Seorang guru, adalah pembuka pintu bagi anak-anaknya yang banyak mencari tahu
Tuan Hai bekerja sebagai seorang guru. Guru di sekolah menengah di kota kecil. Pekerjaan guru yang dilakukannya semenjak dua puluh tahun yang lalu. Guru yang mengandung banyak cita-cita dan harapan. Cita –cita untuk menjadikan murid-muridnya berprestasi.
Tak ada pikiran lain dari Tuan Hai saat berdiri di depan kelas atau berhadapan dengan murid-muridnya, kecuali memberikan kemudahan supaya murid-muridnya mudah menerima materi pelajaran yang disampaikan. Setiap kali menganalisis hasil ulangan murid-muridnya untuk pelajaran yang dampukannya, dia tidak selalu memvonis muridnya tidak bisa. Bodoh. Malas, dan semacamnya. Tetapi yang dilakukan Tuan hai adalah mencari tahu seba, muridnya tidak mencapai ketuntasan belajar.
“Anak-anakku belajar Biologi itu jangan dihafal, tetapi dipahami. Kalau kau menghafal takkan pernah mampu menghafal. Betapa luas lkehidupan ini. Kehidupan yang laus takkan mmapu kau hafalka,” terang Tuan Hai di depan kelas di suatu waktu.
“Biologi itu banyak bahasa latinnya, Pak?!”
“Ya, tetapi tidak untuk dihafal. Tetapi dipahami. kalau kehidupan kita di bumi terdapat hamaparan bumi yang luas bukit-bukit dan ngarai sungai dan lautan. Demikian juga tubuh kita. Sebuah jazirah yang merangkum jagad raya. “
“Pak Guru, aku tidak suka pelajaran biologi. Kalau diistilahkan salah makan, aku telah slah makan sejak awal. Guru biologiku waktu itu mengharuskan aku menghafal aneka konsep dan bahasa latin. Aku jenuh dan kau tidak melihat biologi ada manfaatnya bagi kehidupan!” potong Sarwa sengit saat Tuan Hai memberikan motivasi di depan kelas.
“Sarwa, manfaat itu akan kita peroleh jika kita memanfaatkannya. Jika kau mempelajarainya dengan rasa dongkol. Kau hanya akan memperoleh kecapaian. Takkan ada yang bisa kau sesap dalam dirimu. Ilmu bisa diperoleh jika dipelajari dengan perasaan cinta dan tulus. Seperti kau mencintai kekasihmu, dan seperti kau mencintai diri kamu sendiri.”
“Dari mana aku harus mulai mencintai, sementara dalam sisi hati kami, yang sering terekam adalah ganjaran hukuman berdiri di depan kelas, karena tak mengerjakan tugas. Telinga dijewer karena salah menjawab pertanyaan.”
“Kalau aku dulu waktu, di SMP, nilaiku akan bagus jika aku mengikuti les / pelajaran tambahan pada ibu guru. Tentu dengan iuran sejumlah tertentu, haahaa...!!!” celoteh Mardan di sudut selatan ruangan kelas.
Tuan Hai hanya tersenyum. Dia belajar memahami apa yang dialami dan dirasakan anak-anaknya. Sebuah dunia baru yang harus dia masuki, dengan persoalan yang bervariasi. Setiap anak dengan keunikannya sendiri. Latar belajang sosial dan ekonomi yang berbeda. Namun, di sinilah sebenarnya Tuan Hai merasaakan nikmatnya mengajar dan menekuni dunia pendidikan. Sebuah pekerjaan yang membutuhkan kelapangan dada, keterbukaan hati, untuk menenun kembali pengalaman kusut yang ada dalam bentangan pikiran murid-muridnya.
“Apakah bapak mencintai Biologi?! Celetuk Habsiyah yang duduk di depan meja guru.
Tuan Hai tersenyum. Dipandanginya seluruh ruangan kelas. Wajah-wajah yang menanti jawban jujur dari Bapak Guru. “Semula aku tak mencintainya. Karena aku mendapatkan pengalaman yang kurang bahagia. Aku mendapatkan pengalaman belajar yang lebih buruk dari kau di sekolah senelumnya. Aku mnendapatkan pengalana tidak seperti yang aku inginkan. Saat pelajaran Biologi, ketika aku masih seusia kau dan ada di bangku SMA. Guruku sibuk ngajar di beebrapa sekolah, karena dia sebagai guru honorer di sekolahku. Saat pelajaran biologi aku disuuruh mecatat selama dua jam pelajaran dengan metode CBSA (C atat Buku Sampai Abis)...” belum tuntas penjelasan Tuan Hai tawa murid-murid dalam ruangan jadi meledak.
“Sama pak dengan guru saya di SMP.” “Aku juga...!! Aku Juga...!!! Aku juga,” mereka bersahutan bersetuju dengan pengalaman buruk Tuan Hai. “Maka, ketika aku menjadi guru biologi, aku takkan mengulanmgi kesalahan yang sama. Kalau aku mengajar sama dengan guruku berarti aku tak menemukan kebaruan. Berarti aku dalam kerugian. Aku ingin menjadi Tuan Hai yang berbeda dengan gruu-gurunya di masa silam.”
Ada harapan yang menggembirakan dari pancaran muka seluruh penghuni kelas. Mereka menunggu apa yang dikatakan Tuan Hai berbeda dengan guru-gurunya di masa lampau. Hari ini tak ada pelajaran biologi. Dua jam tatap muka digunakan Tuan hai untuk mengenali anak-anaknya dan memberikan motivasi belajar.
Sesampai di rumah perasaan Tuan Hai kian galau. Betapa menyesal Dia menjadi guru di saat sekarang. Di saat yang menurut dirinya tidak tepat. Saat guru dijadikan sebuah profesi hanya sebagai transfer pengetahuan dan jual beli pengetahuan.
Untuk menambah penegtahuannya pada guru yang dianggapnya sebagai pengganti orangtua di rumah, siswa harus memabayar uang tambahan pelajaran. Apa yang salah dalam dirinya, ketika dianggap asing karena tidak memungut tambahaan biaya untuk tambahan jam pelajaran.
Aku hanya mencintai anak-nakku. Anak yang kelak akan meneruskan peradaban bangsa ini. Kelak, yang akan meneruskan perkembangan pengetahuan. Kadang dirinya merasa risih saat berada dalam ruang guru. Risih, karena pembicaraan di ruang oitu lebih banyak mengarah pada pembicaraan materi. Beli motor baru. Ganti beli mobil, rehap rumah, dan menawarkan aneka model pakaian wanita. Sungguh menyesal perasaan Tuan hai, kenapa tidak ditakdirkan menjadi guru yang kaya.
Saat galau sepagi itu, dia kan terulang kembali pada pesan ayahnya. Pesan yang mengingatkannya untuk senantiasa menjadi guru. Guru yang baik. Guru yang mengusai keilmuannya. Guru yang mengerti perasaan anak-didiknya. Guru yang memapu mebnagkitkan semangat anak didiknya. Guru yang mampu membuat anak didiknya berprestasi, menemukan dirinya dan bangga dengan negeri dan bangsanya.
Ataukah ayahku yang tidak waras. Tetapi galauan itu justru tergiring ke masa lampau. M,asa di saat dirinya menjadi murid sekolah dasar. Sekolah yang kepala sekolahnya adalah ayahnya sendiri. Sekolah yang ada di bawah bukit.
Terbayang dalam batok kepala Tuan hai ayahnya yang seorang guru sekolah dasar, bersusah payah membangun kepercayaan masyarakat utnuk menyekolahkana nak-anaknya. Perjuangan untuk memerangi ekmiskinan dan kebodohan. Suapa anak-anak di susun itu mengenyam pendidikan, sehingga hidupnya lebih maju. Hanya dengan pendidikan seorang bisa lebih mulia.
Tuan Hai ingat betul, bagaimana ayahnya bersusah payah bersama-dengan gru-guru inpres untuk membina anak-anak berbakat supaya potensinya menjadi prestasi. Tidak dipungkiri kalau kemudian siswa-siswa di sekolah itu berprestasi mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai tingkat propinsi. Sekolah yang ada di bawah bukti itu, akhirnya disegani sekolah-sekolah dio kota. Setiap lulkusan sekolah dasar itu, selalu dianggap anak pintar.
“Situasi dan kondisinya, berbeda!” batin Tuan Hai sambil memeriksan kiriman tugas dari siswa siswinya yang dikrikm lewat email. 'Meski berbeda, semangat dan niatnya tidak boleh berkurang,’ bisik hati kanannya yang berdetakan tak menentu. Sambil membaca tugas yang dikirimkan murid-muridnya.
Tiba-tiba matanya tertikam oleh sebuah tulisan pembuka dari salah seorang muridnya. Kalimat yang pendek, namun merupakan suara hatinya yang galau. Dia tidak akan melupakan sikap kritis yang telah disampaikan anak-anaknya. Keinginan murid-muridnya untuk belajar biologi yang menyenangkan, yang meudah utnuk diterima dan disimpan, pembelajaran yang berdasar kepada pengalaman. Ya permintaan yang dituliskan anak-anaknya, ketika ditawarkan pelajaran biologi macam apa yang diinginkan.
***
“Kalau tubuh kita umpama negara, maka seldarah putih kita laksana tentara!” pagi itu Tuan Hai membuka pelajaran di kelas XI IPA, ”tak jauh bedanya antara tubuh kita dengan negara. Maka setiap penyusun tubuh tak ubahnya adalah bagian-bagian yang menyusun negara.”
Kelas pun gaduh, karena anak-anak di kelas itu baru mengenal perumpamaan-perumpamaan biologi yang dikatkan dengan tubuh manusia. Tubuh yang disusung oleh anak-anak dalam ruangan itu.
“Nah, pagi ini kita akan mempelajari mengenai sel penyusun tubuh kita. Hal yang sangat menarik, karena sel tubuh ini tak ubahnya adalah bagian yang menyusun dalam negara kita. Kalau dalam negeri kita ada sebuah kota, maka sel sangat tepat untuk diumpamakan sebagai kota kecil yang kesibukannya bersalngsung selama dua puluh empat jam. Di dalam sel itu ada lalulintas transportasi yang mengangkut bahan makanan ke baaain-bagian sel laksana transportasi kota yang sibuk mengantarkan berbagai kebutuhan ke berbagai tempat.” Anak-anak kembali gaduh mereka mulai mengungkit kembali pengalaman-pengalamannya untuk dihubungkan dengan sel.
“Anakku, kalian bisa membayangkan apa saja berdasarkan pengalaman kamu yang mirip dengan struktur dan fungsi sebuah sel.” “Lidia, apa bayangan yang muncul dalam benakmu?” tanya Tuan hai pada Lidia yang duduk di deret tiga paling depan. “Pak, aku membayangkan selapuy sel seperti lompia.” “Lumpia?!” Tuan Hai kaget memicingkan matanya,”Oke, jelaskan anakku.” “Lumpia kalau digigit secara melintang akan tampak bagian kulitnya yang kecoklatan, sebagai lapisan protein pada sebuah sel dan bagian tengahnya yang berisi mihun adalah lapisan lemak.”
“Bagus, kenanglah selalu Lumpia sebagai struktur membran dalam ingatanmu. Sepanjang kamu masih ingat kenikmatan mengkonsumsi Lumpia sepanjang itu pula kau akan memahami struktur sel.”sela Tuan hai sambil mengankat dua jempolnya, memuji perumpamaan yang disampaikan Lidia.
"Iphe!” “Aku bayangkan sel itu seumpama Mie kuah spesial.”
Suara kelas gaduh, karena semua tahu Iphe adalah penggemar mie spesial, semangkuk mie kuah dengan bakso besar mengeram di tengahnya. Mie spesial yang biasa dijual di kantin sekolah dengan kocokan saus tomat yang merah dan seperti genangan darah.
“Coba uraikan anakku,” pinta Tuan Hai “Kuah yang kemerahan aku umpamakan cairan sel, cairan sitoplasma yang didalamnya banyak organel-organel sel yang membangun kehidupan. Pentol bakso yang besar ada dalam mangkuk, adalah inti sel. Bibir mangkuk adalah membran sel yang menajdi wadah atau batas sel. Aku bayangkan pentol kecil yang bertabur adalah organel-organel sel yang menyusun kehidupan.”
Tepuk tangan gaduh memenuhi ruangan. Tanpa diminata beberapa anak mengacungkan jari minta untuk diberi waktu untuk menjelaskan perumpamaan sel yang teah dibangunnya. Kelas menjadi hidup dan riuh. Tuan Hai tersenyum menemani anak-anaknya bercerita mengenai sel. Satu per satu mereka mengungkapkan pengalamannya. Tak ada rasa takut dan rasa salah dari mereka karena mereka mengungkapkan pengalamannya sendiri.
Betapa banyak pengalaman yang terungkap Jupi mengungkapkan perumpaan sel seperti sekolah Harry Potter, karena kebetulan dia keranjingan cerita Harry Potter. Smason mengumpakan sel seperti gedung pernikahan karena dia menjadi anggota juru saji pada saat ada resepsi. Haris, mengutarakan sel seperti lapangan bola, dengan panjang lebar dijelaskannya dimana inti selnya pemain sebagai organel yang membangun sel.
Senyum menempel di wajah Tuan Hai. Dia puas dengan pertemuannya pagi itu. Anak-anaknya puas usai mengemukakan pemahamannya. Sebelum menutup pelajaran, seorang anak mengacungkan tangan, “Pak, saya tertarik belajar Biologi dengan cara ini! Besok harus semenarik ini,” pintanya.
“Terimakasih, anakku. Pertemuan berikutnya kita ketemu di ruang laboratorium. Bawalah epidermis bawang merah dan gabus.” Tuan Hai menutup pelajaran dan meninggalkan ruangan.
0 komentar:
Posting Komentar