Si Gadih Ranti Jo Bujang Saman ditulis oleh penulis kaba yang sangat produktif, yaitu Syamsuddin Sutan Radjo Endah. Kaba ini diterbitkan oleh Pustaka Indonesia, Bukittinggi dam diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Atar Semi, yang kemudian diterbitkan oleh Proyek Buku Sastra Indonesia dan Derah Jakarta, 1991.
Kaba ini mengisahkan percintaan antara si Bujang Saman dan si Gadih Ranti. Percintaan antara mereka untuk sementara terhenti karena perilaku Datuak Mangkuto Sati, penghulu kepala yang lalim dalam memerintah dan banyak melakukan penyelewengan keuangan. Datuak Mangkuto Satu berupaya mendapatkan si gadis Ranti secara paksa dan menggagalkan pertunangan di antara mereka dengan menyuruh Bujang Saman bekerja rodi di Malalak. Dalam perjalanan menuju Malalak, Bujang Saman berhasil melarikan diri dari rombongan, kemudian ia pulang ke kampung halamannya. Kepulangannya diketahui oleh Datuak Mangkuto Sati. Dengan diiringkan para pengikutnya, Datuak Mangkuto Sati mengeroyok Bujang Saman. Bujang Saman berhasil mengalahkan mereka. Tiga tahun kemudian Bujang Saman melangsungkan pernikahan dengan Gadih Ranti.
Kaba merupakan jenis sastra lisan Minangkabau yang berkembang dandikenal oleh masyarakat. Pengertian kaba itu sendiri adalah cerita. Sebagai sastra lisan, kaba penyampaiannya diiringi dengan instrumen musik tradisional, seperti puput, seruling, gendang, rebab dan dulung. Akibat penyampaian secara lisan ini, tidak jarang isi ceritanya menjadi bervariasi.
Kemajuan zaman mendorong masyarakat berupaya melestarikan kaba dengan cara menuliskan dan mencetaknya. Upaya ini patut dihargai karena masyarakat pendukungnya, terutama generasi muda banyak yang kurang meminati jenis kesenian ini. Akan tetapi pencetakan dalam bentuk buku sebenarnya kurang dapat memberikan kenikmatan jika dibandingkan dengan penyampaian kaba secara lisan. Dalam pergelaran, kaba tersebut disajikan dalam suasana reatrikal, sehingga dapat memberi nilai keindahan dan kenikmatan yang tidak akan dijumpai kalau dibaca dari buku. Kemampuan pemain instrumen dan keahlian tukang kaba dalam memberikan penekanan tertentu menciptakan suasana estetik tersebut.
Dari segi isi, pada umumnya kaba bertolak dari mitos, namun pada perkembangan selanjutnya kaba mempersoalkan kenyataan hidup yang ditemukan dalam masyarakat sehari-hari, seperti masalah perkawinan, ketidaksetiaan, harta pusaka dan ketidak adilan. Bahasa kaba tidak sama dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Kaba menggunakan gaya bahasa yang lazim disebut prosa liris atau prosa berirama.
Ciri penanda kaba pun khas, antara lain, pola kalimatnya terdiri atas gatra-gatra dengan jumlah suku kata yang cenderung tetap. Masing-masing gatra dapat terdiri atas delapan, sembilan atau sepuluh kata. Kadang juga lebih sedikit jumlahnya, lima, enam atau tujuh kata. Ketaatan pemakaian jumlah kata dalam setiap gatra menimbulkan adanya irama di dalam kaba, seperti halnya metrum yang menimbulkan irama pada sebuah lagu.
Dengan demikian hakikat keindahan kaba bukan terletak pada isi, melainkan lebih besar terletak pada gaya bahasa yang membungkus isi. Dengan variasi nada suara, pilihan kata, langgam dan tekanan serta mengikuti secara tepet instrumen pengiring, tukang kaba dapat menyajikan pertunjukan yang mengasyikan.
Kaba “Sigadih Ranti Jo Bujang Saman” diawali dengan pantun seperti berikut ini.
Ramau pekan Saribunian
Ramai pedagang yang berlalu
Ramai sampai petang hari
Dengarkanlah oleh Tuan
Kaba cerita seorang dahulu
Ialah si Upik Gadig Ranti
Si Upuk si Gadih Ranti
Kedua si Bujang Saman
Anak orang di kota Padang
Guna perintang-rintang hari
Kalau Untung jadi pediman
Kalau gadis dari bujang
Berlayar kapal dari Jepun
Penuh muatan cawan dan pinggan
Dikarang kaba dan pantun
Jika untung jadi pelajaran
Dengan pengantar yang berbentuk pantun, tukang kaba mengisyaratkan tujuan penyampaian kaba, yakni untuk pedoman hidup disamping untuk hiburan. Selain itu pendengar juga akan mengetahui judul kaba yang hendak disajikan.
Dalam kaba “Si Gadih Tanti Jo si Bujang Saman” ada suatu aspek yang pantas dibicarakan, yaitu keberanian Bujang Saman untuk menentukan jalan hidupnya.
Sempit pikiran si Bujang Saman – dari pada hidup seperti ini – elok saya berani mati – beberapa lama dalam perjalanan – lalu lewat di nagari Lengang – berada di dalam pesawangan di situ berkata si Bujang Saman – dengarkan kita semua – baik berbalik kita semua – jalan jauh yang akan dihadang – kalau habis bekal kita – ke mana kita minta nasi – alamat mati kelaparan – kita bekerja tanpa gaji – terhukum, tanpa bersalah – elok kita berbalik pulang – kata si Bujang Saman. (1991:51)
Akal licik Datuak Mangkuto Sati untuk menyingkirkan si Bujang Saman dengan cara mengirimkannya bekerja rodi di Malalak tidak berhasil. Si Bujang Saman berhasil membelot dari rombongan pekerja rodi setelah melalui perkelahian yang seru melawan pengikut Datuak Mangkuto Sati. Setelah berhasil mengalahkan pengikut Datuak Mangkuto Sati, Bujang Saman kembali ke kampungnya. Kedatangan Bujang Saman diketahui oleh Datuak Mangkuto Sati. Dengan diiringkan pengikutnya, Datuak Mangkuto Sati mengeroyok Bujang Saman. Akan tetapi Datuak Mangkuto Sati dan pengiringnyatidak mampu mengalahkan Bujang Saman. Setelah itu pergilah Bujang Saman ke Padang untuk mengurusi kedainya yang telah lama ditinggalkannya.
Di samping aspek keberanian, aspek pendidikan juga menonjol dalam kaba ini. Dari perjalanan hidup Bujang Saman, dapat diketahui bahwa seseorang yang berniat baik akan mencapai tujuannya walaupun menghadapi rintangansebelumnya.
Sumber:Tim Koordinasi Siara Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
0 komentar:
Posting Komentar