Hallo Teman-teman Semua Apa Kabarnya? Kunjungi terus dan Tinggalkan Komentar membangun yia di Blog Aku! :) :)

KISAH KATAK : "SANG PEREMPUAN DAN KELINCINYA"



Setiap malam ia selalu bermimpi kalau dirinya adalah seekor kelinci putih yang lucu, yang mampu melompat ke sana-ke mari di sebuah halaman pekarangan nan luas, dan memiliki seorang majikan perempuan nan baik hati yang selalu setia merawat dan menjaganya. Setiap malam pula ia selalu memanjatkan doa kepada yang maha kuasa agar keesokan paginya ia sudah memiliki telinga yang panjang, bulu putih yang halus menyerupai bola kapas, hidung mungil kemerahan, dan sorot mata yang memancarkan kanak-kanak.

Namun tempat ia berpijak bukanlah di sebuah halaman pekarangan nan luas, melainkan berkubang di lumpur kotor berwarna pekat kehitaman yang kerap menguarkan aroma busuk. Ia juga bukan seekor kelinci putih yang manis dengan kedua telinga yang panjang, hidung mungil kemerahan, dan sorot mata yang kekanak-kanakan. Ia hanya seekor katak buruk rupa yang setiap malamnya hanya bernyanyi dengan nada sumbang di dalam kubangan lumpur demi membunuh rasa sepi yang dipeluknya tiap malam.

Setiap sore saat senja menyepuhkan warna kemerahan di kaki langit, sang katak tidak pernah lupa untuk keluar dari kubangan lumpur guna melihat wajah seorang perempuan dengan seekor kelinci dari balik luar pagar pekarangan. Dengan saksama kedua bola mata bulatnya memerhatikan setiap detail bagian dimana saat perempuan itu menggendong kelinci berwarna putih dengan kedua tangan rampingnya. Ia juga memerhatikan dengan saksama bagaimana jemari lentik perempuan itu menyisir setiap bagian bulu kelinci dan membelainya dengan lembut penuh keanggunan.

Saat senja sudah hilang tak berbekas di kaki langit dan berganti dengan pekat malam, Sang katak bergegas pergi meninggalkan tempat itu dan kembali ke kubangan lumpur tempat tinggalnya guna menghindari serangan-serangan dari banyak ular yang gemar memangsa kaumnya bila malam sudah menjelang. Hal seperti ini terus dilakukan oleh sang katak sehingga menjadi sebuah kebiasaan dalam kesehariannya tiap sore.

Sang Katak buruk rupa tidak tahu siapa nama sang perempuan dengan seekor kelincinya itu, namun di satu senja pernah saat ia memerhatikan sang perempuan sedang asyik bercakap-cakap dengan kelinci itu dari balik luar pagar pekarangan, ia mendengar suara seorang perempuan lain dari dalam rumah yang memanggil nama Perempuan itu dengan nada cukup keras. Nama itu kini terdengar begitu abadi bagi telinga sang katak, nama itu terdengar bertalu-talu di dalam pikirannya setiap hari, bahkan nama itu kini selalu ia nyanyikan dengan nada sumbang di dalam kubangan lumpur tiap malam. Nama itu adalah Alina.

Setiap sore sang katak selalu menanti kedatangan perempuan itu di halaman pekarangan belakang dengan harap-harap cemas, sementara sang katak bersembunyi di balik luar pagar pekarangan. Kepala mungil dan kedua bola matanya yang bulat sesekali mendongak dari sela-sela rerumputan. Di halaman pekarangan itu sudah menunggu sang kelinci berwarna putih yang acap kali melompat-lompat menjelajahi setiap sudut halaman pekarangan,mengendus-endus rerumputan yang kehijauan, sesekali sang kelinci masuk ke kandang guna mengunyah wortel dengan kedua giginya yang mungil sebelum kembali melompat-lompat.

Sang katak selalu mengartikan kalau setiap lompatan yang dilakukan oleh sang kelinci bisa jadi merupakan sebuah bentuk ekspresi kebahagiaan sang kelinci ketika menunggu sang majikan. Lama sang katak bersolilokui dari balik luar pagar halaman, sampai pada akhirnya pintu berwarna keputihan itu mengeluarkan suara deritan pertanda dibuka dari arah dalam. Seketika semua lamunan sang katak menjadi luluh lantak.

Ia melihat bagaimana sang perempuan dengan gelombang rambut kehitaman yang menyala tengah menghela langkah kaki dengan sedikit terburu-buru pertanda tak sabar untuk segera memeluk binatang kesayangannya. Sementara sang kelinci tidak ketinggalan melompat-lompat dengan lincah mendekati perempuan itu dan berakhir dengan jatuh dipelukan sang majikan. Kedua bola mata sang katak untuk kesekian kalinya tak jemu-jemu memandang pemandangan sang perempuan dengan seekor kelincinya hingga puluhan kali, ratusan kali, bahkan ribuan kali. Dan ketika senja sudah mulai terlihat redup, dengan sigap ia kembali ke kubangan lumpur tempatnya bernaung.

Senyum sang perempuan selalu terbayang-bayang di tempurung kepala sang katak, Pikirannya ibarat sebuah film yang terus menerus memutar kejadian saat-saat dimana senyum sang Perempuan itu tengah merekah ketika sedang menggendong kelinci mungil miliknya, Pikirannya juga terus menerus memutar adegan dimana sang perempuan tengah mengelus-elus dengan lembut helai demi helai bulu sang kelinci. Pernah suatu malam sang katak bermimpi kalau mendadak ia menjadi sang kelinci mungil berbulu putih yang melompat-lompat di halaman pekarangan rumah.

Ia tengah menantikan kepulangan sang majikan, pintu berwarna keputihan itu terbuka dan sang perempuan beringsut memeluk dan menggendongnya dengan lembut. Ia dapat merasakan bagaimana jemari lentik sang perempuan itu membelai setiap helai bulu putih halusnya, ia juga dapat merasakan bagaimana telunjuk sang perempuan mengelus-ngelus hidungnya yang kemerahan dengan canda tawa. Sesaat kedua matanya menangkap gambar seekor katak yang sedang mengintip dari balik luar pagar pekarangan, sekejap kemudian raganya sontak berpindah dari kelinci yang sedang berada di pangkuan sang perempuan melesak masuk ke dalam raga katak buruk rupa yang tengah berada di balik luar pagar pekarangan. Dan mimpi itu adalah mimpi terburuk yang pernah dialami sang katak malam itu.

DI satu malam yang hening. Sang katak sedang menimbang-nimbang sebuah rencana kalau di satu senja ia akan masuk ke dalam halaman pekarangan tanpa sepengatahuan sang kelinci. Ia ingin sesekali menampakkan dirinya kepada sang perempuan, Ia tidak ingin terus-menerus hanya diam teronggok dari balik luar pagar pekarangan sementara kedua matanya tak henti-henti menatap keindahan sang perempuan. Setelah lama berpikir. Setelah lama menimbang-nimbang. Akhirnya Sang katak sampai kepada keputusan bahwa ia akan menampakkan dirinya kepada sang perempuan di halaman pekarangan esok sore.

Ia ingin merasakan bagaimana dirinya dapat dipeluk, digendong, dan dibelai oleh sang perempuan, sang katak merasakan bahwa dirinya juga layak dijadikan binatang peliharaan kesayangan kedua oleh sang perempuan, toh ia juga bisa melompat-lompat dengan lincah seperti yang dilakukan sang kelinci, bahkan bila sang perempuan telah resmi menjadikannya sebagai binatang kesayangan, sang perempuan tidak perlu repot-repot untuk memberinya makan dengan wortel , cah kakung, brokoli atau segala macam sayuran. Cukup letakkan saja dirinya di pekarangan, maka ia akan melahap semua nyamuk taman yang beterbangan guna menghidupi dirinya, ia juga tak perlu repot-repot dibuatkan kandang seperti sang kelinci, ia akan terjaga sepanjang malam untuk untuk sekadar mengumandangkan lagu-lagu cinta dengan suara sumbangnya. Lagu cinta tentang seekor katak yang jatuh hati dengan seorang anak perempuan manusia.

Senja sudah mulai menorehkan warna kemerahan di cakrawala. Meninggalkan siluet sejumlah burung-burung yang sedang terbang secara berombongan seraya membentuk formasi huruf “v”, sang katak dengan sigap keluar dari kubangan lumpur tempat dimana pikirannya sudah menghabiskan banyak energi untuk menimbang-nimbang dan memikirkan rencana besar ini. Namun bagaimanapun tekadnya sudah bulat, sore kali ini ia memutuskan untuk menampakkan dirinya kepada sang perempuan di halaman pekarangan.

Ia yakin bila ia melompat-lompat dengan lincah sama seperti yang dilakukan sang kelinci saat menjelang kedatangan sang perempuan, maka sang perempuan pastilah akan memeluk dirinya sama seperti sang perempuan memeluk sang kelinci. Bila ia melompat-lompat sembari beringsut mendekat kepada sang perempuan pastilah sang perempuan akan membuka lebar-lebar tangannya, lalu sang katak akan jatuh dalam pelukan sang perempuan, dan ia akan digendong, dibelai, oleh jemari-jemari indah sang perempuan, bahkan sang katak tidak sabar kalau sang perempuan akan memainkan hidung sang katak yang kehijauan dengan jari telunjuk mungilnya sama sebagaimana sang perempuan kerap menorehkan jari telunjuknya ke hidung kemerahan sang kelinci.

Kedua bola mata sang katak tengah memindai setiap sudut bagian pekarangan dari balik luar pagar pekarangan. Seperti biasa sang kelinci masih melompat-lompat dengan lincah kesana-kemari menjelajahi pekarangan. Disaat sang kelinci tengah berada jauh dari jangkauan tempatnya bersembunyi, dengan sigap sang katak melompat masuk melalui celah pagar besi yang cukup luas untuk dilalui oleh badannya yang kecil. Sang katak melompat dan melesak masuk ke dalam sebuah pot tanaman yang berada tepat di samping pintu berwarna keputihan itu. Cukup lama ia bersembunyi di dalam pot demi menunggu sang perempuan keluar dari balik pintu keputihan itu.

Tak sampai setengah jam, pintu berwarna keputihan itu pada akhirnya terbuka, menimbulkan derit suara yang menusuk telinga sang katak. Dengan cekatan sang katak memutuskan melompat keluar dari dalam pot dan melakukan lompatan-lompatan yang nyaris sama seperti yang dilakukan oleh sang kelinci saat kedatangan sang perempuan. Namun sial, di saat sang katak tengah melakukan lompatan-lompatan yang cukup tinggi, ternyata yang keluar dari pintu keputihan itu bukan sang perempuan yang selama ini ia kenal. Perempuan kali ini terlihat jauh lebih tua, gemuk, dan berperawakan seperti nenek sihir.

Sang perempuan tua itu pun secara spontan memekik bak orang kesurupan sembari menutup kembali pintu berwarna keputihan tersebut dengan teramat keras dan masuk kembali ke dalam. sementara sang katak menghentikan lompatannya. Ia cukup kaget mendengar suara perempuan tua itu. Ya, suara itu. Suara itu seperti suara yang selama ini ia dengar dari arah dalam pintu. Suara yang selalu memanggil nama sang perempuan dengan amat keras.

Sang katak masih menemukan sedikit harapan saat pintu keputihan tersebut kembali terbuka untuk kali keduanya, namun lagi-lagi perempuan tua, gemuk, dan berperawakan seperti nenek sihir itu yang menampakkan diri! hanya Kali ini kondisinya jauh lebih buruk dari sebelumnya, kali ini ia tengah membawa Sapu! Ya, sapu yang cukup panjang dengan ijuk yang cukup lebar pada ujungnya! Sang perempuan tua tersebut mengayunkan sapunya tepat ke arah sang katak berada dengan teramat keras?seperti ada niat untuk melumatkan sang katak seketika. Beruntung dengan insting yang cepat dan gerakan cukup tangkas sang katak berhasil menghindar dari serangan sapu tersebut dan segera melakukan lompatan yang cepat untuk keluar dari pekarangan. Sang katak pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke kubangan lumpur. Ia kembali dengan membawa hati yang tengah bermuram durja.

Senja esoknya, sang katak memutuskan untuk tidak menyerah akibat kejadian yang hampir membuatnya tewas di ujung sapu sang perempuan tua berparas nenek sihir itu. Kali ini ia meyakinkan dirinya kalau ia tidak akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Yah, tidak untuk kedua kali, sebab hanya keledai yang melakukan kesalahan lebih dari dua kali. Kali ini ia tidak akan keluar dari pot sebelum memastikan bahwa yang keluar dari pintu keputihan adalah sang perempuan yang amat dikaguminya itu, bukan seorang perempuan tua-gemuk berperawakan nenek sihir yang siap melumatnya dengan ujung sapu!

Untuk kedua kalinya sang katak merencanakan masuk ke halaman pekarangan, dan bersembunyi di pot yang berada tepat di samping pintu berwarna keputihan tersebut. Seperti hari kemarin, kali ini ia tidak mengalami kesulitan sama sekali untuk masuk ke halaman pekarangan melalu salah satu celah pagar. melompat melesak masuk ke dalam pot tanpa diketahui oleh sang kelinci yang sepertinya sedang asyik mengunyah wortel di dalam kandang. Di dalam pot yang rimbun dan sedikit lembab ia berusaha untuk menahan jantungnya yang hampir mencuat keluar. Entah karena rasa gugup atau rasa takut.

Selang tiga puluh menit kemudian, pintu berwarna keputihan itu terbuka dan menampakkan sang perempuan yang selama ini ia kagumi tengah menghela kaki ,beringsut mendekati sang kelinci. Sang katak tidak serta merta langsung melompat menghampiri sang perempuan, ia dengan kedua bola mata bulatnya dengan teliti memindai seluruh sudut ruang pekarangan?guna mencari tahu apakah perempuan tua berperawakan nenek sihir itu sedang berada di sekitar atau tidak. Setelah dirasanya aman.

Ia segera melompat dari dalam pot dan mendekati sang perempuan yang kini tengah duduk di tengah-tengah pekarangan bersama sang kelinci. Sang katak terus melompat dengan tinggi. Kedua bola matanya bersitatap dengan kedua bola mata sang perempuan yang teramat indah itu. Dan ah, itu dia senyum yang merekah itu mengembang dengan sempurna di wajah sang perempuan, mungkin sebagai pertanda kalau sang perempuan juga menyukai dirinya. Sang katak terus melompat dan melompat ke arah sang perempuan yang kini sudah mulai membuka kedua tangannya lebar-lebar. Ia melompat dan terus melompat. Jarak antara mereka sudah sedemikian dekat. Kedua tangan ramping milik sang perempuan sudah terasa semakin nyata di kedua bola matanya yang bulat, kali ini ia bahkan bisa mencium aroma sang perempuan yang dapat membiusnya dengan instan. Satu lompatan lagi maka ia akan mendarat di pelukan sang perempuan.

Dan pada akhirnya ia mendarat di pelukan sang perempuan dengan sempurna. Ia begitu amat senang, ia tidak percaya kalau impiannya selama ini untuk dekat dengan sang perempuan pada akhirnya dapat terwujudkan juga.

Sang perempuan meletakkan sang katak di dalam sebuah kotak kardus kecokelatan dengan lembut. Sang katak tidak tahu kenapa ia harus diletakkan dalam sebuah kardus kecokelatan, karena ia ingin bermain dengan sang perempuan, sama halnya seperti sang kelinci yang selalu setia menjadi teman bermain sang perempuan, ia pun merasa kalau ia dapat menjadi teman yang setia bagi sang perempuan.

Sang katak mengharapkan kalau dirinya juga akan dipeluk, dibelai, dan hidung mungilnya yang kehijauan akan ditorehkan oleh jari telunjuk sang perempuan. Namun pada kenyataannya sang perempuan malah pergi meninggalkannya sendiri di sebuah kardus kecokelatan. Sang katak terpekur dengan heran dan sedikit gelisah. Namun ia masih menaruh pada sedikit harapan kalau sebentar lagi sang perempuan akan kembali dan mengeluarkannya dari dalam kardus kecokelatan ini dan mengajaknya bermain di pekarangan.

Kedua bola matanya menari-nari setelah dilihat kembalinya sang perempuan, ia yakin dan teramat yakin kalau sang perempuan kini kembali untuk mengeluarkannya dari dalam kardus kecokelatan, dan berniat untuk menggendongnya, membelainya, dan memainkan hidung mungil kehijauannya dengan jari telunjuknya. Namun apa yang dilihat oleh sang katak begitu lain. Sesuatu yang dilihatnya kini teramat horor dan terasa mencekik lehernya. Sang perempuan yang dikaguminya itu kini terlihat membawa sapu dengan ujung ijuk yang cukup besar. Ya, sebuah sapu yang pernah digunakan oleh sang perempuan tua berperawakan nenek sihir yang kemarin untuk melumat dirinya.

Sumber : Kompas Indonesia

LELAKI BERMATA KABUT



Pertama kali aku melihatnya di sebuah pameran lukisan tunggal di sebuah galeri di Cigadung Raya. Karena tak mengenal penulisnya, dan karena aku hanya datang atas undangan sorang teman, tak banyak yang bisa kunikmati selain memandangi wajah orang-orang.

Barangkali sama seperti aku yang sama sekali tak mengerti arti gambar-gambar yang diguratkan di atas kanvas, ia pun hanya celingukan. Wajahnya muram seperti kehilangan sesuatu, atau seseorang?

Lukisan, bagiku selalu mendatangkan aura sakit hati. Bukan, bukan karena aku pernah menjadi objek lukisan atau pernah dikhianati seorang pelukis. Alasan-alasan melankolis seperti itu sama sekali tidak ada dalam sejarah perjalanan cintaku. Barangkali karena dulu aku pernah terjebak di FSRD ITB namun tak jua menemukan apa yang kucari selain jemari yang belepotan cat air dan mabuk krayon, sekarang aku lebih menikmati mabuk kata-kata dan metafora; dunia kepenulisan.

Lelaki itu, memandangiku yang tengah berdiri di bawah sebuah lukisan abstrak dengan mulut menganga , ia tersenyum lalu mendekat. “Lukisan yang indah, bukan?” sapanya. “Barangkali iya,” bahuku bergedik. “Excuse me?” kedengarannya ia tak setuju. “Anda bertanya pada mata orang awam. Saya hanya bisa menikmati gradasi warna dan mengagumi bagaimana semua cat air itu ditumpahkan di atas kanvas tanpa bisa memahami apa maknanya. Jadi, barangkali lukisan ini memang indah, tapi saya tak pernah tahu bedanya bukan?” “Apa saya pernah melihat Anda sebelum ini?” mulailah ia berbasa-basi.

Aku meneliti wajahnya. Muram, meski seutas senyum bertali di bibirnya. “Tidak,” jawabku tanpa menggelengkan kepala. Aku tak yakin, rongga hatiku bersuara. “Ah, sayang sekali. Padahal sejak tadi saya merasa kalau kita pernah dekat di kehidupan lampau,” nadanya kecewa yang tak dibuat-dibuat. “Barangkali di kehidupan lampau saya ini setangkai anggrek bulan dan Anda adalah pot tanah liatnya,” kuharap ia tahu bahwa aku sedang bercanda. Tapi ia termenung sebentar, lalu katanya. “Tidak, lebih dekat daripada itu.” “Bagaimana kalau mawar dengan durinya? Anda yang mawar, saya yang duri,” tawarku, masih dengan kelakar.

Ia seperti tak sadar bahwa konsep reinkarnasi yang ditawarkannya adalah omong kosong bagiku. Mati satu kali, hidup pun cukup satu kali. “Saya masih yakin bahwa dulu kita sepasang kekasih,” ia bertutur pelan. Jemarinya meremas pamflet yang tadi dibagikan di pintu masuk. Mataku terpaku pada jemarinya. Satu, dua, tiga, empat, tiba-tiba otakku menghitung. Jemarinya hanya berjumlah enam. Tiga di kiri, tiga di kanan. Keduanya tanpa jari manis dan kelingking. “Cacat sejak lahir,” jelasnya tanpa kuminta. “Ah, saya kira saya tak perlu minta maaf kalau begitu? Tapi sungguh, saya tak bermaksud lancang.”

Matanya yang sipit kian menyipit ketika ia tertawa. “Ibu-ibu jaman dulu selalu kurang gizi,” katanya di sela tawa. “Katanya beliau kekurangan asam folat ketika mengandung saya,” ia mengacungkan kedua tangannya. Aku hanya tersenyum, mengangguk. “Tapi saya harus minta maaf atas kata-kata saya tadi. Mmmhh… mengenai kita sebagai sepasang kekasih di kehidupan lampau. Meski saya memang tak berbohong tentang itu.” “Itu kan hanya dejavu-nya Anda. Saya tak percaya dengan reinkarnasi dan semacamnya.” “Anda penulis?” tanyanya. Aku terdiam sebentar. “Iya,” jawabku singkat. “Kekasih saya itu juga seorang penulis,” matanya mengawang merayapi dinding-dinding galeri. Ada kepedihan dan kesepian yang tak bisa dilukiskan oleh cat air sebanyak apapun. Tubuhku seketika tersedot ke dalam pusaran kabut, mendarat di sebuah maze labirin tak berujung. Aku tak bisa keluar; terperangkap di dalam matanya.

Ketika kabut tersingkap, aku tengah berada di sebuah ranjang rumah sakit. Bau obat, selang-selang berseliweran berujung jarum dirajamkan di tanganku, tabung oksigen, dan segala macam alat medis yang lampunya berkerlap-kerlip.

Lelaki itu, duduk di samping ranjang, menggenggam sebuah buku tebal yang kukira Al-Quran atau bibel. Tapi ternyata itu sebuah buku puisi.

Matanya muram berpendar, berkaca, bersungai. Aliran deras dari matanya menitik satu demi satu lalu kian deras seiring suara bip bip dan lantunan isak. Manusia manapun akan terenyuh melihat pemandangan itu. Setiap orang, kecuali mungkin aku.

Mata perempuan yang tengah berbaring itu terpejam, keseluruhan wajahnya diam. Namun tak dapat disangkal bahwa wajahnya, setiap guratannya, adalah replika wajahku. Dan aku, tiba-tiba sudah berdiri di ujung ranjang, memandangi mereka berdua, tapi tak jua menemukan korelasi antara perempuan yang persis diriku dan lelaki yang mengaku kekasihku itu.

Pelan-pelan, kabut turun kembali. Mula-mula tipis lalu bergumul-gumul menutupi setiap partikel udara. Terasa menyesakkan. Aku kembali berada di galeri, limbung dan nyaris pingsan. “Anda baik-baik saja?” ia menahan tubuhku.

Suaranya bagai gema yang jauh ketika aku dibimbingnya duduk di bangku teras, keluar dari galeri yang mulai penuh. “Apa itu tadi?” nafasku memburu. “Apanya yang apa?” ia bertanya balik dengan nada bingung. “Saya… siapa nama kekasih Anda?” pertanyaanku berganti. “Ishtar,” tukasnya. “Anda pasti bercanda,” aku mulai panik. “Tidak, saya serius.”

Kurogoh dompet dan mengangsurkan KTP, ia menyambutnya tanpa berkata apa-apa. Matanya menelusuri setiap huruf yang tercetak di sana. “Ah, bahkan Anda dan dia punya nama yang sama,” gumamnya, sedikit gembira. “Lalu apa yang terjadi dengannya?” “Saya lupa. Sudah saya bilang kalau itu terjadi di kehidupan yang lalu, bukan?” “Ide Anda itu terlalu utopis,” aku kesal dan beranjak. “Ishtar!” panggilnya.

Aku diam sejenak tanpa menoleh. “Bagaimana kalau itu terjadi di masa yang akan datang?” ia mengejarku. “Dan berakhir koma di rumah sakit? Tidak, terima kasih,” aku mulai berjalan.

Namun, sebelum aku terlalu jauh, kabut kembali turun. Tidak lagi tipis melainkan bergerombol, mendesakku, memboyong tubuhku kembali ke dalam labirin hitam pekat. Dingin dan gigil. Aku berteriak minta tolong, tapi suaraku ditelan bisu. Galeri menghilang. Lukisan-lukisan menghilang. Orang-orang menghilang. Yang ada hanya mata lelaki itu. Dan kabut. * Bandung, 14 Agustus 2010 Setelah membaca kumcer Cecep Syamsul Hari

Sumber : Kompas Indonesia

KETIKA KERTAS MEMANGGIL



Aku berkeliling kota. Aku menyusuri jalanan dengan melangkahkan kakiku perlahan. Satu dua langkah, sungguh membuatku terlepas dari rutinitas sehari-hari. Hari-hari di kantor yang melelahkan. Sarat dengan tugas dan kesibukan. Aku seperti hewan yang dikurung dalam kandang. Kantor tempatku bekerja, terkadang kupandang perlahan berubah menjadi sel. Dan rantai-rantai mulai menggerayangi bagian tubuhku.

Aku sungguh bersyukur dapat lepas dari kesibukan-kesibukan ini. Udara di taman yang bersih, pemandangan orang yang berjalan lalu lalang, kumpulan merpati yang sibuk mematuki remahan roti membuatku tenang. Aku lebih merasa menjadi seorang manusia, setidaknya aku tidak terbebani tugas kantor. Ya, tugas yang membuat pikiranku selalu fokus di depan komputer dan lembar kerja. Padahal aku paling benci dengan hal-hal yang membelenggu, seperti rutinitasku.

Sejak aku berhenti menulis, aku memang memutuskan untuk bekerja di kantor. Hidupku menjadi normal layaknya kegiatan orang-orang kebanyakan. Harus kuakui, ketika aku masih menulis, ritme hidupku sangat tidak teratur. Terkadang semalaman aku tak tidur demi sebuah cerita yang akan kupamerkan pada kawan-kawan penulis yang lain.

“Ah, ceritamu terlalu biasa. Aku tak melihat kedalaman pada tulisanmu,” timpal Si A. “Mungkin kau harus tidur lebih malam lagi agar malaikat menampakkan dirinya di depanmu. Atau malah mungkin sesosok setan,” ujar Si B sembari menghisap sebatang rokok putih yang dari tadi tidak lepas di antara jari tengah dan telunjuknya. “Ya, ya, begitu juga bisa!” kata Si A yang masih serius membaca karya-karyaku.

Si A dan Si B. Dua teman penulis yang selalu memberikan kritik pada karya-karyaku. Seperti halnya aku, hidup mereka juga sama tidak teraturnya dengan diriku. Si A selalu asyik dengan rambut panjangnya. Kaos yang terlihat lusuh dan celana jeans dengan sobekan pada bagian lutut.

Demikian pula Si B. Sebatang rokok putih tak pernah lepas dari jemarinya. Sambung menyambung. Mungkin dari hisapan rokok itulah inspirasi selalu mengalir lantas terwujud dalam cerita yang acapkali terpampang di media. Jika sudah begitu, aku juga turut terciprat rejeki. Mereka selalu menraktirku. Minimal secangkir kopi untuk karya yang termuat di media. Tentu dengan disertai diskusi panjang mengenai karya mereka di media. Aku acapkali hanya tersenyum kecut ketika mereka saling bercerita.

Dibanding mereka berdua, aku relatif kurang beruntung. Memang aku juga pernah memuatkan karyaku di media. Namun dibanding mereka berdua, karya-karyaku lebih jarang menembus media. Padahal aku merasa telah mencuri banyak ilmu dari mereka berdua. Pun sering pula aku membaca karya para pengarang dunia. Setebal apapun itu, pasti dapat aku habiskan. Rasanya karya para pengarang turut menjadi bagian dari hidupku.

Akhirnya aku tak tahan juga. Aku mengutarakan keinginanku untuk berhenti menulis pada mereka berdua. Sepertinya otakku terlalu lelah untuk diajak berimajinasi terbang ke mana-mana.

“Mengapa bisa secepat itu? Hidupmu masih panjang Bung!” Si A berkata dan menatapku dalam-dalam. “Coba kau baca karya-karyamu yang tak termuat di media. Masih dapat kau perbaiki,” ujarnya lagi. “Mungkin kau kurang sabar. Atau malah memang tak pernah membaca lagi?” sahut Si B yang masih meniup secangkir kopi panas di tangan kanannya. “Apa sudah kau pikirkan keputusanmu?” Tanya Si A sambil mengikat rambut panjangnya. “Sudah kawan. Sudah aku pikirkan. Mungkin otakku sudah tak sanggup bila harus kubawa terbang,” jawabku pada mereka.

Mereka menatapku dalam. Hening pun terjadi di warung kopi. Hembusan asap rokok serta aroma kopi silih berganti mempermainkan pikiran kami. Aku pun juga berusaha menatap mereka. Teman-teman yang sebentar lagi harus kutinggalkan.

“Suatu saat, lembaran-lembaran kertas akan memanggilmu kembali,” kata Si B yang tiba-tiba memecah keheningan di antara kami bertiga.

Di bangku taman ini, pikiranku mengawang pada kejadian dua tahun lalu. Aku tidak tahu bagaimana kabar Si A dan Si B saat ini. Bila mereka terus menulis, mereka pasti telah menjadi pengarang terkenal dan diberi sanjungan di mana pun mereka berada. Namun mungkin juga mereka menyerah pada nasib sepertiku. Lalu mereka tenggelam di dunia kerja. Sama sepertiku, mereka akan terkubur dalam rutinitas.

“Lembaran-lembaran kertas akan memanggilmu kembali,” suara Si B tiba-tiba membubarkan lamunanku. Nampaknya aku harus segera angkat kaki dari taman. Mendung mulai menggelayut. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Mungkin juga lembaran-lembaran kertas telah menunggu. Akan tetapi bukan untuk mengarang tentunya, melainkan tumpukan tugas yang sudah dua hari ini aku acuhkan. Lembar-lembar yang sebisa mungkin aku hindari. *** Malam ini tugas kantor kembali harus kukerjakan. Ketenangan di taman hanya berlaku selama beberapa jam saja. Tumpukan nota bon harus segera kupindah ke dalam lembar perincian. Angka-angka yang terus menghantuiku. Terkadang angka-angka itu menerorku. Mereka menjelma sesosok pemburu yang siap mengulitiku. Aku penat. Aku merasa penat sekali.

Tiba-tiba tatapanku tertuju pada selembar kertas putih.kertas kosong tanpa ada noda tinta setitik pun di atasnya. Aku merasa kepenatan ini sedikit terkurangi. Kertas kosong. Ada ruang hampa di dalamnya yang dapat aku masuki. Aku bisa bermain-main di atasnya. Tapi apa jemari ini akan bergerak?

“Apakah aku masih mampu? Bukankah aku sudah tidak pernah mengguratkan sepatah kata pun di kertas kosong?” pikirku.

Segera kutepis pikiran itu. aku harus lekas menyelesaikan tugas-tugas kantor. Akan tetapi kertas kosong itu terus mengawasiku. Kamar kerjaku seketika senyap. Hanya terdengar bunyi kipas angin. Bunyi yang menambah senyap suasana malam ini. Aku seolah menghadapi dua musuh sekaligus. Kertas kosong yang menatapku hampa serta angka-angka yang setiap saat siap menyergapku.

“Apa masih bisa? Apa masih harus kulakukan lagi?”

Pikiran itu lantas menggangguku. Kepalaku mendadak pening. Angka-angka kulihat seakan bergerak dan berputar. Badai angka-angka yang mengurung dan siap menyedot ke dalam lembar perincian. Ya, aku memang kasir yang agak payah.

Dua tahun sudah aku bekerja sebagai kasir. Dan bosku tidak jarang ngomel padaku. Ia mengeluh pada beberapa kesalahanku. Kesalahan remeh memang namun member efek bagi transaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Beruntung bos masih cukup baik padaku. Aku tidak dikeluarkan seperti beberapa staf yang lain. Tanganku seperti minta digerakkan. “Tidak bisa, aku sudah tidak pernah menulis lagi.”

Bayangan Si A dan Si B Nampak di hadapanku. Coretan-coretan mereka berdua pada karyaku kembali membayang. Bau asap kopi membuatku semakin pening. Semakin pula menambah kebingungan dan kegelisahanku. Si A dan Si B seperti menamparku. *** Aku teringat bagaimana awal menulis sebuah cerita. Cerita tentang anjing yang terlindas mobil separuh tubuhnya hancur, sedang separuhnya lagi masih utuh. Sebuah pemandangan aneh. Anjing itu Nampak seperti sedang tidur. Pemandangan itu lantas membuat fantasiku menggeliat liar. Ia seolah minta segera dimuntahkan dalam lembar-lembar kosong.

Kertas kosong akhirnya selalu menjadi tempat bermain bagi imajinasiku. Tak hanya berhenti pada anjing, imajinasiku lantas mengalir ke tempat-tempat lain. bahkan ke dalam samudra, di mana aku kerap membayangkan sesosok putri yang bangun dari lautan. Lalu aku sambut jemari sang putri. Dan kami pun berdansa di atas kertas kosong. Ditambah cerita demi cerita yang lainnya.

Apalagi frekuensi pertemuanku dengan Si A dan Si B yang sangat sering. Di mana mereka selalu mengkritik karya-karyaku, memberi masukan bahkan meminjamiku buku-buku karya pengarang kelas dunia. Hal itu tentulah membuat imajinasiku semakin meledak-ledak. Imajinasi yang harus segera kutumpahkan. Kertas kosong akhirnya memenuhi kamarku. Di lemari, lantai, kursi dan berserak di atas tempat tidurku. *** Kertas-kertas itu terus bertabrakan dengan tatapanku. Kertas yang berserak di kamarku. Kertas yang masih kosong maupun kertas di mana tugas-tugas kantor terpampang di atasnya. Aku seakan harus berhadapan dengan musuh lama. Musuh yang harus segera ditundukkan.

“Tidak mungkin. Ini tak akan mungkin terjadi. Ini sudah sangat lama.”

Jemariku terus minta digerakkan. Peristiwa-peristiwa bersliweran di dalam otakku. Peristiwa yang harus segera aku lepaskan ke atas kertas kosong. Peristiwa yang kemudian aku rombak dengan imajinasi liarku. “Ah, ini masa lalu. Aku tidak bisa!” teriakku histeris.

Huruf-huruf mulai berlepasan. Huruf-huruf itu meninggalkan kertas. Huruf yang lalu menyerbu diriku, menjejali otakku dengan pelbagai ide. Aku kewalahan. Jantungku mulai berdetak kencang. Keringat dingin mulai meleleh. Wajahku kini terlihat tidak teratur.

“Pergi kalian! Pergi!” aku memekik gugup.

“Jangan ganggu aku! Jangan usik aku lagi!” aku mencoba menghindar.

Perlahan wajah Si A dan Si B membayang. Tangan mereka membawa setumpukan kertas. Tumpukan itu lantas mereka lempar ke arahku. Tepat mengenai wajahku yang sangat pucat. Aku jatuh. Aku memandang kertas-kertas mulai mengepung diriku. “Sudah jangan teruskan ini.” “Lembaran-lembaran kertas akan memanggilmu kembali,” suara Si B mengiang kembali di telingaku. “Jangan, aku sudah tidak bisa. Aku sudah tak mampu.”

Tapi tanganku terus bergerak. Ia seakan minta disatukan dengan kertas-kertas itu. lembaran kertas yang mulai tajam memandangku. Ruang-ruang kosongnya siap menyedot tubuhku. Lalu meluluhlantakkannya menjadi sebuah cerita. Mungkin lebih tepat bila disebut sebagai cerita tragedi.

Jemariku ternyata mulai memberontak pada diriku. Mereka ingin lepas dan menyatu dengan lembaran-lembaran kertas yang merubung tubuhku. Kepalaku kian pusing. Aku menatap kamarku telah dibanjiri oleh ribuan kertas kosong. Kertas-kertas kosong. Mereka berserak di sekitarku. Mereka perlahan menelan tubuhku. Aku sudah tidak dapat membedakan diriku dengan kertas-kertas itu. aku merasakan bila bagian tubuhku menjadi satu dengan kertas-kertas itu. “TIDAAAK!”

Sumber : Kompas Indonesia

RIWAYAT TUAN HAI



Seorang guru, adalah pembuka pintu bagi anak-anaknya yang banyak mencari tahu

Tuan Hai bekerja sebagai seorang guru. Guru di sekolah menengah di kota kecil. Pekerjaan guru yang dilakukannya semenjak dua puluh tahun yang lalu. Guru yang mengandung banyak cita-cita dan harapan. Cita –cita untuk menjadikan murid-muridnya berprestasi.

Tak ada pikiran lain dari Tuan Hai saat berdiri di depan kelas atau berhadapan dengan murid-muridnya, kecuali memberikan kemudahan supaya murid-muridnya mudah menerima materi pelajaran yang disampaikan. Setiap kali menganalisis hasil ulangan murid-muridnya untuk pelajaran yang dampukannya, dia tidak selalu memvonis muridnya tidak bisa. Bodoh. Malas, dan semacamnya. Tetapi yang dilakukan Tuan hai adalah mencari tahu seba, muridnya tidak mencapai ketuntasan belajar.

“Anak-anakku belajar Biologi itu jangan dihafal, tetapi dipahami. Kalau kau menghafal takkan pernah mampu menghafal. Betapa luas lkehidupan ini. Kehidupan yang laus takkan mmapu kau hafalka,” terang Tuan Hai di depan kelas di suatu waktu.

“Biologi itu banyak bahasa latinnya, Pak?!”

“Ya, tetapi tidak untuk dihafal. Tetapi dipahami. kalau kehidupan kita di bumi terdapat hamaparan bumi yang luas bukit-bukit dan ngarai sungai dan lautan. Demikian juga tubuh kita. Sebuah jazirah yang merangkum jagad raya. “

“Pak Guru, aku tidak suka pelajaran biologi. Kalau diistilahkan salah makan, aku telah slah makan sejak awal. Guru biologiku waktu itu mengharuskan aku menghafal aneka konsep dan bahasa latin. Aku jenuh dan kau tidak melihat biologi ada manfaatnya bagi kehidupan!” potong Sarwa sengit saat Tuan Hai memberikan motivasi di depan kelas.

“Sarwa, manfaat itu akan kita peroleh jika kita memanfaatkannya. Jika kau mempelajarainya dengan rasa dongkol. Kau hanya akan memperoleh kecapaian. Takkan ada yang bisa kau sesap dalam dirimu. Ilmu bisa diperoleh jika dipelajari dengan perasaan cinta dan tulus. Seperti kau mencintai kekasihmu, dan seperti kau mencintai diri kamu sendiri.”

“Dari mana aku harus mulai mencintai, sementara dalam sisi hati kami, yang sering terekam adalah ganjaran hukuman berdiri di depan kelas, karena tak mengerjakan tugas. Telinga dijewer karena salah menjawab pertanyaan.”

“Kalau aku dulu waktu, di SMP, nilaiku akan bagus jika aku mengikuti les / pelajaran tambahan pada ibu guru. Tentu dengan iuran sejumlah tertentu, haahaa...!!!” celoteh Mardan di sudut selatan ruangan kelas.

Tuan Hai hanya tersenyum. Dia belajar memahami apa yang dialami dan dirasakan anak-anaknya. Sebuah dunia baru yang harus dia masuki, dengan persoalan yang bervariasi. Setiap anak dengan keunikannya sendiri. Latar belajang sosial dan ekonomi yang berbeda. Namun, di sinilah sebenarnya Tuan Hai merasaakan nikmatnya mengajar dan menekuni dunia pendidikan. Sebuah pekerjaan yang membutuhkan kelapangan dada, keterbukaan hati, untuk menenun kembali pengalaman kusut yang ada dalam bentangan pikiran murid-muridnya.

“Apakah bapak mencintai Biologi?! Celetuk Habsiyah yang duduk di depan meja guru.

Tuan Hai tersenyum. Dipandanginya seluruh ruangan kelas. Wajah-wajah yang menanti jawban jujur dari Bapak Guru. “Semula aku tak mencintainya. Karena aku mendapatkan pengalaman yang kurang bahagia. Aku mendapatkan pengalaman belajar yang lebih buruk dari kau di sekolah senelumnya. Aku mnendapatkan pengalana tidak seperti yang aku inginkan. Saat pelajaran Biologi, ketika aku masih seusia kau dan ada di bangku SMA. Guruku sibuk ngajar di beebrapa sekolah, karena dia sebagai guru honorer di sekolahku. Saat pelajaran biologi aku disuuruh mecatat selama dua jam pelajaran dengan metode CBSA (C atat Buku Sampai Abis)...” belum tuntas penjelasan Tuan Hai tawa murid-murid dalam ruangan jadi meledak.

“Sama pak dengan guru saya di SMP.” “Aku juga...!! Aku Juga...!!! Aku juga,” mereka bersahutan bersetuju dengan pengalaman buruk Tuan Hai. “Maka, ketika aku menjadi guru biologi, aku takkan mengulanmgi kesalahan yang sama. Kalau aku mengajar sama dengan guruku berarti aku tak menemukan kebaruan. Berarti aku dalam kerugian. Aku ingin menjadi Tuan Hai yang berbeda dengan gruu-gurunya di masa silam.”

Ada harapan yang menggembirakan dari pancaran muka seluruh penghuni kelas. Mereka menunggu apa yang dikatakan Tuan Hai berbeda dengan guru-gurunya di masa lampau. Hari ini tak ada pelajaran biologi. Dua jam tatap muka digunakan Tuan hai untuk mengenali anak-anaknya dan memberikan motivasi belajar.

Sesampai di rumah perasaan Tuan Hai kian galau. Betapa menyesal Dia menjadi guru di saat sekarang. Di saat yang menurut dirinya tidak tepat. Saat guru dijadikan sebuah profesi hanya sebagai transfer pengetahuan dan jual beli pengetahuan.

Untuk menambah penegtahuannya pada guru yang dianggapnya sebagai pengganti orangtua di rumah, siswa harus memabayar uang tambahan pelajaran. Apa yang salah dalam dirinya, ketika dianggap asing karena tidak memungut tambahaan biaya untuk tambahan jam pelajaran.

Aku hanya mencintai anak-nakku. Anak yang kelak akan meneruskan peradaban bangsa ini. Kelak, yang akan meneruskan perkembangan pengetahuan. Kadang dirinya merasa risih saat berada dalam ruang guru. Risih, karena pembicaraan di ruang oitu lebih banyak mengarah pada pembicaraan materi. Beli motor baru. Ganti beli mobil, rehap rumah, dan menawarkan aneka model pakaian wanita. Sungguh menyesal perasaan Tuan hai, kenapa tidak ditakdirkan menjadi guru yang kaya.

Saat galau sepagi itu, dia kan terulang kembali pada pesan ayahnya. Pesan yang mengingatkannya untuk senantiasa menjadi guru. Guru yang baik. Guru yang mengusai keilmuannya. Guru yang mengerti perasaan anak-didiknya. Guru yang memapu mebnagkitkan semangat anak didiknya. Guru yang mampu membuat anak didiknya berprestasi, menemukan dirinya dan bangga dengan negeri dan bangsanya.

Ataukah ayahku yang tidak waras. Tetapi galauan itu justru tergiring ke masa lampau. M,asa di saat dirinya menjadi murid sekolah dasar. Sekolah yang kepala sekolahnya adalah ayahnya sendiri. Sekolah yang ada di bawah bukit.

Terbayang dalam batok kepala Tuan hai ayahnya yang seorang guru sekolah dasar, bersusah payah membangun kepercayaan masyarakat utnuk menyekolahkana nak-anaknya. Perjuangan untuk memerangi ekmiskinan dan kebodohan. Suapa anak-anak di susun itu mengenyam pendidikan, sehingga hidupnya lebih maju. Hanya dengan pendidikan seorang bisa lebih mulia.

Tuan Hai ingat betul, bagaimana ayahnya bersusah payah bersama-dengan gru-guru inpres untuk membina anak-anak berbakat supaya potensinya menjadi prestasi. Tidak dipungkiri kalau kemudian siswa-siswa di sekolah itu berprestasi mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai tingkat propinsi. Sekolah yang ada di bawah bukti itu, akhirnya disegani sekolah-sekolah dio kota. Setiap lulkusan sekolah dasar itu, selalu dianggap anak pintar.

“Situasi dan kondisinya, berbeda!” batin Tuan Hai sambil memeriksan kiriman tugas dari siswa siswinya yang dikrikm lewat email. 'Meski berbeda, semangat dan niatnya tidak boleh berkurang,’ bisik hati kanannya yang berdetakan tak menentu. Sambil membaca tugas yang dikirimkan murid-muridnya.

Tiba-tiba matanya tertikam oleh sebuah tulisan pembuka dari salah seorang muridnya. Kalimat yang pendek, namun merupakan suara hatinya yang galau. Dia tidak akan melupakan sikap kritis yang telah disampaikan anak-anaknya. Keinginan murid-muridnya untuk belajar biologi yang menyenangkan, yang meudah utnuk diterima dan disimpan, pembelajaran yang berdasar kepada pengalaman. Ya permintaan yang dituliskan anak-anaknya, ketika ditawarkan pelajaran biologi macam apa yang diinginkan.

***

“Kalau tubuh kita umpama negara, maka seldarah putih kita laksana tentara!” pagi itu Tuan Hai membuka pelajaran di kelas XI IPA, ”tak jauh bedanya antara tubuh kita dengan negara. Maka setiap penyusun tubuh tak ubahnya adalah bagian-bagian yang menyusun negara.”

Kelas pun gaduh, karena anak-anak di kelas itu baru mengenal perumpamaan-perumpamaan biologi yang dikatkan dengan tubuh manusia. Tubuh yang disusung oleh anak-anak dalam ruangan itu.

“Nah, pagi ini kita akan mempelajari mengenai sel penyusun tubuh kita. Hal yang sangat menarik, karena sel tubuh ini tak ubahnya adalah bagian yang menyusun dalam negara kita. Kalau dalam negeri kita ada sebuah kota, maka sel sangat tepat untuk diumpamakan sebagai kota kecil yang kesibukannya bersalngsung selama dua puluh empat jam. Di dalam sel itu ada lalulintas transportasi yang mengangkut bahan makanan ke baaain-bagian sel laksana transportasi kota yang sibuk mengantarkan berbagai kebutuhan ke berbagai tempat.” Anak-anak kembali gaduh mereka mulai mengungkit kembali pengalaman-pengalamannya untuk dihubungkan dengan sel.

“Anakku, kalian bisa membayangkan apa saja berdasarkan pengalaman kamu yang mirip dengan struktur dan fungsi sebuah sel.” “Lidia, apa bayangan yang muncul dalam benakmu?” tanya Tuan hai pada Lidia yang duduk di deret tiga paling depan. “Pak, aku membayangkan selapuy sel seperti lompia.” “Lumpia?!” Tuan Hai kaget memicingkan matanya,”Oke, jelaskan anakku.” “Lumpia kalau digigit secara melintang akan tampak bagian kulitnya yang kecoklatan, sebagai lapisan protein pada sebuah sel dan bagian tengahnya yang berisi mihun adalah lapisan lemak.”

“Bagus, kenanglah selalu Lumpia sebagai struktur membran dalam ingatanmu. Sepanjang kamu masih ingat kenikmatan mengkonsumsi Lumpia sepanjang itu pula kau akan memahami struktur sel.”sela Tuan hai sambil mengankat dua jempolnya, memuji perumpamaan yang disampaikan Lidia.

"Iphe!” “Aku bayangkan sel itu seumpama Mie kuah spesial.”

Suara kelas gaduh, karena semua tahu Iphe adalah penggemar mie spesial, semangkuk mie kuah dengan bakso besar mengeram di tengahnya. Mie spesial yang biasa dijual di kantin sekolah dengan kocokan saus tomat yang merah dan seperti genangan darah.

“Coba uraikan anakku,” pinta Tuan Hai “Kuah yang kemerahan aku umpamakan cairan sel, cairan sitoplasma yang didalamnya banyak organel-organel sel yang membangun kehidupan. Pentol bakso yang besar ada dalam mangkuk, adalah inti sel. Bibir mangkuk adalah membran sel yang menajdi wadah atau batas sel. Aku bayangkan pentol kecil yang bertabur adalah organel-organel sel yang menyusun kehidupan.”

Tepuk tangan gaduh memenuhi ruangan. Tanpa diminata beberapa anak mengacungkan jari minta untuk diberi waktu untuk menjelaskan perumpamaan sel yang teah dibangunnya. Kelas menjadi hidup dan riuh. Tuan Hai tersenyum menemani anak-anaknya bercerita mengenai sel. Satu per satu mereka mengungkapkan pengalamannya. Tak ada rasa takut dan rasa salah dari mereka karena mereka mengungkapkan pengalamannya sendiri.

Betapa banyak pengalaman yang terungkap Jupi mengungkapkan perumpaan sel seperti sekolah Harry Potter, karena kebetulan dia keranjingan cerita Harry Potter. Smason mengumpakan sel seperti gedung pernikahan karena dia menjadi anggota juru saji pada saat ada resepsi. Haris, mengutarakan sel seperti lapangan bola, dengan panjang lebar dijelaskannya dimana inti selnya pemain sebagai organel yang membangun sel.

Senyum menempel di wajah Tuan Hai. Dia puas dengan pertemuannya pagi itu. Anak-anaknya puas usai mengemukakan pemahamannya. Sebelum menutup pelajaran, seorang anak mengacungkan tangan, “Pak, saya tertarik belajar Biologi dengan cara ini! Besok harus semenarik ini,” pintanya.

“Terimakasih, anakku. Pertemuan berikutnya kita ketemu di ruang laboratorium. Bawalah epidermis bawang merah dan gabus.” Tuan Hai menutup pelajaran dan meninggalkan ruangan.

Sumber : Kompas Indonesia