Hallo Teman-teman Semua Apa Kabarnya? Kunjungi terus dan Tinggalkan Komentar membangun yia di Blog Aku! :) :)

IBUKU ALKOHOLIK


Ibu masih terbaring dalam buaian mimpi. Butuh waktu selama 5 jam untuk menyadarkannya kembali, dan keadaan ini tidak akan mampu diingatnya ketika membuka mata.

Aku ingin membencimu dengan istimewa Ibu. Saat ketidakmampuanmu jadi Ibu. saat di mana kau habiskan seluruh hidupmu untuk alkohol. Matamu yang merah setiap bangun tidur lengkap dengan kotoran muntahmu yang berserakan. Aku tidak mengeluh, karena aku tahu Ibu bahagia untuk semua itu. Teman-temanku juga teman Ibu, melihat Ibu tidak pernah mabuk. Mereka memuji kekuatan Ibu, keperkasaan Ibu melangkahi kodrat. Sayang, aku tidak berpikir demikian. Sesungguhnya aku tidak pernah melihat Ibu sadar. Kesadaran itu akan menyakitkanmu Ibu. Aku tidak ingin melukai Ibu, walau sesungguhnya aku tahu sisa-sisa luka itu menyeretmu dalam rapuh.

Hari ini aku sengaja bangun lebih pagi. Melihat Ibu lelap tertidur di kamar adik kecilku. Malam kemarin Ibu menangis lagi. Seperti biasa sisa anggur membasahi bibirnya. Ku perhatikan garis-garis tipis di wajah Ibu. kerutan di kening, pelipis, dan pipinya bertambah lagi. Aku tidak ingin Ibu menua, karena aku ingin mengajaknya melihat surga bersama. Cepat kubasuh wajah tirusnya dengan air suam-suam kuku. Setidaknya ini akan menghangatkan dia yang tengah kesepian. Aku memeluknya, menciumnya dan berbisik tentang cinta. Satu-satunya kesempatan aku melihat Ibu seperti Ibuku adalah saat seperti ini. Saat ia tak berdaya dalam lelap.

Ibu masih terbaring dalam buaian mimpi. Butuh waktu selama 5 jam untuk menyadarkannya kembali, dan keadaan ini tidak akan mampu diingatnya ketika membuka mata. Aku bisa membuatnya menjadi seperti yang kumau hari ini. Aku sering melihat bagaimana temanku didandani Ibunya ketika menginjak remaja. Tapi, Ibu tak pernah melakukannya untukku. Ia hanya bilang ‘Mengapa aku melahirkan wanita. Wanita tidak berhak hidup.’ Kata-kata yang menyakitkanku juga si bungsu ‘Anin’ yang baru berumur 14 tahun. Aku hanya membalas tatapan matanya yang kosong. Tidak kulihat kesungguhan yang ia ucapkan. Ia lalu memalingkan wajahnya, mengambil anggur yang jadi sahabat kepiluannya.

Mulai menyisir rambut ikalnya, jenis rambut yang menurun padaku. Tak kusangsikan, belahan rambut di sisi kiri kepala Ibu penuh uban. Kelam yang sekali lagi membuatku takut. Benarkah Ibu sudah tua??? Aku baru saja menghitung, Ibuku berumur 32 tahun. Segera kuambil semir, lalu menjalin rambut Ibu agar lebih rapi. Kuangkat sedikit dagunya, melihat kepedihan mendalam di pori-pori wajahnya. Lukisan gincu, bedak, cilak, membuatku sedikit tenang. ‘Ibu masih muda’, kataku.

Memasangkan giwang perak yang selalu ia simpan di dalam kotak merah, mempercantik telinganya. Ibuku berubah jelita. Sejak 12 tahun lalu Ibu seolah lupa bagaimana cara berdandan dan merawat diri. Tangisku pun mengusik Anin. Ia melihatku dengan cemas. Aku tahu ia ketakutan. ‘Mbak, siapa wanita di sampingmu? Wajahnya aneh sekali’, ungkapnya setengah sadar. ‘Dek, kamu benar tidak mengenalinya? Dia Maria dek, Ibu kita.’ Gadis kecilku Anin, begitu juga aku tidak pernah memanggil Ibu, kami lebih dekat dengan sapaan Maria. Di pikiran Anin, Maria itu adalah teman sebayanya, teman yang tertawa bersamanya, teman yang selalu terlibat pertengkaran kecil di rumah ini. Jemariku yang terbiasa kasar pernah merampas tawa Anin. Saat itu, aku melihat Ibu mengajarkan Anin menuangkan anggur-anggur ke gelas pesta. Hampir saja Anin mereguk dusta, seperti yang Ibu lakukan seharinya. Anin beranjak, mengamati setiap jengkal wajah Maria.Hari ini Anin mengakui bahwa Maria pantas menjadi Ibunya.

‘Aku membenci alkohol, tapi aku membutuhkannya’ itulah alasan Ibu yang tak pernah aku pahami. Aku berusaha untuk tidak bisu. Mengajaknya berbincang, berbicara tentang kebohongan dan ketidaksadarannya. Getir yang hampir jatuh di pelupuk mata, membuatku ingin berlari. Jika aku sanggup, aku ingin membunuh Ibu. Ibuku yang telah lama mati, Ibu yang tak punya jiwa lagi. Ia tertawa sambil menyusun gelas kristal. Ia sering mengajakku untuk minum, memperkenalkan anggur-anggur yang dibelinya. Berbagai jenis aggur merah yang pernah kuingat. Merlot, cabernet sauvignon, syrah shiraz, dan pinot noir itu punya ruangan tersendiri di samping dapur. Aku sengaja tidak memberi uang lagi pada Ibu, karena aku tahu ia hanya akan memenuhi koleksi anggur merah yang tak berarti dimataku.

Di bawah temaram Ibu berlagu sendu. Berbincang sendiri, tertawa cekikikan, bahkan menangis pikuk bersama anggur-anggur kesayangannya. Langkahku tertegun menghampiri Ibu. mengajaknya bersulang bersama, agar ia merasa tak sendiri. Kami terlibat perbincangan kecil. ‘Aku bertemu pria dalam mimpiku, Karin’, dialog pembuka yang sudah aku hafal betul. Benarkah Ibu hanya bermimpi tentang lelaki? Tidak adakah ruang yang mengetuk nuraninya untuk menjadi Ibu yang Aku dan Anin butuhkan? Kali ini kubiarkan dia menyelesaikan kalimatnya, sedangkan aku mereguk anggur di gelasnya, tanpa ku pedulikan anggur di gelasku yang telah ia tuang. Ia bangkit lalu menamparku. ‘Hentikan merebut punyaku’, ujar Ibu. Astaga…kali pertama aku mendengar katanya penuh emosi. Inilah alam sadar Ibu yang kutunggu. ‘Apa yang kamu miliki. Kamu tidak memiliki apapun di dunia ini Maria’ pancingku bersambut. Senja yang mengeja kisah kelam Ibu akhirnya terkuak.

Wanita cerdas bernama Maria itu, tidak pernah bermimpi menjadi Ibu. Baginya pernikahan adalah penindasan. Itu diyakininya sebagai penghambat mimpinya menjadi seniman. Kini, hanya sisa gelap di mimpinya itu. Ku genggam tangannya yang gemetar, membantunya menuangkan anggur, hingga ia melanjutkan ceritanya. Pernikahan Ibu adalah sebuah kesalahan. Ia mengetahui bangunnya dari tidur telah menjadi seorang istri saat berusia 19 tahun. Kalimat yang diujarkan Ibu penuh nada galau. Depresi ringan yang ia alami membuatnya bergantung pada anggur-anggur itu. Setelah meminumnya, Ibu serasa punya semangat lagi menjalin bahtera rumah tangga dengan bahagia sampai akhirnya aku lahir, 12 Januari 1988.

Ibu dihadapkan lagi pada dunia baru, dunia mengasuh anak. Ibu mengakui ketidakmampuannya, sehingga ia sering menelantarkanku dan lebih memilih bercinta dengan anggurnya. Kebohongan telah dirajut. Ibu berbohong, tidak pernah menyentuh alkohol pada Ayah, juga keluarganya. Hingga Anin terlahir, kebohongan Ibu masih tidak ada yang mengusik. Aku paham mengapa Ibu memilih lari bersama anggurnya, karena Ibu merasa asing, sendiri setelah aku, Anin, juga Ayah pergi meninggalkannya oleh kesibukan kami masing-masing. Ibu minum setiap hari dan tidak bisa menghentikannya. Ia juga berbohong pada dirinya sendiri, merasa baik-baik saja di tengah deru yang menggunung. Dalam sadarnya ia mengakui bahwa keterlambatannya datang saat aku diwisuda, saat Anin mendapat penghargaan anak berprestasi, dan beberapa kisah penting lainnya adalah karena ia menunda waktunya untuk minum, berkencan bersama anggurnya. Sangat wajar jika aku membencinya. Jika aku berpaling saat kata maaf itu sudah jenuh menyapaku.

Kesehatan Ibu yang makin lemah, membuat Ayah mengerti seperti apa wanita yang dinikahinya itu. Ayah tidak menerima kekurangan Ibu yang setiap kali menangis sehabis meraup nikmatnya anggur merah dengan bau mulut yang dibenci Ayah. Kini aku paham masalah kronis yang memicu pertengkaran hebat di rumah kami. Ibu yang tak mau berubah, Ayah yang jenuh, dan anak-anak yang tak peduli.

Rupa malam menghadirkan kembali memori indah bersama Ayah dua tahun lalu. Seandainya Ibuku bukan alkoholik, Ayah pasti masih di sini menyajikan cerita-cerita menarik seputar orang-orang hebat yang dikenalnya. Ayah yang telah memberi cinta yang begitu besar. Memberi segalanya yang Ibu butuhkan, namun mengapa Ayah tak mampu melindungi Ibu dari ketakutan ini? siapa sesungguhnya Ibu?

Kutuangkan lagi anggur merah hingga tetesannya kembali mengurai air mata Ibu. Ia melanjutkan ceritanya. Dalam mabuknya, Ibu mengalami halusinasi dan mendengar suara-suara yang tampaknya menuduh dan mengancam hidup Ibu. Sulit kubayangkan teror yang Ibu hadapi. Sepertinya sangat menyiksa, dan Ibu ketakutan. Aku pernah melihat Ibu minum obat-obatan. Dalihnya, ia sedang tidak enak badan. Setelah aku mengetahui kecanduan Ibu, aku paham halusinasi alkohol bisa berlangsung berhari-hari dan dapat dikendalikan dengan obat-obatan anti-psikosa (seperti klorpromazin atau tioridazin). Ibuku sungguh pandai menipu. Aku tak sanggup memahaminya. 2 jam kami berbincang membuatnya letih dan akhirnya lelap, membiarkan aku terpaku pada tanya yang tak kunjung bertemu jawabnya. Kucium tubuhnya penuh aroma anggur dan mengucap selamat malam.

Sumber : Kompas Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar