Hallo Teman-teman Semua Apa Kabarnya? Kunjungi terus dan Tinggalkan Komentar membangun yia di Blog Aku! :) :)

KESENDIRIAN 'PAK TUA'



Orang memanggil bapak tua itu dengan panggilan Pak Dol. Badannya tinggi besar, kulitnya hitam legam, dan mukanya gemuk sembab. Sejak lima belas tahun yang lalu dia hidup sendiri di rumah papan itu. Rumah papan yang selalu berserakkan dengan puntung rokok di mana-mana, peralatan masak dan macam-macam bungkus bumbu masakan menjadi saksi kesendiriannya. Bapak tua itu memang senang memasak.

Dari jendela ruang tamu yang hanya berisi satu bangku, Bapak tua duduk menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Sejenak kemudian tatapannya menghambur ke setiap rumah tetangga. Bola matanya mampir pada Ibu tua di depan rumahnya dengan kebaya lusuh dan selendang usang, duduk di depan pintu bersama anak gadisnya sambil berbincang. Bapak tua tersenyum kecil melihatnya. Matanya berkaca-kaca. Ada kerinduan di sana.

Terdengar alunan lagu lantunan tape dari rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang menggelitik: Kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada tempat beria.

Yah, mereka jauh. Nasib telah memisahkan bapak tua dengan anak istrinya. Keluarga bapak tua masih hidup. Terutama istrinya yang sama sekali belum diceraikannya.

Bapak tua menyalakan sebatang kretek dan menghisapnya. Dia seolah lupa dengan penyakit yang ada di tubuhnya. Saat dihisap, percikan api rokok melompat. Dengan reflek matanya menyipit. Sesaat kemudian perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dengan bingkai yang lumayan besar di sisi dinding. Dia mengamati foto keluarga yang dulu sangat harmonis. Foto yang telah kusam, dua puluh tahun yang lalu. Saat itu Zainal, anak sulungnya masih berumur tiga belas tahun, yang bungsu masih SD kelas satu. Bapak tua menghela nafas.

saat ini usianya sudah enam puluh lima tahun. Harusnya di masa tua dia berkumpul dengan anak dan istrinya. Kalau sakit dia tidak perlu memanggil Buyung, anak tanggung di sebelah rumah yang selalu ada di saat dia butuh pertolongan. Sesekali Buyung juga yang membersihkan rumahnya.

Rumah papan yang berisi sebuah kompor minyak dan beberapa alat masak di dapur, tv tujuh belas inci, kipas angin, dan kasur tipis di kamarnya. Sebuah bangku di ruang tamu. Seraya menghisap rokok, bapak tua menatap ke jalan. Anak-anak bermain lumpur, berlempar-lemparan tanah. Ada yang mengejar layang-layang putus.

Waktu pun menyergapnya. Kenangan masa lampau. Ketika anak-anaknya mengantarkan kawa untuknya, ke sawah. Berjalan di pematang. Seraya tertawa-tawa mereka akan berebutan menangkap capung-capung merah dan belalang. Kemudian mereka makan bersama-sama bapak tua. Dengan samba lado dan ikan asin yang dibuat istrinya di rumah.

Yah, kenangan! “Itu memang salahku.” Bapak tua itu bergumam. Pandangannya menerawang ke masa lalu.

Lima belas tahun yang lalu anak-anaknya dia suruh ke Medan untuk sekolah. Saat itu si Zainal akan masuk Kedokteran, anak keduanya si Ani kelas satu SMA, anak ketiganya si Upik kelas dua SMP, dan anak bungsunya si Rustam kelas empat SD. Pikirnya, lebih baik sekalian saja keempat anaknya sekolah di sana. Pendidikan di sana lebih berkualitas. Dia ingin anak-anaknya sukses. Mereka pindah bersama istrinya. Di Medan, bapak tua sudah lama mempunyai rumah. Bahkan rumah di Medan besar dan mewah, tidak seperti rumah papan yang ditempatinya. Sekarang anak-anaknya sudah berkawinan.

“Melamun, Pak Dol?” Seorang tetangga yang melewati rumahnya, menyapa. Dia hanya tersenyum kecil. Kemudian bayang masa lalu kembali hadir. “Tak ada gunanya tanah pusaka yang banyak menghasilkan seperti kelapa, padi, jagung dan sebagainya,” suaranya berbisik, lalu menarik napas.

Dia melempar puntung rokoknya yang sudah memendek ke sembarang arah. Kalau ada bensin atau minyak lampu tumpah, rumah itu pasti sudah terbakar.

Anaknya si Zainal, berhenti kuliah di tengah jalan dengan alasan tidak sanggup menghadapi pelajaran Kedokteran. Padahal saat sekolah dulu prestasinya sangat baik. Kemudian didengarnya sudah menikah karena anak gadis orang sudah hamil dua bulan dibuatnya.

Anaknya si Ani, setelah tamat SMA tidak lanjut kuliah karena tidak ingin masuk jurusan Hukum seperti yang diinginkan bapak tua. Dia lebih memilih menikah muda.

Anaknya si Upik saat SMA kelas dua berhenti sekolah karena terlibat hutang di mana-mana. Anak itu memang sangat boros. Lagaknya seperti anak pejabat saja! Dia lari dari Medan ke Kutacane, dan sampai sana menikah di bawah tangan.

Si bungsu Rustam tidak tahu kabarnya sekarang. Terakhir kali Rustam masih SMP. Sejak berita terakhir yang bapak tua dengar tentang Upik, dia syok berat dan tidak mau menghubungi mereka lagi. Telepon selulernya dia jual agar tidak dihubungi. Sejak itu pula dia divonis sakit jantung dan paru-paru.

Sebagian menyalahkannya karena tidak mengawasi mereka di Medan. Istrinya tak bisa mendidik anak-anak seorang diri. Istrinya tidak tegas dan keras sepertinya. Bapak tua sebagai kepala rumah tangga yang harusnya memimpin. Anak-anak juga butuh perhatian darinya, bukan cuma materi. Bapak tua kembali menarik nafas panjang. “Mereka pikir menikah itu gampang.” Dia tersenyum getir. “Apalagi pendidikan mereka tidak tinggi. Kerja apa si Zainal untuk anak dan istrinya? Ani dan Upik juga. Apa mereka pikir dengan mengharap dari suami saja cukup?” Bapak tua menggeleng lemah, tersirat kekhawatiran di wajahnya. “Pikiran mereka terlalu singkat.”

Sejenak kemudian dia menggeleng lagi, kali ini cepat. “Tidak! Mereka benar. Ini memang salahku. Istriku tidak pernah salah. Walaupun aku sempat menyalahkan istriku karena tidak pandai mengurus anak.” Dia masih bergumam dalam kesendirian.

Sebuah jam lama di dinding rumahnya menunjukkan pukul enam petang. Bapak tua bangkit dari duduknya. Tertatih menuju almanak yang tergantung di dinding. Matanya tak lepas dari angka-angka tersebut. Seminggu lagi bulan puasa. Tahun ini dia harus melewati lebaran sendiri lagi. Dia rindu sama anak dan istrinya. Padahal dulu dia sangat mencintai istrinya. Istrinya sangat cantik dan saleha. Tidak pernah membantah suami. Ini semua karena kekerasan hatinya. Dia sangat kecewa dan sakit hati karena anak-anaknya tidak ada yang sukses sesuai dengan keinginannya. Hari sudah senja. Di ujung, Gunung Sago terhampar jelas. Dia segera menutup jendela dan pintu. * Seminggu lagi lebaran. Bapak tua sudah sibuk menyuruh Buyung untuk belanja ke pasar, membeli bahan masakan untuk lebaran. Dia biasa memasak sendiri.

“Ungku akan memasak samba lado tanak, makanan kesukaan Pak Etek Zainal. Rendang kesukaan Etek Ani, pangek ikan kesukaan Etek Upik, dan kesukaan Apak Rustam kolak campur lemang.” Setiap lebaran, bapak tua mengurai makanan kesukaan anak-anaknya. Lalu dia akan memasaknya sendiri. Buyung hanya menolong memotong atau menggiling bahan yang dibutuhkan. Dengan memasak masakan kesukaan anak-anaknya setiap lebaran, bapak tua seolah merasakan kehadiran mereka.

Suara takbir bersahut-sahutan. Anak-anak berlarian dengan pakaian baru mereka. Berbondong-bondong keluarga menuju mesjid untuk shalat Ied. Ada juga yang datang jauh dari kota ingin berlebaran bersama orang tuanya yang sudah renta.

Dia Rijal, abang Buyung yang sudah sukses dengan gelar Dokter. Bapak tua melamun melihat mereka di depan pintu, kemudian berlinang air matanya. Dia sangat ingin anaknya sukses seperti Rijal walau hanya satu orang.

“Bapak,” suara panggilan anak muda di depannya mengejutkannya. Dia seperti mengenal wajah anak muda yang berdasi itu.

Anak muda itu mencium tangan bapak tua, lalu memeluknya erat. Bapak tua masih terpaku. “Kamu Rustam?” tanyanya antara percaya dan tidak. “Iya, Pak. Sekarang Rustam sudah jadi direktur di suatu perusahaan yang ada di Medan. Kami rindu sama Bapak.” Rustam mencium tangan bapaknya.

Air mata kebahagian mengalir di wajah bapak tua. Seorang wanita renta dituntun gadis tanggung keluar dari Honda jazz. Wanita renta itu adalah istrinya. Mereka menghampiri bapak tua. “Ini Ratih cucu kita, anak si Zainal,” kata si istri, lalu mencium tangan bapak tua.

Mata bapak tua berbinar pada istrinya, lalu menatap Ratih yang juga menyalaminya. Beberapa saat kemudian keluar lagi beberapa orang dari mobil, kemudian datang lagi satu mobil di belakang Honda jazz. Ketiga anaknya dan cucunya yang lain. Seketika sakit hati bapak tua hilang.

Sumber : Kompas Indonesia

SELAMAT PAGI, PAK GURU ...



“Selamat pagi Pak Guru!” “Selamat pagi anak-anak! Apakah saya mengajar disini?” “Bukaaan!!!” seru anak-anak serentak. “Hahaha!” gelegar pak Guru. Pak Guru keluar dari pintu kelas menyisakan tawa kecil di wajahnya.

Berapa tepatnya umur Pak guru, tidak ada yang benar-benar tahu. Bulan kemarin sepertinya anak-anak baru memberi kado sarung tenun sebagai hadiah ulang tahun. Cuma entah ulang tahun yang ke berapa. Dia sendiri lupa tanggal lahirnya. Yah anggap saja sudah 62 tahun. Kalau sekarang sedikit pikun ya artinya wajar saja. “Selamat pagi Pak Guru!” “Selamat pagi Ajeng! Tidak masuk kelas?” “Saya Mutia Pak Guru!” “Oh maaf…. Huahahaha!” pak Guru pun berlalu.

Wah makin parah saja. Walaupun memang sudah berlangsung lama, tapi lupa pada anak didik sendiri rasanya keterlaluan. Bagaimana mungkin sampai tidak ingat pada anak-anak yang selalu dia temui hampir setiap hari. Atau juga mungkin bukan sekedar masalah ingatan yang makin berkurang, melainkan kaca mata yang mulai tidak sesuai lagi dengan usia.

Meski sesungguhnya, berkat menantunya yang bekerja di kantor dinas kesehatan kota, dia sudah berganti lebih dari tiga kacamata untuk lebih dari tiga jenis kefatalan mata yang diidapnya. Minus, rabun, katarak dan mungkin sekarang glaucoma. Meski sudah hampir 40 tahun mengajar dia sendiri agak kurang mengerti akan penyakit terakhir yang disebutkan sang menantu ketika keluar dari ruang pemeriksaan dokter mata. “Mesti dioperasi, Pak! Harus!” “Kalau tidak…?” “Lama-lama Bapak sama sekali tidak bisa melihat.” “Buta?” “Iya begitulah.” “Yah, sudahlah.” “Sudahlah bagaimana, Pak? Membiarkan mata Bapak jadi buta?” “Bapak masih bisa melihat kok. Itu motormu, itu patung KB, itu toko kelontong, itu apotek, ya kan? Hahaha!”

Tawanya sudah menjadi khas. Tidak keras tapi meyakinkan. Kebahagian, kecerian dan ketulusan seolah mengalir di dalamnya. Meracuni suasana siapa saja yang tersemprot oleh tawanya. Bisa jadi orang yang baru mengenalnya akan menganggap dia agak sedikit sedeng.

Tapi itu pasti salah, mereka terjebak dalam dunia yang menganut paham bahwa berlebihan adalah tidak normal. Dunia Pak Guru tidak begitu. Miftahul, muridnya yang duduk di kelas 4 badannya berlebihan. Di usianya yang ke-10 dia sudah harus menggusung 62 kg berat badannya. Pak Guru tidak pernah menganggapnya tidak normal. Atau Masturi yang murid kelas 5 yang warna kulitnya seperti lebih gelap dari papan tulis kapur. Dan Pak Guru selalu mengingatkan murid-muridnya untuk tidak melihat semua kelebihan itu sebagai sebuah ketidaknormalan.

“Kaki saya panjang sebelah,” aku Jumi. “Wah hampir sama dong, hanya saja kaki saya pendek sebelah,” salut Iwan “Dari kecil wiwir saya sungwfing,” senyum Jasmadi. “Nggak apa-apa nanti kalau ada program operasi bibir sumbing, kamu ikutan ya bareng bapak saya!” celoteh Anisa.

Yah, inilah dunia yang diciptakan Pak Guru pada generasinya. Menghormati dan menyayangi ketidaknormalan. Pak Guru pun kadang trenyuh sendiri merengkuh dunianya ini. Membuatnya kian tersadar jika kepikunan, tawa yang berlebih dan kemudian kebutaan yang bakal menghampiri nanti, semuanya sudah bersandar pada dunia yang tepat.

“Pak Guru mau pensiun ya?” “Ini…?” “Hasnah Pak Guru, murid kelas 6.” “Oh, masuk Hasnah. Tidak ada pelajaran hari ini?” “Sekarang hari minggu Pak!” “Oh, hahaha! Pantas saja kamu tidak pakai seragam.” “Jadi Pak Guru akan pension?” “Nanti kalau umur bapak sudah 60.” “Umur Bapak sekarang berapa?” “Itulah masalahnya, Bapak tidak terlalu ingat. Tapi kata menantu Bapak, umur Bapak sudah lewat 60.” “Artinya Bapak akan pension?” “Seharusnya begitu. Lagi pula bapak sudah sedikit pikun dan sukar melihat.” “Tapi Bapak tidak lupa dengan sejarah-sejarah yang sering Bapak ajarkan?” “Hahaha! Sejarah adalah diri Bapak dan Bapak tidak mungkin lupa diri kan? Lagi pula kenapa kamu mengkhawatirkan itu Hasnah?” “Saya cuma ingin memastikan kapan saya harus memberikan bunga ini kalau suatu saat Pak Guru akan pergi.”

Pak Guru senyap.

Pak Guru terisak. Air matanya melukiskan kenangan akan baktinya selama hampir 40 tahun demi pendidikan ini. Demi generasi yang dia bangun atas dasar pernghormatan dan kasih sayang terhadap perbedaan, kekurangan, kelebihan dan ketidaknormalan. Sekaligus kekhawatiran jika generasi ini tergerus oleh waktu dan kejamnya peradaban. Tapi Pak Guru bisa apa? Purna semua tugas, tuntas semua bakti. Kini adalah masa-masa dimana dia mesti tersenyum menerima bunga. Seperti sebuah simbol rasa cinta dan wewangi di pekuburan.

Sumber : Kompas Indonesia

KISAH PANJANG, PEMULUNG MASA DEPAN



[1] Jikalau suatu ketika ada sampah menumpuk di rumahmu, maka segera hubungi 0812345678910 atau kirim kabar via email di pemulung.makmursekali@yohaa.com dan tunggulah beberapa saat karena karyawan kami dari perusahaan Pemulung Jaya akan segera mengambilnya tanpa imbalan apapun.

Sekarang sudah zaman modern, di tahun 2030 tidak ada lagi pemulung berjalan keliling membawa karung usang dengan baju robek dengan bau badan yang mirip comberan. Pemulung di zaman ini memiliki kemajuan pesat. Semua kini memakai kemeja dan dasi, harum dan rapi, serta tak lagi menjijikan. Kami juga sudah diakui pemerintah dalam negeri, bahkan kantor pusat kami di Ibu Kota terletak di dekat bundaran HI, itu sebagai bukti keberadaan kami diakui.

Mungkin kau heran bagaimana sampai pemulung mencapai kemajuan yang pesat dan hampir menjadi tonggak perekonomian Negeri kita. Tentunya semua semenjak diberikannya BOP Biaya Operasional Pemulung. Dengan adanya dana itu, kami semua para pemulung dari Sabang sampai Merauke wajib belajar 9 tahun, bahkan minimal harus lulus S1. Dengan demikian, maka akan dihasilkan pemulung cerdas yang akan membantu memajukan Negara. Mari kita lihat bagaimana semua bermula.

[2] Berawal di bulan Desember tahun 2015, kami masih gembel-gembel saat itu. Masih banyak tulisan di ujung gang ‘’Pemulung Dilarang Masuk!”. Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran pemulung. Sesekali terjadi kericuhan dan lempar batu dengan aparat keamanan. Semua terjadi karena beberapa pemulung di tangkap seenak wudel dan dianiaya karena dianggap meresahkan warga. Kami tak tinggal diam. Pemimpin pemulung kami menyuruh semua pemulung untuk turun ke jalan menuntuk ketidakadilan. Menjelang senja, bentrokan mulai reda karena pimpinan Negara telah bertemu pimpinan pemulung kami.

“Masalahnya sebenarnya mudah,” kata pemimpin Negara sambil menyeruput anggur. “Aparat kami menangkap rekan kalian karena kalian meresahkan warga. Banyak laporan bilang kalau kalian itu memungut apa saja yang bisa kalian pungut seenak jidat sehingga sudah mirip pencuri saja. Bagaimana mungkin gigi palsu seorang nenek yang dijemur di depan rumah, kalian ambil juga, bukankah itu sudah keterlaluan. Badan kalian itu juga busuk sehingga orang-orang tak nyaman dengan kalian. Oleh karenanya aparat kami bertindak menangkap kalian dengan tujuan menertibkan dan menciptakan kenyamanan” katanya.

“Baiklah kalau memang itu masalahnya, kami akan mencoba mengerti. Berikan kami sedikit modal dan kami akan mencoba mengubah peradaban pemulung. Jika tidak maka jangan salahkan kami, kehidupan kami memang begini!” kata pimpinan pemulung.

Dengan tanda tangan kepala Negara dan jabat tangan yang difoto para wartawan, maka kucuran dana pun turun dikemudian hari. Perlahan tapi pasti, peradaban pemulung dimulai.

[3] Semua pemulung dari anak-anak sampai orang tua dikumpulkan dan di data. Masing-masing mulai diberi pendidikan. Di sesuaikan dengan kemampuan dan umur. Semua guru terbaik di datangkan. Tentunya guru-guru yang berpengalaman, berdedikasi, serta memiliki kemampuan memulung yang baik, benar, serta sesuai syariat agama. Slogan kami adalah adaptasi dari Ibi Societas Ibi Ius yang kami rubah menjadi “Ibi Trash Ibi Mulung” yang artinya dimana ada sampah maka disitu ada pemulung. Setiap pagi sebelum belajar kami akan berteriak bersama mengucap semboyan itu sebanyak tiga kali.

[4] Semua pelajaran yang diajarkan, kurikulumnya berhubungan dengan memulung. Misalnya suatu ketika guru agama berkata.

“Kalian harus bangga dan bersyukur menjadi pemulung, karena bahkan Malaikat Izrail pun pemulung. Hanya saja dia pemulung terbaik. Dia memulung nyawa-nyawa tiap orang yang berserakan di bumi sesuai titah Tuhannya. Lantas ditampung di Bantar Gebang Akhirat dan nanti tinggal dipilih, nyawa yang baik dimasukan ke sorga sedang yang buruk di jadikan sampah lagi di Neraka. Jadi tenang saja, karena malaikat kita pun pemulung. Amin!” begitulah kurang lebih kata guru agama kami dulu. Namanya H. Gatot Kaca, S.Ip (sarjana ilmu pemulung).

Salah satu guru besar Bahasa Pemulung kami juga pernah menulis di salah satu buletin pemulung. “Dimana-mana yang namanya pemimpin itu pemulung, kecuali yang terhormat pemimpin kami yang adil, jujur, dan bijak. Lihat saja bagaimana setiap calon pemimpin mengais orang demi orang dan memungut suara demi suara. Suara yang Pro akan di olah bagai limbah daya guna untuk dijadikan jubah dan mahkota. Sedang yang Kontra akan dikubur di tanah biar dimakan tikus dan cacing. Jadi jika ada yang menghina para pemulung, maka cukup kalian tertawa membusungkan dada. Alangkah lebih baik bukan, kita memulung sampah yang benar-benar samapah daripada mereka yang memungut suara-suara dan hak-hak tukang sampah!”

Perlu kalian ketahui, tulisan itu mendapat penghargaan dari buletin pemulung. Artikel itu dianggap terbaik sepanjang sejarah pemulung yang disampaikan secara tajam. Setajammmmmm…silet! Eh kater!

Guru sejarah kami pun tak kalah, saat pelajaran Sejarah Peradaban Pemulung dia pernah berkata. “Semua negara besar pernah menjadi pemulung, hanya negara kita yang belum. Ingatkah kalian, dulu sebelum tahun 1945, Jepang yang sipit-sipit itu dan Belanda yang mancung-mancung itu datang ke Negeri kita untuk memulung.

Mereka memungut semuanya. Memungut rempah, memungut hak, memungut keadilan, memungut buruh, memungut gadis-gadis desa, semua dipungut dan tak dibiarkan tersisa. Oleh karenanya mari kita buat sejarah baru, Negara kita harus jadi pemulung juga. Malu kan kalau kita termasuk Negara besar tapi tidak bisa memulung. Makanya ayo semua belajar yang rajin dan berdoa biar cita-cita kita untuk menjadi Negara pemulung tercapai di suatu ketika!” Maka serentak kami berteriak. “Siapppp! Hidup pemulung!.” Begitulah cara guru Sejarah menyemangati kami.

[5] Hingga akhirnya tahun 2027 atas usul guru sejarah kami yang brilian. Kami mulai menyusun strategi mengubah paradigma. Pemulung tetap menjalankan pengolahan sampah yang nantinya di ekspor ke Mancanegara tetapi juga tetap memikirkan cara untuk mencapai cita-cita. Menjadi Negara pemulung dan membalas dendam.

Semua sepakat, kalau pemulung-pemulung yang berprestasi dikirim ke Luar Negeri untuk belajar dan memungut ilmu di sana. Salah satu Negara sasaran kami adalah Jepang, di sana kami memungut pengetahuan akan Sains dan teknologi. Setelah pintar kami akan mengabdi di Negara kami sendiri. Mendidik pemulung lainnya demi tercapainya cita-cita. Kami menolak tawaran Luar Negeri yang mau menggaji kami tinggi apabila bekerja di sana. Sesungguhnya kami cinta Negara kami, kami akan balas dendam. Kami tak mau di jajah lagi.

Kebetulan saya salah satu yang baru saja merampungkan studi saya di Luar Negeri. Oh ya sampai lupa kita belum kenalan. Namaku Cucak Rowo. Karena aku habis menmpuh studi di Luar Negeri, gelarku tambah banyak. Sampai bingung mau taruh dimana. Prof. Cucak Rowo, M. Sampah, dan alhamdullilah saya diamanahi sebagai pimpinan IIMP. Ikatan Intelek Muda Pemulung.

[6] Dari situlah akhirnya pembuktian kami terjawab di tahun 2029. Data resmi yang ada, kami mempunyai 980 Sekolah Dasar pemulung, 800 Sekolah Menengah Pemulung, dan 760 Sekolah Menengah Atas pemulung. Kami juga punya 10 perguruan tinggi pemulung. Semua tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Kami juga resmi memiliki Bank Sampah. Letaknya di Bantul, Yogyakarta. Setiap sampah kalian akan kami bayar sesuai jenis dan bobot. Kami akan beri semacam buku tabungan yang berisi data sampah yang kalian setor, lantas setiap 3 bulan uang akan cair sesuai kriteria dan bobot sampah kalian yang tertera dalam buku tabungan kalian. Itulah bukti konsistensi kami dalam mengolah sampah.

Benar-benar ajaib bukan. Tidak dapat dipungkiri, sekarang pemulung menjadi bagian penting dalam meningkatkan perekonomian negara. Walau kucuran dana dan modal kecil, kami bisa memanfaatkan itu karena kejujuran dan keuletan kami. Sampah kering biasanya kami olah menjadi kerajinan yang nantinya akan di Ekspor ke Mancanegara sehingga kami memiliki pemasukan tetap. Sedang sampah basah kami olah menjadi pupuk dan dibagi rata ke seluruh petani. GRATIS! Itu sebagai penghargaan kami terhadap jerih payah mereka. Keringat mereka yang menetes ke tanah sawahlah yang membuat padi dan sayuran terus subur.

Kami sekarang seperti gurita bersayap garuda. Hampir semua kami punya. Pemimpin, menteri, staf ahli, sekolah, perusahaan, dll. Seandainya masih ada pulau kosong, mendingan kami pindah saja dan membuat Negara sendiri. Negara pemulung. Hanya saja pemimpin kami selalu berpesan “Jangan aneh-aneh, apalagi berfikir membuat Negara baru! Ngurus Negara lama saja masih susah. Hormatilah Garuda! Apa kalian mau kalau kita buat Negara lambangnya burung Perkutut. Jadi ya mending kita benahi dulu Negara kita. Kita buktikan kalau pemulung mempunyai peran besar dalam pengembangan negara!”

Tak heran kejayaan kami membuat pemimpin pemulung kami sering didekati pejabat. Karena dipikiran pejabat, jika kami bisa diajak koalisi maka dengan kemampuan intelek kami pastilah bisa memungut suara-suara orang yang GOLPUT. Tetapi sayangnya pimpinan kami adalah orang-orang baik, beriman dan bijak sehingga dengan halus dia menolaknya dengan berkata. “Tujuan pemulung bukan berpolitik, melainkan meningkatkan perekonomian Negara dan mencapai cita-cita untuk memulung kekayaan Bangsa lain.” Begitulah jawaban bijak pemimpin kami. Namanya adalah Ir. H. Imam, M. Ulung.

[7] Jika dulu di ujung gang-gang perumahan tertulis “Pemulung Dilarang Masuk!” maka di zaman kejayaan pemulung ini, tulisan itu berubah seketika. “Para pemulung yang Terhormat, silahkan masuk ^_^”. Olala…lihat ada lambang senyuman yang berarti kami sudah seperti keluarga yang patut disambut.

(sebenarnya ada lanjutan ceritanya ... ini hanya bagian yang aku suka :) ... klo mau tau lanjutannya, kunjungi aja sumbernya :) )

Sumber : Kompas Indonesia

OPERA TAN MALAKA



Graha Bhakti Budaya, 23 & 24 April 2011, pkl. 20.00 wib

HTM : Rp. 250.000,- & Rp. 100.000,-

Opera Tan Malaka merupakan kolaborasi kesekian kali antara komponis Tony Prabowo dengan libertis Goenawan Mohammad. Opera ini dipersiapkan sejak 2009 dan pertama kali dipentaskan di festival Salihara 2010. Sebagai sebuah perkawinan antara musik dengan sastra ia menunjukkan kekhususannya. Ia disebut ‘Opera-Esai’, sebab yang dipentaskan bukanlah sebuah cerita melainkan sebuah wacana tentang salah satu tokoh terpenting revolusi Indonesia, Tan Malaka. Tidak ada aktor yang memerankan satu tokoh. Tidak ada dialog antar-peran. Tapi ada dua penyanyi aria dan pembaca teks yang terkadang bersilangan, terkadang paralel. Kali ini opera Tan Malaka kembali dipentaskan dengan sejumlah anasir baru pada musik dan pengadegan.

Opera Tan malaka is the latest in numerous collaborations of composer Tony Prabowo wth liberttist Goenawan Mohammad. Preparations for this opera began in 2009 and it was presented at the Festival Salihara 2010. As a union of music with literature, this opera demonstrates sone special features. It is called ‘Opera-Essay’, because what is performed is not a story but rather a discourse about one of Indonesia’s leading revolutionary figures, Tan Malaka. There is no actor who plays obe character. There is no dialogue between characters. But there are two aria singers and two readers of the text sometimes crossing one another, sometimes parallel. Opera Tan malaka will performed this time with a number of new elements in the music and staging.

Libretto & Sutradara : Goenawan Mohamad – Komponis : Tony Prabowo – Dirigen : Josefino Chino Toledo

Menampilkan : Binu Sukaman, Nyak Ina ’Ubiet’ Rasuki, Landung Simatupang, Whani Darmawan, PSM UI Paragita, Orkes Kamar Kontemporer Salihara

Acara ini terselenggara atas kerjasama antara PKJ – Taman Ismail Marzuki dan TEMPO