Hallo Teman-teman Semua Apa Kabarnya? Kunjungi terus dan Tinggalkan Komentar membangun yia di Blog Aku! :) :)

LIMBAH CAKALANG JADI JUS IKAN

Ikan cakalang merupakan salah satu komoditi laut yang besar di Indonesia. Untuk kebutuhan ekspor, ikan jenis ini hanya dimanfaatkan dagingnya saja sementara tulang dan kulitnya selama ini banyak dibuang.

Namun, limbah ikan cakalang ternyata masih bisa dimanfaatkan bahkan dimakan. Limbah yang dimaksud adalah tulang ikan, daging ikan yang dinilai kurang berkualitas jika dimakan langsung serta kulit ikan yang disingkirkan.

Sebuah perusahaan di Bitung, Sulawesi Utara, mengolah limbah cakalang menjadi fish juice atau jus ikan. Orang Indonesia mengenal jus ikan dengan istilah petis, bahan yang digunakan sebagai salah bahan baku rujak petis.

Salah satu perusahaan yang mengelola limbah tuna tersebut adalah PT Delta Pacific Indotuna. Perusahaan tersebut masih satu kelompok usaha dengan produsen cakalang kalengan yang menghasilkan limbah berupa kulit ikan dan tulang.

"Untuk mengolah cakalang menjadi kalengan, kita benar-benar memilih. Kulit yang hitam kita buang, tulang dibuang begitu juga bagian daging yang berwarna coklat," kata Basmi Said, manager perusahaan tersebut saat ditemui Kompas.com di Bitung belum lama ini.

Basmi mengatakan, bahan yang dikalengkan hanyalah daging yang berwarna putih. Bahan tersebut diperolah setelah cakalang dipanaskan, diambil kulitnya dan dibuang daging coklatnya. Proses mengambil bagian ini setidaknya melalui tiga tahap.

Menurut Basmi, limbah ikan kalengan terlebih dahulu diolah menjadi tepung ikan. Hasil terakhir ini biasanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sementara, petis sendiri dibuat dari bahan tepung ikan yang tak bisa dimanfaatkan.

Basmi mengungkapkan, pembuatan petis ini dilakukan agar semua bahan terpakai dan meminimalkan sampah. Ketika mengungi pabrik Kamis (24/2/2011) lalu, proses pembuatan petis pun tak melibatkan banyak tenaga kerja.

"Ketika membuat petis atau jus ikan, limbah ikan terlebih dahulu dipanaskan dan dikentalkan," kata Basmi. Petis yang dihasilkan adalah petis mentah, berbentuk seperti pasta dan berwarna coklat gelap.

"Kita kirim ini ke daerah seperti Jawa Timur sana. Nanti yang menggunakan masih perlu memasaknya sebab masih mentah," ungkap Basmi. Dengan pengolahan petis, pabrik ini setidaknya memiliki 3 produk, yakni cakalang kalengan, petis, dan tepung ikan.

Pengolahan petis selain menguntungkan secara ekonomi dan memberi nilai tambah juga menguntungkan secara ekologis. "Kalau limbah cair ikan dibuang langsung, baunya amis sekali dan mencemari lingkungan," kata Basmi.

Bagi Anda, mungkin membuat petis bukanlah hal yang sulit. Banyak tersedia resep pembuatan petis dari ikan dan udang. Jika berminat, anda pun bisa memulai usaha pembuatan petis dengan mengoleksi limbah ikan dari industri terdekat.

Sumber : Kompas Indonesia

LABA-LABA TERTARIK BAU MANUSIA

Tidak hanya nyamuk, laba-laba jenis tertentu ternyata menyukai bau manusia. Pada sebuah penelitian yang dilakukan di Kenya, bau kaus kaki manusia yang sudah dipakai selama beberapa jam ternyata menarik bukan hanya bagi nyamuk, tetapi juga laba-laba.

Ahli biologi laba-laba, Fiona Crossat dari University of Canterbury, Selandia Baru, melakukan eksperimen di sebuah laboratorium di Kenya untuk menguji hipotesisnya tersebut. Ia menggunakan satu kaus kaki bersih dan satu kaus kaki yang sudah dipakai selama 12 jam.

Ternyata dari 109 laba-laba pelompat spesies Evarcha culicivora yang mereka uji, jantan dan betina, tua dan muda, semuanya tertarik pada ruang dengan kaus kaki yang sudah bau. Ia menyimpulkan, laba-laba tertarik pada bau manusia karena biasanya di lokasi itu terdapat banyak nyamuk yang menjadi mangsanya. Evarcha culicivora merupakan satu-satunya predator yang secara khusus memangsa nyamuk pengisap darah.

Riset terdahulu menemukan bahwa nyamuk Anopheles gambiae, penyebar parasit malaria, sangat tertarik pada bau manusia. Di sisi lain, para ilmuwan juga menemukan spesies laba-laba pelompat Evarcha culicivora yang menjadikan nyamuk Anopheles sebagai mangsa utamanya.

"Temuan laba-laba yang menyukai bau manusia belum pernah terjadi sebelumnya dan bisa membuka jalan baru untuk mengendalikan populasi nyamuk malaria," ujar Cross, seperti dikutip Live Science.

Meski serangga ini bukan kunci utama pemberantasan malaria, Cross melihatnya dengan optimistis sebagai salah satu kepingan teka-teki malaria yang bisa dimanfaatkan pada masa depan dan tersedia gratis di alam.

KAKTUS BERJALAN HIDUP 520 JUTA TAHUN YANG LALU


Dugaan para ilmuwan bahwa artropoda atau hewan berbuku-buku berevolusi dari lobopodia atau sejenis cacing mulai menemukan titik terang. Penemuan fosil yang diberi nama "kaktus berjalan" diharapkan menjadi jawabannya.

Sebuah fosil makhluk serupa cacing berkaki 10 yang hidup 520 juta tahun lalu diduga sebagai mata rantai penghubung dalam sejarah evolusi serangga, laba-laba, dan krustasea. Makhluk yang disebut kaktus berjalan itu termasuk kelompok hewan serupa cacing disebut lobopodia, yang diduga sebagai asal-usul artropoda.

"Penemuan kaktus berjalan sangat penting karena sebelumnya kami belum menemukan fosil yang dapat dijadikan acuan dugaan kami," kata Jianni Liu, pemimpin tim peneliti yang melakukan studi terhadap fosil tersebut.

Sebelum penemuan kaktus berjalan, Diania cactiformis, semua anggota lobopodia memiliki tubuh dan tungkai yang lunak. Sementara hewan artropoda memiliki tubuh yang bersegmen (berbuku-buku) serta tungkai yang menyatu dan terlindungi cangkang keras.

Petunjuk evolusi artropoda hingga saat ini terdapat pada cacing beludru yang disebut-sebut sebagai satu-satunya keluarga terdekat bagi seluruh artropoda. Setelah sebelumnya sempat diduga sebagai siput, hewan yang hidup di tanah ini hampir seluruh bagian tubuhnya lunak, kecuali cakar dan rahangnya.

Menurut Graham Budd, profesor paleobiologi di Uppsala University, Swedia, yang tidak terlibat dalam studi, penemuan kaktus berjalan akan mengisi sejarah evolusi di antara cacing beludru dan artropoda modern, yang dalam hal jumlah dan keragamannya merupakan kelompok hewan terbesar di bumi.

Namun, ia belum yakin kaki keras pada kaktus berjalan diwariskan langsung pada hewan artropoda modern. "Sebagai contoh, bisa saja kaktus berjalan bukan relasi dekat artropoda modern dan kaki kerasnya telah berevolusi berkali-kali. Selain itu, mungkin juga tubuh artropoda primitif mengeras sebelum kakinya," kata Budd.

Oleh karena itu, Budd mengatakan masih ingin melihat bukti lebih lanjut pada materi-materi fosil yang akan datang. Fosil-fosil baru, terutama yang berasal dari China, telah membantu memperjelas sejarah evolusi artropoda. Selama lebih kurang satu dekade ini, para ilmuwan telah memiliki beberapa konsensus tentang sejarah itu.

EARTH HOUR - 26 MARET 2011

Tahukan Anda tentang Earth Hour? Perayaan Earth Hour merupakan sebuah gerakan global untuk mengajak individu, komunitas, praktisi bisnis, dan pemerintahan di seluruh dunia untuk mematikan lampu dan alat elektronik selama 1 jam.

Perayaan Earth Hour dilaksanakan setiap hari Sabtu minggu ketiga pada bulan Maret. Pelaksanaannya dilakukan mulai pukul 20.30-21.30 waktu setempat. Tahun ini, perayaan Earth Hour jatuh pada tanggal 26 Maret 2011.

Awalnya, perayaan ini adalah kampanye kolaborasi WWF Australia, Fairfax Media, dan Leo Burnett untuk kota Sydney, Australia. Tujuannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di kota itu sebanyak 5 persen pada 2007. Hingga tahun lalu, 128 negara telah terlibat perayaan ini.

Nyoman Iswarayoga, Director Climate and Energy Program WWF Indonesia, mengatakan, "Tahun ini ada yang berbeda dari perayaan Earth Hour. Jika tahun lalu hanya 60, maka tahun ini jadi 60+. Artinya, setelah 60 menit mematikan lampu selanjutnya menjadi gaya hidup."

"Kita mengharapkan, setelah perayaan Earth Hour orang bisa menyadari perlunya penghematan pemakaian energi. Orang bisa mengubah gaya hidupnya," lanjutnya dalam konferensi pers perayaan Earth Hour di Sheraton Media Hotel & Towers, Jakarta, Selasa (1/3/2011).

Untuk merangkul sebanyak mungkin individu, WWF Indonesia mengadakan road show di beberapa kota, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Road show bertujuan untuk merangkul komunitas agar bisa membantu menggerakkan masyarakat sekitar berpartisipasi dalam Earth Hour.

Setelah Earth Hour, Nyoman mengajak setiap orang untuk mengubah gaya hidup dari tindakan kecil. "Misalnya kita bisa tahu apakah lampu yang menyala di rumah atau kantor sebenarnya diperlukan atau tidak. Lalu kalau ke supermarket bisa bawa tas sendiri atau harus minta tas plastik," paparnya.

Perubahan gaya hidup, menurut dia, bisa dimulai di tingkat perusahaan ataupun rumah tangga. Budaya perusahaan yang diperkenalkan kepada karyawan bisa dibawa dan ditularkan karyawan ke tingkat rumah tangga dan lingkungan sekitarnya. Mekanisme sebaliknya pun bisa terjadi. Ayo rayakan 60+ Earth Hour!

HABITAT ORANG UTAN JAMBI HABIS


Sebanyak 180.000 hektar ruang hidup orangutan Sumatera di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi, habis dirambah masyarakat. Aktivitas ilegal tersebut masih terus berlangsung sehingga mengancam keberlanjutan konservasi satwa liar yang dilindungi itu.

Direktur Program Frankfurt Zoological Society (FZS)—yang menangani reintroduksi orangutan sumatera (Pongo abelii) di Jambi—Peter Pratje mengatakan, terjadi perusakan hutan cukup masif dalam delapan tahun terakhir.

Perambahan liar mengakibatkan rusaknya 180.000 hektar dari sekitar 360.000 hektar blok hutan dataran rendah di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Kawasan yang berstatus sebagai hutan produksi yang ditinggalkan para pemegang konsesinya merupakan ruang hidup orangutan yang dilepasliarkan untuk konservasi.

”Perambahan terus terjadi dan belum berhenti selama tidak ada penetapan aturan yang tegas dari pemerintah terhadap hutan-hutan itu,” ujar Peter, Selasa (1/3/2011).

Berdasarkan analisis citra tahun 1985, ekosistem Bukit Tigapuluh seluas 651.232 hektar masih memiliki tutupan hutan sebanyak 95 persen, tetapi pada 2005 menyusut menjadi 77 persen. Tahun 2010, tutupan hutan kawasan ini tersisa 49 persen.

Untuk menjamin keberlangsungan hidup orangutan sumatera, pemerintah perlu merestorasi hutan di ekosistem Bukit Tigapuluh. ”Ada sekitar 110.000 hektar hutan pada ekosistem Bukit Tigapuluh yang dapat diselamatkan dengan cara merestorasi ekosistem. Konversi hutan untuk tanaman industri hanya akan mengancam keberadaan orangutan,” tutur Peter.

Minggu (27/2), delapan orangutan sitaan dari Aceh dan Medan tiba di Jambi untuk menjalani reintroduksi atau pengenalan kembali hidup di alam liar.

Manajer Reintroduksi Orangutan FZS Julius Paolo Siregar mengatakan, semua orangutan hasil sitaan petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Medan akan dilatih dalam stasiun, sebelum dilepasliarkan pada musim berbuah pertengahan tahun ini. Satu di antaranya, Morgan, masih berusia 1,5 tahun. Sebanyak 129 orangutan sitaan petugas telah dilepas kembali ke hutan penyangga sekitar TNBT sejak tahun 2002.