"May, kaukah itu?" tanyaku ketika mendengar ketukan pintu. Tidak ada jawaban. Ketukan pintu masih terdengar. "May," panggilku dengan lembut.
Suara ketukan pintu menghilang.
Sepi.
Suara angin malam samar terdengar dan jam dinding berdetak seirama dengan denyut nadiku. Aku terpaku di sebuah kursi. Mataku lekat menatap pintu. Telingaku berusaha menangkap suara-suara betapapun kecilnya.
"May, benarkah kau?" tanyaku ketika ketukan pintu terdengar lagi.
Aku bangkit, membenahi pakaianku, merapikan rambut dengan tangan. Kurasakan ketegangan di wajahku. Aku berusaha menyunggingkan senyuman termanis yang kumiliki untuk kuberikan kepadanya. Aku ingin menyambut May dengan keramahan luar biasa. Dengan langkah teratur aku menghampiri pintu. Tepat di depan pintu suara ketukan menghilang. Aku membukanya dengan perlahan, dan tak kujumpai siapa-siapa.
Mataku mengembara di sekeliling ruang depan. Kuperhatikan taman kecil di depan rumah. Sebuah pohon mangga, adakah May bersembunyi di situ? Aku bergegas ke sana, tidak ada apa-apa. Hanya lompatan katak yang mengejutkan.
Aku berdiri di depan pagar besi, memandangi sepanjang jalan. Kendaraan sekali-kali lewat, namun kesepian menjadi raja. Desir angin dingin merayapi tubuhku. Aku tidak memperdulikan. Suara gemerisik daun-daun akasia sepanjang jalan menyanyikan lagu kesunyian. Hati tergiris. Lampu-lampu teras rumah sepanjang jalan kaku tersamar. Tersihir irama malam.
Entah berapa lama aku berdiri di sana. Kakiku letih. Aku masuk, dan duduk di teras. Duduk di kursi ini, kenangan manis dengan May yang muncul. Ya, sejak kami menempati rumah ini, hampir setiap senja kami menghabiskan waktu untuk bicara apa saja. Kemesraan yang terjalin menambah nyala api cinta. Namun kebiasaan itu menghilang tatkala aku dihantui oleh kesibukan-kesibukan yang tak pernah habisnya. May telah mengingatkan, tapi waktu itu kuanggap hanya romantisme belaka.
"Kau bisa menggunakan waktu senjamu dengan membaca. Itu lebih berguna," demikian komentarku waktu itu.
Beberapa hari May menampakkan wajah cemberutnya. Kuanggap itu hal wajar. Lama-lama ia akan mengerti juga bahwa waktu teramat terbatas untuk melakukan banyak hal. Bila tidak memanfaatkan waktu secara optimal, kita tidak akan bisa menjadi warga terhormat. Kita akan terlindas putaran roda kehidupan yang maha dahsyat. Kesibukan terus mengejarku. Kebiasaan berdialog saat senja hilang dengan sendirinya. Aku tahu, May pasti bisa mencari kegiatan lain. Kesibukan terus mengejarku. Hari-hari menjadi sangat terbatas. Urusan ke luar kota, urusan ke luar negeri, urusan segala macam, membuatku jadi jarang bertemu dengan May. Ia pernah menggugatnya.
"Ini demi kehidupan kita. Kepercayaan yang mereka berikan kepadaku akan mengantarkan pada hidup sukses. Aku harus menjaga kepercayaan itu dengan baik,"
"Tapi bukan berarti menjadi budak!"
Terus terang aku tersinggung. Harga diriku terasa terhina. Kata-kata dalam kepalaku muntah. May sama sekali tidak menghargaiku. May mengalami kemunduran pemikiran!
Sejak itu May jadi lebih banyak diam. Ia tidak mau banyak berkomentar. Ia selalu menuruti kata-kataku betapapun buruknya permintaanku. Saat itu aku tidak memperdulikan perubahan sikapnya. Urusan perusahaan telah menghantarkan pada lingkaran baru. Lingkaran terseleksi. Orang-orang penting yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, baik dengan hartanya maupun dengan jabatan yang dimilikinya berkumpul dalam lingkaran ini. Pada dialog-dialog tak resmi semua urusan jadi lancar. Dunia asing, dunia baru, banyak aku bersentuhan dengan hal-hal yang belum pernah kualami. Minuman, perempuan, perjudian bercampur baur dengan pembuatan policy.
Dunia gila yang menyenangkan. Seandainya aku tak berada di dalamnya, mungkin akan aku katakan komentar yang lain. Aku di dalamnya. Aku di dalamnya dalam pergulatan. Aku harus menjadi gila! Dengan demikian diriku dapat menyatu.
Kegilaan ini benar-benar aku nikmati sepenuhnya. Aku baru tahu, puncak karier bukanlah dunia kerja melainkan dunia main-main. Kita kembali ke dunia anak muda yang selama ini disorot dengan berjuta keburukan. Dunia main-main ini benar-benar permainan. Hari-hari dilalui melalui pesta-pesta.
Pada situasi ini, aku benar-benar melupakan May dalam waktu-waktuku. Aku merasa telah menunaikan kewajibanku dengan memberinya kemewahan. Sampai suatu saat persengkongkolan tumbang. Pergantian pejabat berlangsung cepat. Hal yang tak terduga sama sekali. Semua tidak siap. Semua sempoyongan. Banyak yang ambruk ke tanah. Hanya beberapa yang bisa bertahan dengan bergerak cepat masuk lingkaran baru. Aku adalah salah satu korban. Perusahaan ambruk dengan cepat. Kekuatan yang ada selama ini hanyalah semu.
Perusahaanku sangat tergantung penuh pada lingkaran satu kekuasaan yang telah ambruk. Aku bagaikan kapas. Melayang diterbangkan angin. Aku butuh tempat bersandar. Aku butuh tempat untuk mengungkapkan segenap perasaan. Aku butuh dunia yang dapat menampungku dengan rasa kasih. Bukan dipertemukan dengan permainan kepentingan. Sebagai orang kalah, semua kawan dekat menjauhiku.
Hal yang wajar karena takut kepentingan mereka terganggu. Bisa saja aku kembali mendekat, tapi dengan cara mengemis? Tak sudi rasanya terperosok pada kekalahan yang lebih dalam. Yang bisa menerima hanya keluarga. Yang bisa menerima hanya May. Tapi tanpa terduga sama sekali, May pergi. May pergi sebelum aku sempat menyatakan penyesalan, sebelum sempat menceritakan mimpi-mimpiku.
Selama ini aku tidak pernah memperhatikan. Aku merasa dengan memberikan materi yang berlimpah telah menunaikan kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Oh, May, maafkan aku. Aku merasa sangat berdosa. Aku ingin membangun dunia baru. Aku ingin menebus kesalahan-kesalahan. Aku ingin melangkah bersama May. Tapi May pergi! Penyesalan datang kemudian, tiada lagi berguna. Aku menjadi pesakitan. Aku meratap. Aku berharap. May, segeralah kembali!
* * *
Suara kentongan orang ronda menghentikan bayangan. Aku menengadah. Mencari bulan yang bersembunyi.
Ini hari kesekian. Dan aku tidak akan jemu. Aku akan terus menanti May. May pasti akan kembali. Keyakinan yang tertanam kuat di kepalaku.
Kepalaku terasa berat. Angin malam terasa sangat menusuk. Aku bangkit, lalu masuk ke dalam rumah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 03.15 dini hari. Aku duduk di ruang tamu. Aku masih menanti May.
"May, kaukah itu? Kau kembali, May?" tanyaku mendengar ketukan pintu. Aku bangkit lalu berlari cepat menuju pintu. Tidak ada satu wajahpun kujumpai. Namun hidungku menangkap bau parfum yang tak asing. Parfum yang biasa digunakan May. Mataku mencari. Dan di depan pagar halaman sesosok tubuh berdiri tenang. May!
Meluap perasaanku. Kerinduan yang memuncak. May menerbangkan batinku dengan senyuman manis yang dilemparkannya. Aku berlari menghampirinya. Ia tersenyum lalu menggerakkan badannya dan berjalan menjauhiku.
"May, kembalilah kau!" teriakku.
Ia tak menghiraukan teriakanku. Terus berjalan menyusuri jalan sunyi. Aku masih melihat bayangannya. Teramat dekat. Aku mengejar. Terus mengejar sambil berteriak memanggili namanya. Ia teramat dekat.Semakin dekat. Namun tak kunjung terkejar.
* * *
"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri sahabat dekatku yang mengunjungiku.
Amri diam tak menjawab. Wajahnya menyembunyikan sesuatu.
"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri dengan nada yang meninggi.
Amri tetap diam. Matanya tajam menyorot.
"May pasti akan kembali. Bukankah begitu, Amri?" teriakku sambil berdiri dan mencengkram bajunya. Amri tidak mencoba bereaksi. Ia tetap diam. aku mengguncang-guncangkan tubuhnya sekeras mungkin.
"Jawablah Amri!"
Amri masih tetap diam.Tenagaku tiba-tiba hilang. Aku terduduk lemas. Amri mendekatiku. Menggenggam tanganku.
"Relakanlah ia pergi. Berdoalah agar ia mendapatkan ketenangan dalam alamnya yang baru. Melihat kau seperti ini, ia pasti akan sangat gelisah,"
"Tidak! May pasti akan kembali! May pasti akan kembali! May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri? May pasti akan kembali!" aku terus berteriak-teriak histeris. Orang-orang berbaju putih berdatangan, mencengkram lenganku, memegang tubuhku. Aku meronta. Aku berteriak sekuat tenaga.
"May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri?" tanyaku pada Amri yang masih menatapku dengan wajah sayu.
0 komentar:
Posting Komentar