu lebih berguna," demikian komentarku waktu itu.

Beberapa hari May menampakkan wajah cemberutnya. Kuanggap itu hal wajar. Lama-lama ia akan mengerti juga bahwa waktu teramat terbatas untuk melakukan banyak hal. Bila tidak memanfaatkan waktu secara optimal, kita tidak akan bisa menjadi warga terhormat. Kita akan terlindas putaran roda kehidupan yang maha dahsyat. Kesibukan terus mengejarku. Kebiasaan berdialog saat senja hilang dengan sendirinya. Aku tahu, May pasti bisa mencari kegiatan lain. Kesibukan terus mengejarku. Hari-hari menjadi sangat terbatas. Urusan ke luar kota, urusan ke luar negeri, urusan segala macam, membuatku jadi jarang bertemu dengan May. Ia pernah menggugatnya.

"Ini demi kehidupan kita. Kepercayaan yang mereka berikan kepadaku akan mengantarkan pada hidup sukses. Aku harus menjaga kepercayaan itu dengan baik,"

"Tapi bukan berarti menjadi budak!"

Terus terang aku tersinggung. Harga diriku terasa terhina. Kata-kata dalam kepalaku muntah. May sama sekali tidak menghargaiku. May mengalami kemunduran pemikiran!

Sejak itu May jadi lebih banyak diam. Ia tidak mau banyak berkomentar. Ia selalu menuruti kata-kataku betapapun buruknya permintaanku. Saat itu aku tidak memperdulikan perubahan sikapnya. Urusan perusahaan telah menghantarkan pada lingkaran baru. Lingkaran terseleksi. Orang-orang penting yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, baik dengan hartanya maupun dengan jabatan yang dimilikinya berkumpul dalam lingkaran ini. Pada dialog-dialog tak resmi semua urusan jadi lancar. Dunia asing, dunia baru, banyak aku bersentuhan dengan hal-hal yang belum pernah kualami. Minuman, perempuan, perjudian bercampur baur dengan pembuatan policy.

Dunia gila yang menyenangkan. Seandainya aku tak berada di dalamnya, mungkin akan aku katakan komentar yang lain. Aku di dalamnya. Aku di dalamnya dalam pergulatan. Aku harus menjadi gila! Dengan demikian diriku dapat menyatu.

Kegilaan ini benar-benar aku nikmati sepenuhnya. Aku baru tahu, puncak karier bukanlah dunia kerja melainkan dunia main-main. Kita kembali ke dunia anak muda yang selama ini disorot dengan berjuta keburukan. Dunia main-main ini benar-benar permainan. Hari-hari dilalui melalui pesta-pesta.

Pada situasi ini, aku benar-benar melupakan May dalam waktu-waktuku. Aku merasa telah menunaikan kewajibanku dengan memberinya kemewahan. Sampai suatu saat persengkongkolan tumbang. Pergantian pejabat berlangsung cepat. Hal yang tak terduga sama sekali. Semua tidak siap. Semua sempoyongan. Banyak yang ambruk ke tanah. Hanya beberapa yang bisa bertahan dengan bergerak cepat masuk lingkaran baru. Aku adalah salah satu korban. Perusahaan ambruk dengan cepat. Kekuatan yang ada selama ini hanyalah semu.

Perusahaanku sangat tergantung penuh pada lingkaran satu kekuasaan yang telah ambruk. Aku bagaikan kapas. Melayang diterbangkan angin. Aku butuh tempat bersandar. Aku butuh tempat untuk mengungkapkan segenap perasaan. Aku butuh dunia yang dapat menampungku dengan rasa kasih. Bukan dipertemukan dengan permainan kepentingan. Sebagai orang kalah, semua kawan dekat menjauhiku.

Hal yang wajar karena takut kepentingan mereka terganggu. Bisa saja aku kembali mendekat, tapi dengan cara mengemis? Tak sudi rasanya terperosok pada kekalahan yang lebih dalam. Yang bisa menerima hanya keluarga. Yang bisa menerima hanya May. Tapi tanpa terduga sama sekali, May pergi. May pergi sebelum aku sempat menyatakan penyesalan, sebelum sempat menceritakan mimpi-mimpiku.

Selama ini aku tidak pernah memperhatikan. Aku merasa dengan memberikan materi yang berlimpah telah menunaikan kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Oh, May, maafkan aku. Aku merasa sangat berdosa. Aku ingin membangun dunia baru. Aku ingin menebus kesalahan-kesalahan. Aku ingin melangkah bersama May. Tapi May pergi! Penyesalan datang kemudian, tiada lagi berguna. Aku menjadi pesakitan. Aku meratap. Aku berharap. May, segeralah kembali!

* * *

Suara kentongan orang ronda menghentikan bayangan. Aku menengadah. Mencari bulan yang bersembunyi.

Ini hari kesekian. Dan aku tidak akan jemu. Aku akan terus menanti May. May pasti akan kembali. Keyakinan yang tertanam kuat di kepalaku.

Kepalaku terasa berat. Angin malam terasa sangat menusuk. Aku bangkit, lalu masuk ke dalam rumah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 03.15 dini hari. Aku duduk di ruang tamu. Aku masih menanti May.

"May, kaukah itu? Kau kembali, May?" tanyaku mendengar ketukan pintu. Aku bangkit lalu berlari cepat menuju pintu. Tidak ada satu wajahpun kujumpai. Namun hidungku menangkap bau parfum yang tak asing. Parfum yang biasa digunakan May. Mataku mencari. Dan di depan pagar halaman sesosok tubuh berdiri tenang. May!

Meluap perasaanku. Kerinduan yang memuncak. May menerbangkan batinku dengan senyuman manis yang dilemparkannya. Aku berlari menghampirinya. Ia tersenyum lalu menggerakkan badannya dan berjalan menjauhiku.

"May, kembalilah kau!" teriakku.

Ia tak menghiraukan teriakanku. Terus berjalan menyusuri jalan sunyi. Aku masih melihat bayangannya. Teramat dekat. Aku mengejar. Terus mengejar sambil berteriak memanggili namanya. Ia teramat dekat.Semakin dekat. Namun tak kunjung terkejar.

* * *

"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri sahabat dekatku yang mengunjungiku.

Amri diam tak menjawab. Wajahnya menyembunyikan sesuatu.

"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri dengan nada yang meninggi.

Amri tetap diam. Matanya tajam menyorot.

"May pasti akan kembali. Bukankah begitu, Amri?" teriakku sambil berdiri dan mencengkram bajunya. Amri tidak mencoba bereaksi. Ia tetap diam. aku mengguncang-guncangkan tubuhnya sekeras mungkin.

"Jawablah Amri!"

Amri masih tetap diam.Tenagaku tiba-tiba hilang. Aku terduduk lemas. Amri mendekatiku. Menggenggam tanganku.

"Relakanlah ia pergi. Berdoalah agar ia mendapatkan ketenangan dalam alamnya yang baru. Melihat kau seperti ini, ia pasti akan sangat gelisah,"

"Tidak! May pasti akan kembali! May pasti akan kembali! May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri? May pasti akan kembali!" aku terus berteriak-teriak histeris. Orang-orang berbaju putih berdatangan, mencengkram lenganku, memegang tubuhku. Aku meronta. Aku berteriak sekuat tenaga.

"May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri?" tanyaku pada Amri yang masih menatapku dengan wajah sayu.

Sumber : Kompas Indonesia

KONTES INOVATOR MUDA 6 DIMULAI - BERHADIAH JUTAAN RUPIAH !!

Lomba Makalah Tentang Ekosistem Terumbu Karang!!!
Melalui Proses Sekolah, Penelitian, Studi Pustaka dan Presentasi Makalah

PERANG IDE, BERHADIAH JUTAAN RUPIAH - Inovatif, Kreatif, Persuasif dan Menonjolkan Potensi Daerah

TEMA :
MODEL PELESTARIAN TERUMBU KARANG DARI KACAMATA GENERASI MUDA

Persyaratan Kontestan :
  • Kontestan merupakan siswa SMA/ sederajat se- Indonesia
  • Tim terdiri dari 3 orang
  • Kreatif dan mandiri
  • Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia
  • Lampiran persetujuan dari sekolah, biodata kontestan dan nomor telepon yang bisa di hubungi
  • Makalah belum pernah dipublikasikan di media manapun
  • Lolos pra-seleksi di tingkat daerah (khusus site COREMAP) pusat
Pra Seleksi :
  • Kontestan dari wilayah kerja COREMAP akan mengikuti seleksi tingkat daerah
  • Kontestan di luar wilayah kerja COREMAP dapat langsung mengirimkan makalah ke panitia pusat
  • Penerimaan makalah terakhir 15 Oktober 2011
  • Seleksi nasional 16 - 30 Oktober 2011
  • Pengumunan finalis (3 terbaik) 31 Oktober 2011
Format Makalah :
  • Tebal makalah 10 - 15 halaman
  • Huruf arial ukuran 12
  • Spasi 1,5
  • Cover terdiri dari : Judul, Nama Tim, Nomor Induk Siswa, Asal Sekolah
  • Isi : Abstrak, Kata Pengantar, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Referensi
Alamat Pengiriman dan Informasi :
PANITIA PUSAT KIM 6 - TAHUN 2011
Gedung LIPI - Jl. Raden Saleh No. 43 Jakarta Pusat
Telp : (021) 314 3080 ext. 1403 dan 1405
e-mail : edukasi@coremap.or.id atau edukasicoremap@yahoo.co.id